Sedang Membaca
Mengenal KH. Afifuddin Muhajir (2): Arsitek Intelektual Ma’had Aly Situbondo

Nahdliyin, menamatkan pendidikan fikih-usul fikih di Ma'had Aly Situbondo. Sekarang mengajar di Ma'had Aly Nurul Jadid, Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo. Menulis Sekadarnya, semampunya.

Mengenal KH. Afifuddin Muhajir (2): Arsitek Intelektual Ma’had Aly Situbondo

Mengenal KH. Afifuddin Muhajir (2): Arsitek Intelektual Ma’had Aly Situbondo

Pasca sukses mengawal kembalinya NU ke Khittah 26 dan penerimaan asas tunggal Pancasila, nama mendiang almarhum Kiai As’ad Syamsul Arifin, sebagai aktor utama even besar itu terus menghiasi beberapa liputan media nasional. Majalah Tempo edisi no. 42 Thn. XIV 15 Desember 1984 menempatkan fotonya dalam cover utama.

Satu tahun setelah Muktamar NU, Pesantren Sukorejo berduka.  Kiai Dhofir Munawwar, Salah seorang kiai alim berpengaruh yang masih menantu utama Kiai As’ad wafat. Padahal, kepada sosok tersebut Kiai As’ad banyak mendelegasikan urusan-urusan pondok, terutama yang berkaitan dengan urusan keilmuan. Di tambah, pada pada sosok itu juga, beliau berhadap banyak untuk mewujudkan wasiat sang maha gurunya, Hadratussyaikh Hasyim Asya’ari untuk mencetak ahli fikih.  Tapi bagaimana lagi, setiap yang bernyawa akan menemui ajalnya, Kiai Dhofir wafat dan Kiai As’ad tak bisa menutup rasa sedihnya. Ketika prosesi pemakaman ia menangis sedih.

Sejak saat itu, tiap kali ada kiai yang datang kepada Kiai As’ad untuk meminta membuat lembaga khusus yang melakukan kaderisasi ulama, beliau selalu menjawab dengan nada penuh tanya, “Sapa se molanga? Iye mon lambek, badha lorana. Siapa yang akan ngajar? Ia kalau dulu masih ada lora (yang dimaksud adalah Kiai Dhofir)”.

Waktu terus berjalan, ulama-ulama banyak yang wafat. Para kiai Madura dan Jawa terus mendesak Kiai As’ad agar membuka lembaga khusus untuk melakukan kaderisasi ulama, yang salah satu tujuannya adalah menyiapkan Rais-rais Syuriyah Nahdlatul Ulama era 2000-an. Beberapa minggu sebelum pelaksanaan Haul untuk Kiai Syamsul Arifin pada tahun 1988, Kiai As’ad untuk pertama kali memberi lampu hijau permohohan yang sudah didiamkan bertahun-tahun itu.

Setelah acara haul, Kiai As’ad mengadakan pertemuan terbatas di kediaman pribadinya. Peserta terdiri dari para kiai, undangan khusus dan pengurus NU se-Kresidenan Besuki.  Dari pertemuan itu kemudian menghasilkan tim kecil, yang diberi amanat untuk membahas langkah-langkah tekhnis pendirian Ma’had Aly. Mereka adalah, 1. KH. Moh. Hasan Basri, Lc. (sebagai ketua tim, Situbondo), (2), KH. Abd. Wahid Zaini, Paiton, (3), KH. Yusuf Muhammad, Jember (4), KH. Nadhir Muhammad, (5), KH. Khatib Habibullah, Banyuwangi, (6) KH. Afifuddin Muhajir, Situbondo, kesemuanya sebagai anggota tim.

