Sosok kiai As’ad bagi saya sangat istimewa, bukan hanya karena ia sebagai tokoh agama dan pejuang kemerdekaan, tetapi ia istimewa karena ketekunannya mencari ilmu dan mencari guru. Kiai As’ad berguru kepada ulama, baik di dalam atau di luar negeri.
Di Mekkah, sebagai tempat ia dilahirkan, ia berguru kepada Syaikh Amin Kutbi, Syaikh Hasan al-Massyath, Syaikh Syarif al-Sinqiti, Sayyid Abbas al-Maliki dan ulama Haramain yang lain.
Sepulang dari tanah suci, berbekal ilmu yang “diunduh” di sana, ia masih mencari ilmu dan berguru kepada beberapa ulama dan kiai di Nusantara. Berguru dari satu pesantren ke pesantren yang lain, dari Banyuanyar Pamekasan, Sidogiri Pasuruan, Buduran Panji Sidoarjo, Demangan Bangkalan dan berakhir di Tebuireng Jombang.
Pengalaman sebagai santri kelana inilah yang membuat putra pertama Raden Ibrahim itu multi-perspektif, dan memiliki jaringan intelektual dan jaringan perjuangan yang luas.
Namun, dari sekian guru yang pernah beliau temui, tampaknya Kiai Muhammad Hasyim Asy’ari lah yang paling berkesan dalam relung hatinya. Sebagaimana pernah beliau sampaikan, bahwa Hadratus Syekh adalah guru terakhir yang paling berperan dalam membentuk karakter Kiai As’ad.
Sebenarnya perjumpaan Kiai As’ad dengan Kiai Hasyim Asya’ari bermula dari peristiwa penyerahan “isyarah langit” dari Kiai Cholil Bangkalan sebagai tanda diresmikannya pendirian Nahdlatul Ulama oleh Kiai Hasyim. Bahkan kejadian ini terjadi dua kali, yang pertawa penyerahan tongkat dan firman Allah Swt dalam surat Thaha 17-23 dan yang kedua tasbih beserta bacaan “Ya Jabbar, Ya Qahhar”.
Kemudian perjumpaan beliau berdua makin intens tatkala Kiai As’ad mondok di Tebuireng. Selama di Tebuireng inilah Kiai As’ad belajar kepada Kiai Hasyim bukan hanya ilmu hadis yang memang beliau kuasasi tetapi juga belajar tentang perjuangan dan pengabdian untuk agama, nusa dan bangsa. Maka saya sepakat dengan kesimpulan bahwa Kiai Hasyim adalah orang yang membela negara dengan menggunakan agama bukan melawan negara menggunakan agama, begitupula muridnya, Kiai As’ad Syamsul Arifin.
Teladan lain dari Kiai As’ad selama menjadi santri Hadratussyaikh adalah berpegang teguh terhadap amanat gurunya. Ini terbaca dari setidaknya dari dua peristiwa.
Pertama, al-Kisah Kiai Hasyim pernah membangun lokasi sekolah dan asrama di Pesantren Tebuireng, namun tidak selesai karena satu dan dua alasan. Kemudian penyelesaian gedung itu dipasrahkan kepada As’ad muda. Menerima amanah ini, ia kaget bukan main. Bagaimana bisa menyelesaikan bangunan ini? Dari mana uangnya? Singkat cerita, akhirnya As’ad muda bisa menyelesaikan amanah ini.
Kedua, sebelum Kiai As’ad pamit pulang, Kiai Hasyim berpesan agar kelak ia memperbanyak mencetak kader ahli fikih (fukaha). Amanah kedua inilah yang cukup mengahbiskan tenaga dan fikiran Kiai As’ad. Beliau merasa kesulitan untuk melaksanakan amanat yang kedua ini sebab banyak pertimbangan, salah satunya siapa yang akan menjadi tenaga pengajar? Ia kalau dulu ada Kiai Dhofir Munawwar, ujarnya suatu ketika. Kiai Dhofir adalah salah seorang menantu Kiai As’ad yang terkenal sangat alim.
Seiring dengan berjalannya waktu, amanat Kiai Hasyim ini tampak semakin perlu diwujudkan. Sebab ulama-ulama Rais Syuriah NU banyak yang pergi. Setelah proses yang amat melelahkan dan mendapat rekomendasi tiga ulama sunni di Mekkah yaitu, Sayyid Muhammad al-Maliki, Syaikh Ismail al-Yamani dan Syaikh Yasin al-Fadani, Kiai As’ad mendirikan Ma’had Aly sebagai ikhtiar untuk mewujudkan amanat gurunya.
