Sedang Membaca
Hadis Motivasi Belajar Ke China Itu Palsu!

Nahdliyin, menamatkan pendidikan fikih-usul fikih di Ma'had Aly Situbondo. Sekarang mengajar di Ma'had Aly Nurul Jadid, Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo. Menulis Sekadarnya, semampunya.

Hadis Motivasi Belajar Ke China Itu Palsu!

Belajar Tiongkok Cina

Sudah Masyhur sekali bahwa sumber primer bagi umat Islam itu hanya ada dua, pertama al-Qur’an dan al-Sunnah. selebihnya, seperti, Ijma’, Kias, apalagi Istihsan, Maslahah Mursalah, Istishab, Syar’u Man Qablana, Urf dan lainnya adalah sumber sekunder. Artinya, keberadaan sumber sekunder ini tidak berdiri sendiri. Ia butuh kepada apa yang disebut dengan “cantolan” berupa  support penuh al-Quran dan al-Sunnah. 

Berbeda dengan al-Qur’an yang memang sedari awal mendapatkan garansi keotentikan dari Allah Swt al-Sunnah tidak demikian. Al-Sunnah bahkan sejak pertama kali sudah menuai kontroversi. Kontroversi itu bermula ihwal apa boleh menulis apa-apa yang muncul dari nabi selain al-Quran. Banyak ulama yang mengatakan hal itu tak boleh, dan ditengarai nabi pernah memerintah menghapus jikapun terlanjut menuliskannya. Tujuannya: agar tidak terjadi silang sengkarut antara konten al-Quran & al-Sunnah.

Di masa-masa awal, sabda, prilaku dan rekognisi nabi tersimpan di memori kolektif para sahabat. Para sahabat yang hampir tiap hari tiap waktu membersamai nabi paham betul bagaimana nabi merespons semua persoalan sehingga membentuk malakah (kemapampuan aksiomatis dalam merespons terhadap masalah hukum) bagi mereka.

Dan faktanya seperti dikemukakan al-Auzai bahwa kebutuhan al-Quran pada al-Sunnah lebih besar daripada kebutuhan al-Sunnah bagi al-Quran. Ini karena al-Quran adalah pedoman-pedoman universal untuk kehidupan universal (dari masa lalu hingga akhir masa), maka dari itu, butuh kepada al-Sunnah untuk menjabarkan maksud dan tujuan utama al-Qur’an. Jadi tidak mungkin, al-Qur’an menjelaskan secara mendetail setiap permasalahan karena di samping tidak praktis juga menunjukkan kelemahan al-Quran. Maka al-Qur’an datang dengan konsep umum, dan al-Sunnah yang merincinya.

Zaman semakin maju, umat Islam terus mengalami dinamika baik internal dan eksternal. Para sahabat yang menyimpan ilmu dari nabi satu persatu wafat, maka dikhawatikan tidak tersisa apapun dari mereka. Melihat fakta itu, kemudian Khalifah Umar ibn Abd. Azis mengirimkan surat permohonan kepada Ibn Shihah al-Zuhri, yang intinya meminta agar melakukan kodifikasi kepada kumpulan sabda-sabda nabi. Maka, karena perintah seorang pimpinan, Ibnu Shihab pun mengeksekusi permintaan itu.

Menengok laporan sejarah ini, disimpulkan bahwa bentangan jarak antara masa hadis diproduksi dengan masa hadis itu dikodifikasi cukup lama. Di masa yang lama itu, muncul kemudian kegelisahan perihal keotentikan, kemurniaan, keaslian sejak nabi bersabda hingga masa kodifikasi. Apa benar ini sabda nabi? Apa tidak ada intervensi kekuasaan? Pesanan istana? Dan seabrek pertanyaan lain. Apalagi kodisifikasi hadis ini melewati masa-masa “keras” dalam sejarah Islam seperti terjadinya intirk politik, perebutan kekuasaan dan lain sebagainya.

