Khaulah bintu Tsa’labah adalah istri Aus bin Shamit. Disebut suaminya adalah seorang laki-laki tua yang memiliki perangai yang buruk. Suatu hari ia ada percekcokan dengan suaminya, hingga suaminya mengatakan:
“Punggungmu seperti punggung ibuku.”
Setelah percekcokan itu, kemudian suaminya keluar dari rumahnya selang beberapa waktu suaminya masuk rumah kembali dan hendak berkumpul dengan istrinya kembali (jimak). Istrinya menolak. Ia beranggapan ia mengatakan perkataan yang sangat sensitif, yaitu menyamakan dia dengan ibunya. Hal itu belakangan dalam fikih disebut dengan zihar dan itu haram.
Melihat istinya tidak menuruti keinginannya, Aus kembali melakukan kekasaran padanya. Ia kembali dimarahi oleh Aush. Kemudian Tsa’labah mengadukan hal tersebut kepada Nabi Muhammad Saw. ia menceritakan semua kegelisahannya pada nabi. Nabi mendengarkan dengan seksama. Terkait kasus zihar yang dilakukan, nabi menunggu turunnya ayat al-Qur’an. Selang beberapa waktu turunlah ayat dalam al-Mujadalah, yaitu:
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجادِلُكَ فِي زَوْجِها وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ …
“Sungguh Allah mendengar suara perempuan yang mendebatmu (Muhammad) tentang suaminya dan ia mengadu kepada Allah Swt.”
Aturannya ketika seorang suami melakukan zihar pada istrinya maka ia harus membayar kaffarat. Yaitu memerdekakan budak, jika tak mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut dan terakhir memberi makan enam puluh orang miskin. Nah ketika hendak membahas soal kaffarat ini terjadi dialog antara nabi dengan Khaulah.
Nabi: “Perintahkanlah suamimu untuk memerdekakan budak!”
Khaulah: “Rasul! Tak ada satupun budak yang ia mampu merdekakan.”
Nabi: “Jika begitu berpuasalah dua bulan berturut-turut!”
Khaulah: ”Nabi, dia seorang laki-laki tua. Pasti dia tak mampu dengan itu.”
Nabi: “Jika begitu, suruhlah ia memberi makan 60 orang miskin.”
Khaulah: “Dia tak punya apa-apa wahai, nabi!”
Nabi: “Jika begitu, aku akan membantunya separuh.”
Khaulah: “Baiklah, nabi. Aku akan membantunya separuh juga.”
Selepas itu nabi memberikan bantuan kepada suami Khaulah dalam membayar kaffarat. Nabi juga berwasiat kepada suaminya agar ia mengubah perangai buruknya. Beliau berpesan agar berbuat baik pada istri. Karena sebaik-baiknya laki-laki adalah mereka yang paling baik kepada istrinya.
Dari kejadian ini nabi berkali-kali bersabda khususnya kepada kaum laki-laki agar berbuat baik kepada istrinya. Secara tidak langsung kisah antara Khaulah dan suaminya menginspirasi aturan dan penegasan dari nabi bahwa seorang suami hendaklah berbuat baik dan ramah kepada istrinya. Tidak dibenarkan kemudian melakukan tindak kekerasan kepada istri. Dari kisah ini juga aturan zihar diperlakukan. Bahwa seorang suami tidak boleh berkata seperti perkataan Aus kepada istrinya.
Suatu waktu ketika Umar menjadi Khalifah ia berdiri di tengah jalan tertegun sopan karena ditegur seorang perempuan tua. Melihat pemandangan itu, para sahabat kaget alang kepalang. Siapa gerangan perempuan tua yang berani menegur pemimpin orang mukmin? Setelah selesai, perempuan itu kemudian berlalu. Para sahabat bertanya pada Umar soal kejadian yang unik itu.
“Apakah engkau diam mematung hanya karena perempuan tua ini, wahai Umar? Siapakah dia?” tanya sahabat penasaran.
Umar menjawab:
“Dia adalah Khaulah binti Tsa’labah. Bagaimana aku tak akan mendengarkan ucapannya sementara Allah dahulu mendengarkan keluhannya?”
Demikianlah kisah Khaulah binti Tsa’labah, seorang perempuan pemberani, yang tanpa malu dan tanpa takut menceritakan kekerasan fisik dalam rumah tangganya. Berkat keberaniannya, kemudian aturan terhadap relasi yang bahagia dan membahagiakan dalam keluarga dipertegas kembali oleh nabi.[]