Maka, setelah berbagai kebutuhan cukup terpenuhi, tepatnya suatu hari pada bulan agustus 1990 M, Kiai As’ad tak seperti biasanya. Ia tampak berseri-seri, sesekali kedua matanya berkaca, tampak terharu diliputi rasa bahagia. Puncaknya, ketika matahari cukup meninggi di arah timur, dan Kiai Hasan Basri Lc. Memberi kata sambutan atas nama Pengasuh lalu ia mengutip pernyataan al-Ghazali perihal ketidakmampuan beberapa orang membaca ayat-ayat Tuhan yang hanya bisa dijangakau dengan mata hati bukan mata kepala. Al-Ghazali berkata dalam Ihya’ Ulumiddin:
اَلَّذِيْنَ يَعْجِزُوْنَ عَنْ قِرَاءَةِ الأَسْطُرِ الِّإلَهِيَّةِ اَلْمَكْتُوْبَةِ فِىْ صَفَحَاتٍ الْمَوْجُوْدَاتِ بِخَطٍ إِلَهِيٍ لَا حَرْفَ فِيْهِ وَلَا صَوْتَ الَّذِىْ لَا يُدْرَكُ بِعَيْنِ اْلبَصَرِ بَلْ بِعَيْنِ اْلبَصِيْرَةِ
“Orang-orang yang tidak mampu membaca garis-garis ketuhanan yang tertulis dengan “tinta” Allah Swt. yang terdapat dalam lembaran-lembaran tanpa huruf dan tanpa suara yang hanya bisa dijangkau dengan mata hati bukan dengan mata kepala”
Mendengar kutipan al-Ghazali itu, Kiai As’ad menangis histeris seperti menangisnya anak kecil tanda sangat bahagianya bisa mewujudkan amanat sang guru, di akhir-akhir usianya. Bagi saya, ekspresi Kiai As’ad ini sangat tidak berlebihan karena kebahagian apa yang paling membuat bahagia seorang murid kecuali telah menunaikan amanat gurunya? Dan Kiai As’ad telah melakukan itu. Selang lima belas hari dari peristiwa ini kemudian beliau mengembuskan nafas terakhir menjemput panggilan kekasihnya, Allah Swt.
Peristiwa di atas yang oleh Kiai Afifuddin Muhajir,–sebagai salah satu kiai yang ditunjuk oleh Kiai As’ad sebagai tim pendirian Ma’had Aly–disampaikan dalam berbagai kesempatan. Bahwa pendirian Ma’had Aly Situbondo dengan takhassus fikih dan usul fikih tak lebih dari perwujudan kecintaan seorang murid kepada gurunya, yakni Kiai As’ad kepada Kiai Hasyim Asy’ari yang berpesan agar Kiai As’ad mencetak kader ahli fikih (fukaha).
Di samping alasan lain, bahwa fikih adalah ilmu yang cukup komprehensif dan paripurna (syamil dan kamil) dibandingkan ilmu-ilmu keislaman yang lain. Karena untuk mendalami ilmu fikih membutuhkan aspek-aspek aqliyah dan naqliyah, memadukan akal dan wahyu.
Al-Ghazali dalam al-Musytasfa min ilm al-usul memberi klasifikasi bahwa ilmu dibagi menjadi tiga. Pertama, ilmu-ilmu yang bersifat naqli murni (naqli mahdh) seperti tafsir dan hadis, kedua, ilmu yang bersifat aqli murni (aqli mahdh) seperti matematika dan geometri, ketiga ilmu yang bersifat naqli dan aqli sekaligus, yaitu fikih dan usul fikih.
Fikih merupakan perwajahan Islam yang paling konkrit dibanding dua wajah Islam yang lain, yaitu akidah dan akhlak karena fikih menyangkut hukum-hukum praktis (‘amaliyah) yang mengatur perilaku dan tingkah laku manusia mukallaf, baik hubungannya dengan Tuhan maupun dalam berinteraksi dengan sesama umat manusia itu sendiri.
Abdul Wahhab Khallaf, dalam bukunya, Ilm Usul Fiqh menuturkan, semua ulama sepakat bahwa setiap hal yang muncul dari manusia baik berupa perkataan, perbuatan, baik bernuasa ibadah-ritual, muamalah-sosial, pidana (jaraim), perdata (ahwal syakhsiyah) atau seluruh aspek dalam kehidupan manusia memiliki ketentuan hukum dalam syariat Islam.