Baca juga:  Beragama ala Wong Ndeso

Lalu tidak heran kajian al-Sunnah ini menjadi objek sasaran empuk para orientalis untuk dibedah, dikritik bahkan ditolak sejak awal. Sekadar menebut nama yang paling beken seperti Ignas Goldziher dan Joseph Scacht. Nama pertama adalah orientalis Yahudi yang menerbitkan hasil penelitian dengan tajuk, “Muhammedanische Studien”, sebuah buku yang seperti “kitab suci” bagi kalangan orientalis. Sementara nama kedua juga orientalis Yahudi yang melakukan riset tentang hadis dalam waktu lebih dari sepuluh tahun dan menerbitkannya menjadi buku dengan judul, “The Origins of Mohammadan Jurisprudence”

Harus diakui, di masa-masa awal Islam, kira-kira sejak nabi hingga khalifah Umar ibn Khattab, masalah al-Sunnah ini masih normal-normal saja. Artinya tidak serumit hari ini karena pada waktu itu, para sahabat adalah kelompok yang punya integritas tinggi dan kondisi politik belum memanas. Bahkan al-Sunnah lebih kepada sesuatu yang sakral. Ibnu Sirin seperti dikutip Kiai Ali Mustofa Ya’qub, di masa-masa awal ketika ada orang membacakan sabda nabi bulu roma mereka berdiri. Kondisi berubah ketika pasca terbunuhnya Usman ibn Affan. Sejak itu, setiap ada hadis selalu muncul pertanyaan: siapa yang meriewayatkan?

Tujuannya bukan lain kecuali memastikan bahwa apa yang diriwayatkan itu adalah benar-benar dari nabi. Karena ada beberapa teks yang diasumsikan dari nabi tetapi bukan dari nabi atau dalam bahasa lainnya adalah hadis maudhu’ (hadis palsu). Memang ada satu masa dimana peredaran hadis maudhu’ begitu massif, terutama masa-masa fitnah yang terjadi di internal umat Islam dan kemudian lahir kelompok politik dalam Islam.

Dari itu, salah satu sebab kenapa hadis palsu begitu massif tersebar motifnya yang paling besar adalah soal politik.  Motif lain seperti: 1. untuk motivasi pendekatan kepada Allah Swt. karena maraknya kemaksiatan, 2. Disusupkan oleh musuh-musuh Islam, 3. Menjilat penguasa, tujuannya adalah untuk memperoleh simpati dari penguasa hingga ada orang membikin hadis palsu, 4. Tujuan mencari rizki atau gaji, mereka adalah biasanya pendongeng, 5. Mencari popularitas, yakni ada orang yang membikin hadis palsu untuk popularitas diri sendiri.

Baca juga:  Ngaji Gus Baha: Kafirkah Orang Yang Membuka Aurat?

Untuk kepentingan melokalisir kumpulan hadis-hadis palsu, banyak ulama yang menyusun buku ensiklopedi hadis palsu. Sekadar menyebut nama seperti kitab al-Maudhu’at karya Ibnu Jauzi, al-La’ali al-Mashnu’ah fi Ahadis al-Maudhu’ah karya Jalaluddin al-Suyuthi, Tanzih al-Syariah al-Marfu’ah al-Ahadisth al-Syani’ah al-Maudhu’ah karya Ibnu Arraq al-Kannani, Tadzkirah al-Maudhu’ah karya Muhammad Thahir al-Hindi dan kitab al-Fawaid al-Majmu’ah fi Ahadist al-Maudhu’ah karya al-Imam al-Syaukani dan lain-lain.

Sebenarnya, untuk mengantipasi tersebarnya hadis palsu ini, dalam kajian hadis sudah disediakan perangkat metodologisnya, yaitu ilmu kritik hadis (naqd al-Hadis) baik secara matan (konten) dan sanad (transmisi). Namun, jauh panggang dari api masih banyak hadis-hadis palsu yang beredar dalam lingkungan umat Islam, termasuk di umat Islam Indonesia.

Di Indonesia, banyak redaksi berbahasa arab yang diklaim sebagai hadis nabi. Umumnya hal ini tersebar dalam banyak mimbar-mimbar ceramah pengajian yang hanya satu arah. Jadi tak memungkinkan untuk ada dialektika dalam forum itu. Maka, semua hal yang disampaikan seorang muballigh dianggap harga mati, yang tak boleh ditawar-tawar.