Baca juga:  Teladan Gus Dur Menguatkan NU dari Dalam

Keenam Kiai itulah yang banyak berperan dalam langkah kongkrit pendirian Ma’had Aly. Semua hal, seperti tujuan, orientasi, masa pendidikan, sistem pembelajaran, kriteria pengajar dan lulusan dirumuskan bersama-sama. Sebelum rumusan itu diminta koreksi kepada tokoh kiai nasional, seperti Kiai Ali Maksum, Kiai Sahal Mahfudz, Kiai Ali Yafie dan terakhir ditutup dengan tashih dan tabarruk dengan persetujuan tiga masyayikh tanah Mekkah, Syaikh Yasin ibn Isa al-Fadani, Sayyid Muhammad al-Maliki, Syaikh Ismail ibn Zain al-Yamani.

Mendapat restu tiga masyayikh Mekkah itu, dengan bahagia dan penuh harap Kiai As’ad resmi membuka Ma’had Aly sembari berkata dalam bahasa Madura, “Mon olle edhi dhari ulama Mekka, tadhek burunga engko’ mukka’ah Ma’had Aly cong!”, bahasa Madura, terjemahnya, “Kalau sudah dapat izin dari ulama Mekkah, tidak ada gagal dalam membuka Ma’had Aly, Nak!”.

Kiai As’ad sendiri bertindak sebagai Mudir Aam (direktur utama), namun tidak bertahan lama, sebab beberapa bulan setelah pendirian beliau wafat. Kursi kepemimpinan di lembaga yang baru ini kemudian berpindah kepada Kiai Abd. Wahid Zaini, seorang pengasuh pesantren Nurul Jadid Paiton.

Ketika resmi berdiri, enam orang kiai yang ditunjuk sebagai tim pendirian tidak lantas pergi meninggalkan Ma’had Aly. Beliau-beliau terus berkhidmah di Ma’had Aly hingga akhir hayat, mulai dari Kiai Yusuf Muhammad, Kiai Nadhir Muhammad, Kiai Khatib Habibullah, Kiai Hasan Basri, dan Kiai Afifuddin Muhajir.

Membersamai Ma’had Aly sejak ia masih berupa ide hingga berusia tiga dekade seperti saat ini, membuat posisi dan peran Kiai Afif begitu sentral dalam perkembangan Ma’had Aly Situbondo. Ia hadir bukan hanya sebagai masyayikh, tetapi pelaku sejarah, yang paham betul, kemana kapal besar bernama Ma’had Aly ini akan dilabuhkan.

Baca juga:  Mbah Muslih Mranggen di “Taman” Jannatul Ma’la

Ia ibarat “jimat” bagi para santri di lembaga Ma’had Aly. Kesehariannya, sikap, segala tindak tanduk bagaimana ia berinteraksi, dan bagaimana ia mendemonstrasi pemikirannya menjadi rujukan para santri. Bisa disebut, apa yang didapat santri Ma’had Aly, berupa cara berfikir adalah “copy-paste” dari pemikiran Kiai Afif.

Banyak trobosan-trobosan penting, terkait eksistensi dan pengembangan Ma’had Aly adalah di bawah komando beliau. Misalnya, ketika Ma’had Aly berhasil meleluskan angkatan pertama, ada kesenjangan antara syarat masuk yang amat ketat dan sedikitnya peserta didik yang memenuhi kualifikasi. Maka beliau dibantu Kiai Muhyiddin Khatib, seorang santri kinasihnya, membuka program I’dadiyah li al-Ma’had Aly, yakni sekolah persiapan untuk masuk Ma’had Aly.

Program itu kemudian menjadi lokomotif utama dalam menjaga eksistensi Ma’had Aly. Karena dari sana, peserta didik Ma’had Aly disupport penuh. Belakangan, lembaga itu, dengan melihat rekam jejak keberhasilannya, berubah menjadi lembaga Ma’had Aly Marhalah Ula, yaitu jenjang pendidikan setara sarjana seperti yang ada di beberapa pesantren di Indonesia akhir-akhir ini.

