Hampir semua peradaban manusia, termasuk peradaban Islam tak bisa dilepaskan dari kontribusi sosok perempuan. Keberadaan perempuan, utamanya dari balik layar benar-benar memberi sumbangsih besar dalam medan perjuangan. Salah satu tokoh perempuan yang bisa dimunculkan dalam tulisan ini adalah Asma’ putri Abu Bakar. Ia adalah perempuan yang memiliki banyak kontribusi pada agama Islam, khususnya ketika momen membantu hijrah nabi bersama ayahandanya sendiri, yaitu Abu Bakar. Tepatnya Ketika beliau berdua hendak pergi ke Madinah secara diam-diam, Asma’-lah yang menyediakan bekal beliau berdua selama perjalanan.
Asma’ adalah perempuan yang dikelilingi berbagai kemulian. Ayahnya, Abu Bakar al-Siddiq adalah karib nabi, yang kelak menggantikan nabi ketika beliau wafat. Saudarinya, Aisyah bint Abu Bakar adalah istri nabi yang begitu dibanggakan. Suaminya, Zubair ibn Awwam adalah penolong perjuangan nabi. Sementara anaknya, Abdullah ibn Zubair adalah anak muda cerdas yang memiliki banyak kelebihan.
Zubair adalah laki-laki miskin pada waktu itu. Ketika menikahi Asma ia tak memiliki apapun kecuali tempat tidur sederhana yang ia simpan. Kondisi itu tak membuat Asma’ bersedih. Ia tetap menerima Zubair dan terus mensupport penuh suami tercintanya. Semua pekerjaaan rumah, ia kerjakan sendiri dengan mandiri. Ia tak meminta beban lebih kepada suaminya. Hingga lambat laun, keduanya menjadi keluarga yang hartanya diperhitungkan oleh masyarakat.
Potret sikap qonaah Asma’ sebenarnya bukan hanya ketika ia hendak menikah. Ketika ayahahandanya, Abu Bakar pamit untuk hijrah dan membawa hampir seluruh harta yang dimiliki tanpa menyisikan untuk keluarga Asma menerima dengan lapang dada. Bahkan ketika Abu Quhafah, laki-laki sepuh yang sudah hilang penglihatannya memprotes Abu Bakar, Asma membela ayahanda tercintanya.
Ketika kaum Muslimin hijrah ke Madinah, Asma’ sedang hamil tua. Namun kondisi itu tak menjadi alasan baginya untuk tak ikut serta di dalamnya. Ia ikut berhijrah, berjalan di tengah malam menempuh jarak panjang, jalan terjal penuh onak duri. Sesampainya di daerah Quba’, Asma kemudian melahirkan Abdullah. Kaum muslimin yang menyertai ikut berbahagia. Mereka menyambut kelahiran pertama dalam sejarah kehidupan baru di Madinah ini dengan gemuruh takbir dan tahlil.
Persis seperti saudarinya, Aisyah, Asma adalah tipikal perempuan cerdas. Ia meriwayatkan sekitar 58 hadis dari nabi. Ia juga memiliki keahlian bersyair. Dan kecerdasan Asma tak berkurang hingga masa tuanya. Dalam dokumentasi sejarah, Asma dikaruniai usia yang panjang. Ia berusia di atas 100 tahun. Di usia senja, analisinya masih begitu tajam, ingatannya begitu kuat. Hingga anaknya, Abdullah ibn Zubair masih sering meminta pandangannya untuk memutuskan sesuatu.
Teladan lain yang dimilikinya adalah ia tipikal perempuan sederhana, menerima apa adanya dan begitu dermawan. Ia tak pernah menyimpan harta untuk kehidupan esok. Ketika menjelang hari-hari kewafatannya, ia memerdekakan semua budak yang dimilikinya.[]