Sedang Membaca
Mengenal Usul Fikih: Sebuah Pengantar (1)

Nahdliyin, menamatkan pendidikan fikih-usul fikih di Ma'had Aly Situbondo. Sekarang mengajar di Ma'had Aly Nurul Jadid, Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo. Menulis Sekadarnya, semampunya.

Mengenal Usul Fikih: Sebuah Pengantar (1)

Abu Hamid al-Ghazali, dalam al-Mustashfa—salah satu dari beberapa kitab usul fikih babon yang dipuji habis-habisan oleh Ibnu Khaldun–memberikan tamsil yang sangat menarik tentang ilmu usul fikih. Menurutnya, usul fikih adalah permisalan dari buah (al-Tsamrah), pohon (mustmir) tata cara membuat dan melahirkan buah (turuq al-Ististmar), dan yang menanam alias tukang kebun (mustasmir)

Al-Tsamrah, buah adalah permisalan dari hukum (meliputi al-Wujub, al-Nadb, al-Karahah, al-Ibahah, al-Hasan, al-Qubhu, al-Qadha’, al-Sihhah, al-Fasad dan lain-lain), mustmir, pohon adalah permisalan dari sumber hukum (meliputi al-Kitab, al-Sunnah dan Ijmak), turuq al-Ististmar, tata cara berkebun adalah permisalahan sebuah aplikasi agar bisa melahirkan hukum (meliputi aplikasi teori tata bahasa, mantuq, mafhum, dhalalah iqtida’ dan lain-lain) dan terakhir adalah mustastmir, tukang kebun sebagai permisalan dari mujthid, yakni orang yang bisa melakukan “operasi lapangan” dalam proses untuk melahirkan sebuah postulat hukum.

Mula-mula seorang mujtahid punya keinginan untuk mengetahui hukum dari sebuah perkara. Lalu ia mencoba menggalinya melalui sumber yang bernama dalil meliputi al-Kitab dan al-Sunnah. setelah lama merenung akhirnya ia menemukan sebuah kesimpulan bahwa “sesuatu” ini adalah wajib (al-Wujub) misalnya. Sesuatu yang ditemukan ini disebut hukum sementara proses merenung tersebut dikenal dengan aktivitas ijtihad. Itulah kira-kira gambaran sederhana aplikasi ilmu ini.

Dari tesis di atas, maka bisa disimpulkan bahwa usul fikih ini ada sebelum fikih. Karena usul fikih adalah metode untuk untuk melahirkan hukum fikih. Jika diibaraktkan dengan bangunan, fikih sebagai sebuah rumah, maka usul fikih adalah pondasinya. Tidak mungkin rumah berdiri tegak tanpa ada pondasi. Begitupula tidak mungkin ada fikih tanpa usul fikih.

Jika demikian, kenapa dalam beberapa sumber disebut bahwa kitab usul fikih yang pertama kali adalah al-Risalah yang ditulis oleh al-Syafi’i yang hidup kira-kira tahun 150-204 Hijriyah? Masa sebelum itu usul fikih ada di mana dan bagaimana?

Baca juga:  Teologi Wabah: Laporan Ibnu Hajar al-Asqalani Terhadap Pandemi

Di masa sebelum al-Syafi’i, usul fikih sebagai sebuah metode untuk melahirkan hukum ada. Hanya saja ia masih dalam bentuk memori kolektif masyarakat. Ia tidak begitu dibutuhkan karena masa itu masih disebut dengan khairu al-Qurun yang diisi oleh para sahabat, tabi’in, yang memiliki cita rasa bahasa arab yang tinggi, paham seluk beluk kehidupan nabi dan memiliki malakah dalam kajian keislaman.

Dengan demikian, praktis mereka tak perlu panduan khusus berupa kitab yang berisi tata cara untuk melahirkan hukum. Karena metode-metode usul fikih ada di sanubari mereka persis seperti ketidakbutuhan mereka pada kaidah ilmu nahwu, sarraf dan ilmu alat lain.

Petaka bermula ketika Islam mulai melakukan eknspansi besar-besaran ke berbabagai negara di luar jazirah arab sehingga tak bisa ditampik terjadinya persinggungan budaya, bahasa dan ekonomi-politik dengan negara baru-baru itu. Puncaknya mulai banyak percakapan non-arab yang masuk ke dalam bahasa arab, hingga menurunkan kualitas bahasa banyak orang dan mulai melucuti kemampuan mereka.

Ketika demikian, sebagaimana ditulis al-Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh al-Baghdad, seorang pimpinan daerah bernama Abdurrahman ibn Mahdi menulis surat kepada pemuda yang bernama al-Syafi’i agar ia menuliskan sebuah buku yang berbicara makna-makna al-Qur’an, metode memahami hadis, kehujjahan ijmak, penjelasan nasikh-mansukh dan berbagai perangkat untuk memahami al-Qur’an. Kemudian dirilislah al-Risalah sebagai buku, hasil surat-menyurat al-Syafi’i dengan Abdurrahman ibn Mahdi.