Dengan demikian, di Situbondo ada dua jenjang lembaga pendidikan Ma’had Aly. Pertama Ma’had Aly Marhalah Tsaniyah yang merupakan lembaga asli yang didirikan Kiai As’ad Syamsul Arifin dan kedua Ma’had Aly Marhalah Ula yang awalnya bernama Madrasah I’dadiyah. Jadi, satu-satunya pesantren yang mengelola pendidikan tinggi pesantren dengan tingkatan Pascasarjana di Indonesia adalah Ma’had Aly Situbondo.

Lahirnya dua tingkatan itu, kemudian memaksa Kiai Afif secara khusus dan pengurus Ma’had Aly secara umum, membuat rancang bangun keilmuan Ma’had Aly. Sebagaimana sering disampaikan kiai Afif bahwa tujuan dan maksud Ma’had Aly Marhalah Ula adalah untuk melahirkan lulusan yang mampu membaca dan memahami dengan baik kitab Fath al-Muin, dalam kategori fikih, Ghayah al-Wushul dalam kategori usul fikih atau sejenisnya dan mampu memberi jawaban-jawaban atas persoalan hukum fikih dengan pendekatan pendekatan kitab kuning (naql all-Ibarat-Qauli).

Sementara untuk tingkatan Ma’had Aly Marhalah Tsaniyah adalah mampu membaca dan memahami kitab Fath al-Wahhab dalam bidang fikih, Jam’ul al-Jawami’ dalam bidang usul fikh dan sejenisnya serta mampu menjawab persoalan hukum fikih dengan pendekatan manhaji-istinbathi (yakni sebuah pendekatan dengan pendekatan kaidah-kaidah usul fikih & kaidah fikih).

Baca juga:  Ulama Banjar (57): KH. Nashrun Thahir

Kiai Afifuddin juga berani berdiri di atas konsistensi menjaga orisinalitas Ma’had Aly. Untuk hal ini, salah satu perkataan beliau yang cukup terkenal hingga menjadi rujukan dalam mengambil kebijakan lembaga. Beliau berujar, “Salah satu kelebihan Ma’had Aly Siubondo adalah ketika ada yang hendak masuk ditanya kamu bisa apa bukan kamu punya apa?”

Sebuah pernyataan yang meskipun dengan bahasa halus sesungguhnya punya nilai penekanan yang amat kuat. Pada titik ini, tahun boleh bergulir, masa boleh berubah, para kiai boleh pergi meninggalkan kehidupan, tetapi nilai-nilai orientasi pendirian Ma’had Aly sejak pertama kali didirikan harus tetap dipertahankan.  Elaborasi dari pernyataan Kiai Afif, Ma’had Aly Situbondo punya kelebihan dalam pola rektumennya. Ia menggunakan metode penyaringan bukan penjaringan.

Prinsip di atas, seperti yang dipegang secara kukuh oleh Kiai Afif, penting untuk terus digemakan sepanjang zaman. Sebab betapa banyak, lembaga yang pada awalnya punya standart yang tinggi namun lambat laun, seiring berjalannya waktu standat itu mengalami “defaluasi”, apalagi jika harus berkompromi dengan sistem administrasi yang pelik. Maka jika sudah demikian, kehancuran idealisme lembaga bermula.

Selama 30 tahun, sejak pertama kali berdiri hingga hari ini, Kiai Afif tak pernah lelah membersamai lembaga Ma’had Aly. Jiwa, raga dan seluruh perhatiannya adalah Ma’had Aly. Setiap ada masalah-masalah krusial yang bersifat nasional dan internasional, maka rujukan santri, alumni dan seluruh elemen Ma’had Aly Situbondo adalah Kiai Afifuddin sendiri. Pada titik ini, bagi Ma’had Aly Situbondo, Kiai Afif bukan hanya masyayikh, pengajar dan pendiri akan tetapi ia juga simbol, “jimat’”, icon dan terakhir adalah sebagai arsitek intelektual.[]

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top