Di Desa Bunikasih (Warungkondang), Cianjur, Jawa Barat, ternyata terdapat makam seorang ulama besar Sunda yang hidup di abad ke-19 M, yaitu KH. Shoheh b. KH. Nuruddin.
KH. Shoheh tercatat wafat pada 24 Rajab tahun 1302 Hijri (bertepatan dengan 10 Mei 1885 Masehi).
Saya dan rombongan kawan-kawan Pascasarjana UNUSIA Jakarta berkesempatan menziarahi makam KH. Shoheh ini pada Selasa (14/1), diantar oleh KH. Heri Romdloni, pengasuh Pesantren al-I’tishom Coblong, Tegallega, Warungkondang, Cianjur. KH. Heri Romdloni adalah alumni Pesantren Lirboyo Kediri.
Dalam kitab “Fawa’id al-Muhtaj” yang mengisahkan riwayat hidup KH. Ahmad Syathibi (Mama Gentur, w. 1947 M), ulama sentral di Tatar Pasundan pada paruh pertama abad ke-20 M, disebutkan jika KH. Syathibi Gentur pernah belajar dan menjadi santri dari KH. Shoheh Bunikasih. Kitab “Fawa’id al-Muhtaj” merupakan karangan KH. Dahyatullah b. KH. Rahmatullah, yang tak lain adalah cucu dari KH. Ahmad Syathibi Gentur.
Jarak antara Gentur (Jambudipa) dengan Bunikasih memang tidak terlalu jauh, terpaut sekitar 3 Kilometer.
Dikisahkan dalam kitab tersebut, jika KH. Shoheh Bunikasih adalah murid dari Syaikh Ibrahim al-Baijuri (w. 1860 M), ulama besar Mesir yang pernah menjabat sebagai Grand Syaikh al-Azhar Kairo sekaligus pengarang banyak kitab-kitab rujukan, di antaranya adalah kitab “Hasyiah al-Baijuri ‘ala Fath al-Qarib” (dalam bidang fikih atau yurisprudens), “Hasyiah Tuhfah al-Murid ‘ala Jauharah al-Tauhid” (dalam bidang teologi), termasuk nazham (puisi) “Masa’il al-Baijuri fi al-‘Aqa’id” (nazhaman ini yang kemudian disyarah oleh Syaikh Nawawi Banten dengan judul “Tijan al-Darari”).
KH. Shoheh Bunikasih juga ternyata merupakan kawan dari Syaikh Nawawi Banten (w. 1897 M), ulama besar Makkah abad ke-19 M yang banyak menulis karya keilmuan Islam dan berasal dari Nusantara.
Informasi penting lainnya yang didapati dari kitab tersebut adalah keberadaan KH. Shoheh lah yang ternyata yang memotivasi Syaikh al-Baijuri untuk menulis kitab nazham “Masa’il al-Baijuri fi al-‘Aqa’id” (Tijan al-Darari).
Sosok yang dimaksud oleh Syaikh al-Baijuri dalam redaksi (طلب مني بعض الإخوان) “telah meminta kepadaku seorang sahabatku untuk menulis kitab ini”, tak lain dan tak bukan adalah KH. Shoheh Bunikasih ini.
Selain KH. Shoheh Bunikasih, dalam kitab itu juga disebutkan seorang ulama Priangan lainnya yang menjadi murid dari Syaikh Ibrahim al-Baijuri ini, yaitu KH. Adzro’i Bojong, Garut (w. ?). Sayangnya saya belum mendapatkan informasi dan data yang cukup memadai terkait sosok KH. Adzro’i Bojong Garut ini.
Selain dipertalikan oleh sanad keguruan pada Syaikh Ibrahim al-Baijuri, antara Syaikh Nawawi Banten, KH. Adzro’i Garut, dan KH. Shoheh Bunikasih, ketiganya juga dipertemukan sanad keilmuannya sebagai sama-sama murid dari Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (w. 1886), pengarang kitab “Syarah Mukhtashar Jiddan ‘ala al-Ajurumiyyah” sekaligus mufti madzhab Syafi’i di Makkah pada masanya.
نفعنا الله تعالى بهم وبعلومهم في الدارين آمين
Wallahu A’lam