Nahdliyin, menamatkan pendidikan fikih-usul fikih di Ma'had Aly Situbondo. Sekarang mengajar di Ma'had Aly Nurul Jadid, Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo. Menulis Sekadarnya, semampunya.

Diskursus Khamr dalam Islam (4): Khamr dan Konsep Taaqquli dalam Fikih

Diskursus Khamr dalam Islam (4): Khamr dan Konsep Taaqquli dalam Fikih

Al-Syatibi, seorang ulama beken yang belakangan disebut-sebut sebagai tokoh Maqasid al-Syariah menulis dalam bukunya al-Muwafaqat:

فَقَدَ اتَّفَقَتِ1 الْأُمَّةُ -بَلْ سَائِرُ الْمِلَلِ- عَلَى أَنَّ الشَّرِيعَةَ وُضِعَتْ لِلْمُحَافَظَةِ عَلَى الضَّرُورِيَّاتِ الْخَمْسِ -وَهِيَ: الدِّينُ، وَالنَّفْسُ, وَالنَّسْلُ، وَالْمَالُ، وَالْعَقْلُ

“Seluruh umat Islam (bahkan umat-umat dari agama lain) sepakat bahwa syariah agama dicanangkan untuk menjaga hal-hal yang primer dalam kehidupan manusia, yaitu aspek relegiutas, jiwa, keturunan, harta dan akal”.

Lima tujuan luhur (al-Kulliyah al-Khamsah) di atas kemudian disebut dengan konsnep kemaslhatan. Salah satu ulama yang memberi rumusan konsep ini di era-era awal adalah Abu Hamid al-Ghazali. Dalam al-Mustasfa ia menulis:

أما المصلحة فهي عبارة في الأصل عن جلب منفعة أو دفع مضرة، ولسنا نعني به ذلك، فإن جلب المنفعة ودفع المضرة مقاصد الخلق وصلاح الخلق في تحصيل مقاصدهم، لكنا نعني بالمصلحة المحافظة على مقصود الشرع ومقصود الشرع من الخلق خمسة: وهو أن يحفظ عليهم دينهم ونفسهم وعقلهم ونسلهم ومالهم، فكل ما يتضمن حفظ هذه الأصول الخمسة فهو مصلحة، وكل ما يفوت هذه الأصول فهو مفسدة ودفعها مصلحة.

“Adapun maslahat adalah sebuah ungkapan yang asalnya adalah menarik kemanfataan dan menolak kemudaratan. Akan tetapi kami tidak bermaksud hal itu karena menarik manfaat dan menolak mudarat adalah tujuan makhluk dan kelayakan yang dirasakan olehnya. Yang kami maksud dengan maslahat adalah menjaga atas lima konsep tujuan adanya agama. Tujuan agama dalam hal ini adalah ada lima pertama menjaga mereka dalam ranah agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda. Setiap hal yang menjaga lima konsep ini maka disebut maslahat dan setiap yang menghilangkan lima fungsi ini disebut dengan mafsadat dan menolaknya adalah maslahat”

Misal, kenapa dalam al-Qur’an pencuri dipotong tangannya? Sebab dengan adanya aturan itu ada aspek perlindungan dan penjagaan pada harta benda. Maka ketentuan haramnya mencuri berfungsi untuk menjaga harta manusia. Begitupula dalam haramnya khamr. Kenapa khamr diharamkan? Karena untuk menjaga fungsi akal. Sebab jika orang sudah mabuk maka ia akan sulit berfikir normal, justru mabuk ini kemudian seperti banyak laporan adalah pangkal banyak kejahatan. Sebenarnya, jauh-jauh hari, Nabi Muhammad Saw. Sudah menyebut bahwa khamr adalah pangkal segala keburukan.

Baca juga:  Siapakah Ulama, Imam, Syekh, Kiai, dan Ustaz? (Bagian 1)

Dalam bahasa lain, keharaman khamr tidak hanya karena Allah melarang akan tetapi karena ia memiliki dampak, yaitu memabukkan. Dalam bahasa fikih keharaman khamr memiliki alasan (illat) yaitu memabukkan.  Dalam persoalan illat ini, ada diskusi tersendiri dalam pandangan ulama. Sekurang-kurangnya ada tiga komentar ulama yang bisa dikemukakan.

Pertama, kelompok yang menyebut bahwa teks-teks hukum pasti memiliki illat. Kelompok ini diwakili oleh kelompok Jumhur dan Hanafiyah. Namun demikian meski mereka sepakat bahwa aturan hukum haruslah memiliki illat akan tetapi mereka sendiri berbeda dalam memaknai illat itu sendiri. Menurut Jumhur illat adalah “Sesuatu yang yang zahir (tampak/bisa dindra), serta tersentandari (mundabith)”. Sementara menurut Hanafiyah illat adalah, “sifat yang sesuai, tanpa ada kriteria terstandari (mundabith).

Kedua, kelompok yang menyebut bahwa teks-teks hukum tidak memiliki illat kecuali ada dalil yang menegaskan keberadaanya. Kelompok ini diwakili oleh Zahiriyah, salah satu pembesarnya adalah Abu Daud al-Dahiri dan Ibnu Hazm.

