Pada dasarnya aktivitas ijtihad ada sejak era Rasulullah. Rasulullah di samping menjadi rasul, nabi, ia juga seorang qadhi dan mufti. Qadhi yakni memberi putusan atas tiap persengketaan dan mufti adalah orang yang memberi jawaban atas pelbagai pengaduan masyarakat khususnya urusan agama. Berkat bantuan wahyu, beliau berhasil menyelesaikan tiap problem yang bermunculan.
Ketika rasul wafat, sahabat yang belajar, berguru cukup lama dan mengamati sehari-hari nabi tak menemukan kesulitan dalam merespons permasalahan. Mereka memiliki malakah, yakni insting yang memandu mereka dalam menjawab persoalan. Malakah itu muncul sebab mereka paham betul bagaimana skema wahyu turun, psikologi nabi ketika bersabda dan lain sebagainya.
Kendala bermula ketika masuk akhir abad kedua Hijriyah, tepatnya tatkala Islam melakukan ekspansi besar-besar ke luar jazirah Arab. Lalu menyebabkan persilangan budaya, Bahasa dan iklim kehidupan. Lambat laun, apa yang disebut malakah seperti di atas mulai hilang dalam diri umat Islam. Ketika ada persoalan baru muncul, mereka agak gamang dalam menjawabnya. Belum lagi, banyak persoalan baru yang sebelumnya tidak pernah ada mulai bermunculan.
Adalah Abdurrahman bin Mahdi, seorang Gubernur di Khurasan, sebuah daerah yang hari ini masuk bagian Afganistan, mengirim surat kepada Muhammad bin Idris al-Syafi’I yang berada di Irak. Dalam surat itu, Bin Mahdi bertanya tentang banyak hal, mulai syarat-syarat Istidal dengan al-Qur’an, al-Sunnah, Ijmak, al-Qiyas, penjelasan Nasikh-Mansukh, tingkatan Aam-Khas dan beberapa tema lainnya.
Surat itu kemudian lebih dikenal dengan al-Risalah, sebuah kitab yang ditengarai menjadi kitab pertama ( dan sampai kepada kita) dalam bidang ushul fiqh. Memang masih menjadi polemik yang cukup serius ihwal siapa peletak dasar dalam ushul fiqh. Hanya saja, keberadaan kitab al-Risalah menjadi bukti “arkeologis” paling kuat bahwa penemunya adalah al-Syafi’i.
Fakhruddin al-Razi dalam sebuah kesempatan menegaskan bahwa ulama hampir semuanya sepakat soal Imam al-Syafi’i sebagai peletak dasar ilmu ushul fiqh. Sejarawan lain yang menyebut bahwa penemu usul fiqh adalah al-Syafi’i adalah Ibnu Khaldun. Seorang sejarawan kawakan itu dalam bukunya yang berjudul al-Muqaddimah menulis:
وأول من كتب فيه الشافعي أملى فيه رسالته المشهرة وتكلم فيها في الأوامر والنواهي والبيان والخبر والنسخ وحكم اللعة المنصوصة في القياس ثم كتب فقهاء الحنفية فيه وحققوا تلك القواعد وأوسعوا القول فيها
Adapun orang pertama yang menulis dalam bidang ushul fiqh adalah al-Syafi’i, ia mendektekan kitab “risalah”-nya yang amat terkenal. Di dalam kitab itu ia berbicara soal Amr, nahi, bayan, khabar, nasakh, hukum illat yang ditegaskan dalam qiyas, kemudian setelah itu, ahli fikih dari mazhab Hanafiyah menulis dan mereka memastikan kaidah-kaidah itu dan memperpanjang pembahasannya.”
Pasca rilisnya al-Risalah menjadi momentum untuk menyemarakkan “pekan” ijithad. Sebab panduan untuk berdalil sudah ada, tinggal merujuk kepada kitab karya al-Syafi’i. lantas sebelum munculnya al-Risalah apa pembicaraan seputar ijithad dan berdalil tidak ada? Jawabannya ada, hanya saja sebelumnya umat Islam tak punya panduan dan pedoman. Jadi posisi al-Syafi’i hadir untuk memberi rujukan dan pedoman resmi itu.
