“Kelingan welingmu sing prasojo: Agomo ngayomi jagad royo. Sak lungamu akeh sing rumongso kelangan. Pendekar rakyat sing wis lilo dadi korban. Dijegal kono kene mergo mbeloni rakyate, sing dianggep ra penting lan tansah disingkirake. Nadyan cacat netramu, nanging ngerti batinmu, endi kucing ngendi asu” (Teringat nasihatmu yang jelas dan sederhana: “Agama itu memberi kebaikan pada semesta.” Sepeninggalmu, banyak yang merasa kehilangan. Pendekar rakyat yang rela menjadi korban. Dijerat karena membela rakyat bawah yang terus-menerus disingkirkan. Sekalipun matamu tak bisa melihat, namun batinmu mawas hingga sanggup bedakan mana kucing mana anjing).
Di atas adalah penggalan lirik lagu “Gus Dur Pendekar Rakyat” yang dinyanyikan oleh Eny Sagita di acara Haul Gus Dur 2019, di Ciganjur. Lagu yang diciptakan Dalang Poer dari Ngawi, Jawa Timur, ini berkisah tentang penjatuhan Gus Dur dari kursi kepresidenan karena konspirasi jahat oleh para reformis palsu. Bisa dipastikan, salah satu alasan mengapa panitia mengundang Eny Sagita adalah karena lagu yang liriknya mengekspresikan “kemarahan terindah” itu.
Memang, dalam acara Haul malam itu, bagian yang banyak ditunggu orang adalah penampilan bintang dangdut koplo dari Jawa Timur, Eny Sagita. Bukan karena semua pengunjung Haul adalah penggemar dangdut atau fans Eny Sagita. Yang paling ditunggu adalah seperti apa jadinya haul seorang kiai (eh… budayawan) dengan hiburan penyanyi dangdut koplo yang selama ini dikenal dengan pakaian dan jogedan yang sama sekali tidak masuk dalam standar norma kesantrian. Apalagi di panggung yang sama, duduk khusyu’ para kiai dan tokoh agama lain. KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) yang malam itu didapuk sebagai penceramah ada di sana. (Oh ya lupa, Akbar Tanjung juga duduk di antara tamu kehormatan di atas panggung!)
Menjelang tengah malam, akhirnya penyanyi dangdut itu muncul. Musik pun menghentak. Bunyi gendang jelas ditabuh dengan irama koplo yang khas. Sekalipun demikian, Haul itu tidak berubah jadi “mendadak dangdut”. Tidak ada rok mini. Pun, tak ada goyangan. Sang biduan berdiri tenang di atas panggung dalam balutan busana muslimah. Lebih tampak sebagai vokalis dari sebuah grup kasidah daripada seorang penyanyi dangdut. Dengan bersahaja, dia melantunkan lagu “Gus Dur Pendekar Rakyat” itu. Pengunjung Haul pun sontak bertepuk tangan.
***
Dalam salah satu artikelnya yang berjudul “Pengembangan Kebudayaan Islam di indonesia”, Gus Dur membahas strategi pengembangan kebudayaan Islam di Indonesia. Menurutnya, ada dua kecenderungan pengembangan kebudayaan Islam di Indonesia: pertama, formalisasi ajaran Islam dalam seluruh manifestasi kebudayaan bangsa; kedua, pribumisasi Islam dengan sikap terbuka terhadap budaya lokal. Strategi pertama mewujud dalam sikap ber-Islam yang eksklusif, sedang yang terakhir adalah inklusif, atau yang biasa disebut Gus Dur dengan istilah “pribumisasi Islam”.