Ada seorang penyair berkata:
تفقه فان الفقه افضل قائد الى البر والتقوى واعدل قاصد
هو العلم الهادي الى سنن الهدى
هو الحصن ينجي من جميع الشدائد
فان فقيها واحدا متورعا اشد على الشيطان من الف عابد
“Belajarlah fikih, engkau wahai manusia! Karena ia adalah sebaik-sebaik tuntunan untuk kebaikan dan ketakwaan dan paling lurusnya sebuah tujuan.
Fikih adalah ilmu yang menjadi petunjuk menuju kebenaran
Fikih juga sebagai benteng yang kuat yang melindungi dari kerisauan yang sangat.
Karena satu orang ahli fikih lagi wara (yang berhati) lebih menyusahkan kepada setan dari pada seribu orang ahli ibadah”.
Maka berdirinya Ma’had Aly adalah peran Kiai As’ad sebagai inisiator yang sumber inspirasinya adalah berasal dari gurunya, Kiai Hasyim Asya’ari. Selang beberapa tahun kemudian model sekolah dan pengajaran di Ma’had Aly ini diadopsi oleh pemerintah melalui Kementrian Agama, yang meresmikan Ma’had Aly sebagai lembaga pendidikan formal. Kalau bukan karena giginya seorang murid mewujudkan amanat gurunya, lembaga yang kemudian dilirik pemerintah ini tidak akan pernah ada.
Pengabdian lain Kiai As’ad kepada Hadratus Syekh M. Hasyim Asy’ari adalah ditunjuknya Gus Dur oleh beliau sebagai ketua Umum PBNU. KH. Ach. Muhyiddin Khatib pernah bercerita bahwa ketika Kiai As’ad kehilangan istri tercintanya, di sela-sela proses penguburan jenazah, beliau berkata dengan bahasa Madura yang khas:
“Engkok, reya, sa ongghuna la e ajhek bik Abah (Kiai Syamsul), tape, engkok kik naber beremma mak tak eajhek. Polanah kik endik kewajiban mabelieh NU ka Se andik, ka tang Guru, endik kewajiben mateppak NU se car kalacer, epabhelie ka se andik, ka Guru”.
Terjemahannya kira-kira begini:
“Saya, sebenarnya sudah diajak (mangkat atau pergi ke hadirat-Nya, pen) sama Abah, (Kiai Syamsul). Tapi saya masih nawar, gimana agar saya tak diajak. Kenapa? Karena saya masih punya kewajiban mengembalikan NU sama yang punya, yaitu guru saya, Kiai Hasyim, saya punya kewajiban memperbaiki kondisi NU yang tidak stabil, mau dikembalikan sama yang punya, sama guru saya.”
Dalam sambutan Kiai As’ad di atas, isyarat terpilihnya Gus Dur tampak begitu gamblang. Meskipun Kiai As’ad tidak mengatakannya secara jelas soal nama Gus Dur.
Tapi, penyebutan “cucunya guru” menegaskan bahwa yang dimaksud teks tersebut adalah Gus Dur. Karena pada waktu itu, cucu Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari yang aktif di NU dan yang paling menonjol adalah Gus Dur atau KH. Abdurrahman Wahid.
Alhasil, terpilihnya Gus Dur tidak bisa dipisahkan dengan sosok Kiai As’ad. Keberadaan Kiai As’ad yang pada waktu itu menjadi ahlu al-Halli Wa al-Aqdi tunggal memberikannya hak penuh untuk memilih Gus Dur. Episode ini penting untuk diketahui, sebab dengan terpilihnya duet KH. Ach. Siddiq dan Gus Dur menjadi babak baru dalam perjalanan NU.
Membaca sejarah para kiai yang alim, amil dan khasyah, hanya takut kepada Allah Swt selalu memberikan insight dan pencerahan di tengah keringnya nurani kita akibat bisingnya narasi politik yang semakin hari semakin tidak karu-karuan ini.
Mari kirimkan hadiah al-Fatihah untuk kedua kiai ini. Semoga beliau-beliau mendapat tempat terbaik di surga-Nya dam kita selalu mendapatkan berkahnya. ila ruhi almarhum Kiai Hasyim Asy’ari wa kiai As’ad Syamsul Arifin, al-Fatihah.