Al-Razi dalam Manaqib al-Syafi’i menulis:
كانو قبل الامام الشافعي يتكلمون في مسائل أصول الفقه ويستدلون ويتعرضون ولكن ما كان لهم قانون كلي مرجوع اليه في معرفة دلائل الشريعة وفي كيفية معارضتها وترجيحاتها فاستنبط الشافعي علم أصول الفقه ووضع للخلق قانونا كليا يرجع اليه في معرفة مراتب ادلة الشرع فثبت أن نسبة الشافعي الي علم الشرع كنسبة ارسطاطاليس الي علم العقل
“Sebelum al-Syafi’i, orang-orang berbicara masalah-masalah usul fikih, mereka berdalil, berbeda pendapat tetapi mereka tidak memiliki pedoman umum yang bisa dijadikan patokan dalam mengetahui dalil-dalil agama dan bagaimana jika terjadi pertentangan dan tarjih. Lalu al-Syafi’i menulis Usul fikih dan ia membuat pedoman, aturan universal yang dijadikan pedoman dalam mengetahui tingkatan dalil agama. Tetaplah tesis bahwa nisbat al-Syafi’i kepada usul fikih seperti penisbatan Aristoteles dalam ilmu logika (Aristoteles dikenal orang pertama yang meletakkan panduan logika berfikir)”
Jadi posisi al-Syafi’i disetarakan para founding father ilmu logika dan sastra arab. Sebelum datangnya Aristoteles, umat manusia berargumen semaunya tanpa ada pedoman baku. Ketika Aristoteles datang ilmu logika diberi batasan dan pedoman-pedoman baku.
Begitupula dalam konteks sastra arab. Sebelum Imam Khalil bin Ahmad merumuskan kode etik sastra, umat manusia membuat syair-syair arab hanya berdasarkan naluri dan tabiatnya. Setelah Khalil datang, ia meremuskan pedoman bagaimana membuat syair yang baik dan benar.
Seperti itulah posisi al-Syafi’i bagi ilmu ushul fiqh. Sebelum al-Syafi’i orang-orang sudah terbiasa dengan aktivitas ijithad, penafsiran al-Qur’an terkait hukum, dan berdebat dalam penentuan hukum. Hanya saja mereka tak punya pedoman baku dan lengkap. Al-Syafi’i hadir untuk mengisi kekosongan itu. Lalu ia merumuskan metode ijtihad dalam sebuah buku secara rapi, sistematis dan komprehensif.
Dari pengertian ushul fiqh memang menjadi jelas bahwa fungsi ilmu ini adalah sebagai kaidah dasar yang menjadi sandaran dan pedoman para sarjana untuk merumuskan hukum. Kaidah-kaidah tersebut digali dari al-Qur’an, al-Sunnah, Ijmak dan al-Qiyas.
Ushul yang artinya dasar atau pondasi memberi makna bahwa ushul fiqh adalah dasar atau pondasi fiqh. Karena yang dibicarakan adalah dasar keilmuan yang sifatnya abstrak maka pondasi di sini meliputi dalil-dalil. Jadi dalil yang berfungsi sebagai dasar fiqh. Al-Syairazi dalam al-Luma’ mendefinisikan ushul fiqh dengan:
أصول الفقه هي الأدلة التي يبنى عليها الفقه
“Ushul Fiqh adalah dalil-dalil yang padanya fikih dibangun”
Tesis-tesis di atas makin mengukuhkan bahwa al-Syafi’i adalah peletak dasar ushul fiqh. Ia punya jasa bagaimana merumuskan konsepsi berfikir terkait hukum secara baku, sistematis dan komprehensif. Lebih-lebih menurut al-Zarkashi, dalam bidang ushul fiqh al-Syafi’i tidak hanya menyusun al-Risalah semata ia juga menulis kitab ushul fiqh lain seperti Ahkam al-Qur’an, Ikhtilaf al-Hadis, Ibthalul Istihsan, dan al-Qiyas.
Posisi al-Syafi’i dengan ushul fiqh yang ia bangun makin menemukan momentumnya sebab di era itu terjadi berulang perdebatan panas dua kutub pemikiran keislaman. Pertama kelompok tradisionalis (ahl al-Hadis) yang berpusat di Madinah dengan Imam Malik bin Anas sebagai tokoh utama. Kedua kelompok progresif (ahl al-Ra’yi) tokohnya Abu Hanifah yang bermarkas di Kufah.
Secara background pemikiran, al-Syafi’i cukup representatif untuk menengah-nengahi polemik dua mazhab ini karena ia memang pernah mendalami mazhab Imam Malik dan Imam Abu Hanifah secara sekaligus.
Kepada mazhab pertama, al-Syafi’i justru bisa langsung kepada pendirinya, yakni Imam Malik ibn Anas sementara terkait mazhab Abu Hanifah, al-Syafi’i belajar kepada salah satu murid agung pendiri mazhab itu, yakni Muhammad ibn Hasan al-Syaibani. Maka tak heran, kemunculan al-Syafi’i diterima semua pihak dan lambat laun mengalihkan isu perdebatan dua mazhab yang tak pernah selesai itu.
Pasca al-Risalah lalu kajian ushul fiqh terarah dan terus mendapatkan sambutan dari banyak sarjana. Sekadar menyebut contoh, sejak era itu bermunculan karya lain yang akademik ilmiah dalam bidang ushul fiqh dan akhirnya kajian ushul fiqh terus berjalan sesuai dengan dinamika yang berlangsung. Al-Imam al-Syafi’i benar-benar membangun pondasi yang amat kuat dalam bidang ini. []