Penyebab lain, kenapa al-Syafi’i perlu menginisiasi penulisan sebuah buku khusus tentang usul fikih ialah karena pada waktu itu sedang panas-panasnya perseteruan abadi antara mazhab literal (ahl al-Hadis) yang berpusat di Madinah dengan mazhab liberal (ahl al-Ra’y) di Irak. Kondisi diperparah dengan adanya sebagian pihak yang melakukan mall praktik dalam berijtihad, atau dalam bahasa Kiai Afifuddin Muhajir, ijtihad ugal-ugalan. Keadaan inilah yang mendesak al-Syafi’i merumuskan sebuah metode baku dalam penggalian hukum.

Baca juga:  Pribumisasi Ilmu Ke-Islam-an Sosial: Tanggapan untuk Amin Mudzakkir

Secara background pemikiran, al-Syafi’i cukup representatif untuk menengah-nengahi polemik dua mazhab ini karena ia memang pernah mendalami mazhab Imam Malik dan Imam Abu Hanifah secara sekaligus. Kepada mazhab pertama, al-Syafi’i justru bisa langsung kepada pendirinya, yakni Imam Malik ibn Anas sementara terkait mazhab Abu Hanifah, al-Syafi’i belajar kepada salah satu murid agung pendiri mazhab itu, yakni Muhammad ibn Hasan al-Syaibani. Maka tak heran, kemunculan al-Syafi’i diterima semua pihak dan lambat laun mengalihkan isu perdebatan dua mazhab yang tak pernah selesai itu.

Al-Razi dalam Manaqib al-Syafi’i memberi apresiasi yang tinggi atas usaha al-Syafi’i ini. Dalam Manaqib al-Syafi’i ia menulis:

كانو قبل الأمام الشافعي يتكلمون في مسائل أصول الفقه ويستدلون ويتعرضون ولكن ما كان لهم قانون كلي مرجوع اليه في معرفة  دلائل الشريعة وفي كيفية معارضتها وترجيحاتها فاستنبط الشافعي علم أصول الفقه ووضع للخلق قانونا كليا يرجع اليه في معرفة مراتب ادلة الشرع  فثبت أن نسبة الشافعي الي علم الشرع كنسبة ارسطاطاليس الي علم العقل

“Sebelum al-Syafi’i, orang-orang berbicara masalah-masalah usul fikih, mereka berdalil, berbeda pendapat tetapi mereka tidak memiliki pedoman umum yang bisa dijadikan patokan dalam mengetahui dalil-dalil agama dan bagaimana jika terjadi pertentangan dan tarjih. Lalu al-Syafi’i menulis Usul fikih dan ia membuat pedoman, aturan universal yang dijadikan pedoman dalam mengetahui tingkatan dalil agama. Tetaplah tesis bahwa nisbat al-Syafi’i kepada usul fikih seperti penisbatan Aristoteles dalam ilmu logika (Aristoteles dikenal orang pertama yang meletakkan logika berfikir manusia)”

Dalam pandangan al-Ghazali, termasuk ibnu Khaldun, usul fikih adalah termasuk paling agungnya ilmu pengetahuan. Karena ia mamadukan dua unsur penting yang selama ini dipersepsikan bermusuhan, yaitu akal dan wahyu. Secara sederhana, al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga komponen besar. Pertama, akal murni (aql mahdh) seperti ilmu matematika dan tekhnik, kedua, wahyu murni (naqll mahdh) seperti ilmu tafsir dan hadis dan ketiga adalah kombinasi antara akal dan wahyu (ma izdawaja alaihi al-Aql wa al-Sam’u), yaitu ilmu usul fikih.

Baca juga:  Fikih Tanah-Air Indonesia (2): Konservasi Lingkungan dan Ihyaul Mawat Menurut 4 Mazhab

Dalam usul fikih akal dan wahyu menjadi dua entitas yang sama-sama diperlukan. Tidak berpihak kepada salah satunya, akan tetapi memungsikan keduanya. Di satu sisi, wahyu sebagai pedoman beragama telah berhenti seiring dengan kepergian nabi ke hadirat-Nya, maka agar wahyu itu terus “hidup” diperlukanlah nalar rasio yang dikenal dengan ijtihad.

Interrelasi antara akal dan wahyu makin menjadi penting tatkala dihadapkan pada fakta bahwa isi dari al-Qur’an dan hadis menunjukkan posisi yang tak seimbang. Al-Quran dan hadis lebih banyak terdiri dari kategori dzanniyah daripada yang qath’iyah. Istilah pertama adalah istilah untuk sesuatu yang bisa “diotak-atik” oleh akal sementara yang kedua adalah istilah untuk perkara yang sifatnya “harga mati”.

Prinsip keseimbangan natara akal dan wahyu ini, diperkuat dengan pernyataan al-Syatibi dalam al-I’tisham. Ia berkata:

اجْعَلِ الشَّرْعَ فِي يَمِينِكَ وَالْعَقْلَ فِي يَسَارِكَ،

“Jadikanlah wahyu di sebelah kanan kalian dan akal di sebelah kiri kalian”.

Akhiran, usul fikih memang bisa dianggap sebagai pangkal segala ilmu pengetahuan khususnya ilmu agama. Karena dengan belajar usul fikih, kita akan mempelajari tafsir, ilmu tafsir, hadis, ilmu hadis, tata bahasa, gramatika bahasa arab, ilmu qiroah dan bahkan jika terdesak, dengan mempelajari usul fikih kita akan mempelajari ilmu-ilmu sosial humaniora untuk kepentingan melandingkan hukum fikih ke dalam medan kasus yang sedang bermunculan. []

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top