Sekadar menyebut contoh, ada satu perkataan arab yang diklaim sebagai hadis dan sangat masyhur, terutama dalam acara-acara motivasi pendidikan. Sesuatu yang dianggap hadis itu adalah:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ رَسُول الله اطْلُبُوا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّينِ فَإِنَّ طَلَبَ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

Dari Anas, ia berkata bahwa Rasullullah pernah bersabda: “Carilah ilmu ke negeri China. Karena mencari ilmu sangat wajib bagi tiap orang Islam”

Mari kita mulai: ada catatan problematik pada hadis tersebut. Pertama, kualitas hadis. Ibnu Hibban seperti dikutip Ibnu Jauzi, menyebut hadis ini adalah batil, palsu, tidak ada dasarnya (bathil la lashla lahu).  Al-Sakhawi menguatkan, bahwa sumber kepalsuan hadis ini adalah terletak pada rawi yang bernama Abu Atikah Tarif ibn Sulaiman. Abu Atikah ini, oleh banyak ulama seperti al-al-Bukhari, al-Nasa’i dan Abu Hatim disebut tidak memiliki kredibilitas sama sekali dalam meriwayatkan hadis. Bahkan dalam sebuah kesempatan, Abu Atikah ini disebut sebagai pemalsu hadis.

Baca juga:  Kebaya: Elemen Budaya dalam Jejaring Makna

Sebenarnya Jalaluddin al-Suyuti menawarkan tiga jalur periwayatan lain terhadap hadis ini. Tapi itu semua tidak mengubah nilai dan kualitas hadis tersebut. Artinya, hadis ini masih dalam posisi lemah, palsu. Karena dari tiga jalur yang ditawarkan al-Suyuthi dalam masing-masing jalur terdapat nama-nama yang di-blacklist oleh kritikus hadis. Sehingga periwayatan mereka tertolak. Deal!

Sebenarnya masih banyak komentar ulama terhadap hadis ini, salah satunya adalah pakar hadis kontemporer yaitu Syaikh Nurudiin Itr, tapi dalam hemat saya, semua komentar-komentar itu tak ada satupun yang menaikkan drajat hadis ini dari dua kategori, pertama maudhu’ (palsu), kedua, Dhaif Syadid (lemah sekali), bahasa halus dari palsu juga sebenarnya.

Maka, saya sepakat bahwa hadis ini adalah hadis palsu. Oleh karena itu, Ibnu al-Jauzi memasukkan hadis ini dalam kumpulan hadis-hadis palsu dalam kitab al-Maudhu’at-nya dan Jalaluddin al-Suyuti dalam al-La’ali al-Mashnuah fi Ahadist al-Maudhu’ah. Poin pembahasan dalam tulisan ini adalah di redaksi “Carilah ilmu ke Negeri China” adapun redaksi setelahnya, itu masuk kategori sahih yang diriwayatkan antara lain oleh al-Bayhaqi dalam Syuab al-Iman, al-Tabrani dalam al-Mu’jam al-Shagir dan lain sebagainya.

Daripada itu semua disimpulken: ketika sudah disimpulkan bahwa hadis ini adalah palsu, maka tak perlu muncul pertanyaan lain; kenapa nabi menyebut China, bukan Korea Utara? Sebab hadis ini sudah dikategorikan palsu dan tidak ada kaitannya dengan nabi.

Komentar Kiai Ali Mustafa Ya’qub, mungkin ungkapan ini adalah kata mutiara melihat China sudah maju sejak dulu. Lambat laun ungkapan itu disakralkan tanpa ada koreksi hingga disebut-sebut sebagai hadis nabi. Lagi pula, urusan belajar yang penting bukan kemana belajarnya tetapi bagaimana belajarnya. Percuma belajar ke China, Eropa, Amerika atau ke Korea Utara jika hanya untuk instrastori. Lebih baik belajar di Indonesia tetapi dengan semangat yang tinggi. Lebih kacau lagi, belajar di Indonesia tapi kerjaannya hanya foto-foto, main terus ke tempat pariwisata. Duh! []

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top