Membandingkan dengan beberapa rumusan para intelektual Muslim tentang relasi agama dan budaya yang sering terjebak dalam superioritas agama atas budaya (misalnya, “Islamisasi budaya lokal” atau “menyelaraskan budaya dengan lai-nilai agama”), Gus Dur tampak sangat “percaya diri” dalam merumuskan hubungan keduanya. Tak ada secuil pun kalimatnya yang mensubordinasi budaya lokal di depan agama. Lebih jelas, kalimatnya adalah sebagai berikut:
“Pengembangan [kebudayaan Islam di Indonesia] itu harus ditujukan kepada sikap keterbukaan antarbudaya, di mana antara Islam dan paham pemikiran lain dan sistem budaya lain berlangsung proses saling mengambil dan saling belajar. Konsekuensi logis dari keterbukaan seperti itu adalah keharusan untuk mendudukkan Islam hanya sebagai faktor penghubung antara berbagai budaya lokal, dan melayani kesemua budaya lokal itu [sehingga] menumbuhkan universalitas pandangan baru tanpa tercerabut dari akar kesejarahan masing-masing.”
Bukan hal aneh jika Haul Gus Dur ke-10, 2019, mengangkat tema “Kebudayaan Melestrarikan Kemanusiaan.” Gus Dur adalah budayawan. Sejarah hidupnya mengungkapkan dengan tegas sisi ini. Bukan semata-mata karena ia pernah menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta, namun yang lebih penting adalah ide-idenya tentang budaya yang bertebaran dalam berbagai tulisannya.
Dari sini jugalah kita harus memahami kengototannya dengan konsep pribumisasi Islam sebagai pendekatan budaya (cultural approach) dalam mengembangkan Islam. Baginya, kebudayaan Islam tidak seharusnya diposisikan sebagai “budaya alternatif”. Sebaliknya, kebudayaan Islam harus mampu menumbuhkan dalam dirinya “sebuah wawasan nasional yang berpijak pada bumi Nusantara, dan tidak terlalu banyak berpaling kepada kawasan lain”. Jelas yang dimaksud dengan “kawasan lain” di sini lebih ditujukan pada “kawasan Arab”.
Apakah ketua panitia Haul yang juga adalah putri bungsu Gus Dur, Inayah Wahid, meminta Eny Sagita untuk tampil dalam balutan busana muslimah dan berdendang tanpa goyang? Jelas tidak.
Tak ada yang meminta Eny Sagita untuk mengubah penampilannya. Dia sendirilah yang mematutkan dirinya. Sekalipun (keluarga) Gus Dur dan para pengunjung Haul akan tetap menerimanya apa adanya, sang biduan tahu kewajaran akan sebuah kehadiran di acara haul seorang kiai sekaligus budayawan.
Begitu juga dengan para kiai yang hadir. Sekalipun dangdutan sama sekali bukan tradisi haul seorang kiai, mereka tak perlu menyingkir hanya untuk mempertahankan kewibawaan. Tak perlu juga masuk gelanggang untuk menandak dengan sang biduan. Bukan karena sang biduan tak bergoyang, karena tak patut seorang kiai di acara haul berjoged bersama biduan. Selepas haul, sang kiai tak perlu mengoleksi cd dangdut, begitu pun sang biduan, ia tak perlu berubah menjadi vokalis grup kasidah.
Kiai dan biduan sama-sama hadir dalam keseimbangan budaya. Tak ada celaan. Tak ada ketakutan. Keduanya hadir dalam kepatutan dan keseimbangan. Keduanya bersikap terbuka untuk saling “mengambil dan belajar”.
Sebagaimana tema Haul, kebudayaan pada dasarnya melestarikan kemanusiaan. Manusia dengan kebudayaannya memiliki cara untuk menempatkan dirinya dalam kewajaran. Dalam relasi yang setara dan terbuka antarberbagai kelompok budaya, kebudayaan manusia memiliki mekanisme untuk memberi dan menerima. Dalam proses inilah keseimbangan semesta budaya terjaga. Jika yang terjadi justru sebaliknya, relasi yang terbangun akan dipenuhi oleh ketakutan, sinisme, bahkan saling hina. Inilah yang dinyatakan Gus Dur, bahwa “Jika kecenderungan formalisasi ajaran Islam dalam budaya terlalu kuat, akibatnya adalah ketakutan.”