Ketiga, kelompok yang sedari awal menolak dan menetang adanya illat. Kelompok ini adalah kelompok yang menentang kias dalam Islam. Sebab dalam aturan kias ada unsur yang sangat penting terwujudnya kias, yaitu illat. Illat secara sederhana dimaknai adalah titik temu (al-Jami’ bayna Asl wa al-Far’u) antara Ashl dan Far’u yang hendak disamakan.

Baca juga:  Pertanian dalam Islam

Walaupun demikian, tidak semua hukum dalam Islam bisa dinalar dengan rasio akal manusia. Ada beberapa hukum, yang manusia sebagai objek aturan diminta patuh dan berserah diri sepenuhnya. Hal ini dalam fikih istilahnya taa’budi.

Zakariya al-Anshari menulis:

قد يطلقون التعبدي على ما لم يظهر له علة موجبة للحكم وان ظهر له حكمة

“Ulama memaksudkan dengan taabudi dengan sesuatu yang tak jelas atau tak tampak reason-nya bagi sebuah hukum sekalipun dalam hal itu terdapat sebuah hikmah”

                Dalam aspek ini, kita semua hanya diminta pasrah dan berserah diri. Karena sejatinya Islam secara terminologis seperti disampaikan al-Bajuri adalah kepasrahan. Ia menulis:

الاسلام شرعا هو الانقياد للاحكام الشرعية

“Islam secara terminologis adalah berpasrah terhadap hukum syar’i”

Contoh hukum yang bersifat taabudi ini adalah seperti kenapa Zuhur empat rakaat? Subuh hanya dua rakaat? Dan yang paling terkenal, kenapa sisa jilatan anjing dibasuh tujuh kali dan salah satunya dicampur dengan debu? Kenapa tidak dengan sabun? Dan segenap pertanyaan lain.

Dalam ranah demikian, kita hanya dituntut untuk berserah diri dan menerima apa adanya. Meski, ada beberapa buku yang entah melakukan penelitian serius apa tidak bahwa bakteri dari jilatan anjing hanya bisa hilang dengan debu. Tapi sekali lagi itu masih dipersoalkan juga. Secara aksiomatis, ketika ada aturan dicampur dengan debu maka logika manusia akan banyak bertanya.

Dalam sebuah hadis, pernah diceritakan ihwal ketidakmasuk akalan mengusap sepatu yang khusus perjalanan di masa lalu. Sepatu ini masuk dalam pembahasan fikih, tepatnya konsep rukhsosh kebolehan hanya mengusap sepatu ketika wudu sebagai ganti membasuh kaki. Tapi sepatu yang diusap adalah bagian atasnya saja.

Baca juga:  Jika Aku Pegawai dan Segera Masuk Kerja Lagi

Hadisnya berbunyi:

عن علي رضي الله عنه قال لو كان الدين بالرأي لكان أسفل الخف أولى بالمسح من أعلاه وقد رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يمسح على ظاهر خفيه.

Dari Ali Radiyallahu Anhu, beliau berkata: “Andaikata agama berpedoman dengan akal manusia maka bagian bawah sepatuh lebih utama untuk diusap, sementara aku melihat sendiri rasulullah mengucap bagian luarnya.”

Dan seperti juga komentar Sayyidina Umar yang hendak mencium hajar Aswad. Kita tahu dalam fikih ada hukum kesunnahan menicum batu hajar Aswad. Beliau berkata:

عنْ عُمَرَ رَضِي الله تَعَالَى عَنهُ أنَّهُ جاءَ إلَى الحَجَرِ الأسْوَدِ فقَبَّلَهُ فَقَالَ إنِّي أعلَمُ أنَّكَ حَجَرٌ لاَ تَضُرُّ ولاَ تَنْفَعُ ولَوْلاَ أنِّي رأيْتُ النبيَّ صلى الله عَلَيْهِ وَسلم يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ

Dari Umar ibn Khattab Radiyallahu anhu, sesungguhnya ia datang dan menjumpai Hajar Aswad kemudian ia menciumnya dan berkata: “Sesungguhnya aku tahu bahwa kamu hanya batu, yang tak memberi bahaya, tak memberi manfaat, seandainya bukan karena aku melihat sendiri rasulullah menciummu maka aku tak akan mencium”.

Konsekuensi pembagian ini kemudian juga berpengaruh dalam ranah ijtihad dalam Islam. Yaitu, dalam ranah taabudi maka aktivitas ijtihad tak mungkin terlaksana atau sediikit potensi terlaksana sebab untuk ranah ini kepasrahan adalah segalanya. Sementara dalam ranah taaquli bisa potensi ada itjihad.

Adanya dua bandul, taabudi dan taaquli dalam Islam ini memberi ciri khas tersendiri dan membedakanya dengan hukum buatan manusia. Dengan hukum taabudi kemudian menjadi jaminan bahwa hukum Allah Swt tak bisa diubah, tak mungkin terdapat penyimpangan dan distorsi oleh siapapun dan dimanapun.[]

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top