Berikut ini adalah surat yang ditulis oleh seorang yang bertanda tangan atas nama Ahmad Syaubandi Sukabumi. Surat ini ditulis dalam bahasa Sunda aksara Arab (Pegon) dan dimuat dalam majalah “Tjahja Islam” yang terbit di Garut, bilangan nomor 8, Bulan Februari 1931 (Puasa/ Ramadan 1349 Hijri), tahun ke-II.
Surat tersebut ditujukan kepada seteru ideologi Kiai Ahmad Syaubandi (yang berhaluan puritan), yaitu Kiai Ahmad Sanusi (yang berhaluan tradisionalis atau Aswaja). Surat termuat dalam empat halaman (hal. 4-7), berisi tanggapan (yang sebenarnya lebih didominasi nyinyiran dan cacian) penulisnya (Kiai Ahmad Syaubandi) terhadap empat buah pandangan dan amaliah masyarakat muslim Sunda tradisional yang mana dalil-dalil keabsahannya dikemukakan oleh (salah satunya) KH. Ahmad Sanusi.
Keempat pandangan dan amaliah tersebut adalah: (1) masalah mengucapkan niat salat (talaffuzh bi al-niyyah), (2) masalah talqin mayyit, (3) masalah zikir berjama’ah setelah selesai shalat, (4) masalah hadis “bid’ah hasanah” yang berasal dari sahabat Umar RA.
Tertulis pada bagian awal surat tersebut:
كفد حج أحمد سنوسي تنه تيغكي ويلتفريدن (كيائي جنتيان)
فينا كوريغ انجن تيه بيسا غاجي سرتا غرتي كان كتاب كتاب إسلام. تفي براغ كوريغ مجا حجة حجة انجن دينا اروسن اكام إسلام بت كايهوان سرتا تيتيلا يين انجن تيه اجن غرتي سرتا اجن فهم كان علم علم اسلام
(Kepada Haji Ahmad Sanusi Tanah Tinggi Waltevreden [Kiyai Cantayan]. Panyana kuring anjeun teh bisa ngaji sarta ngarti kana kitab-kitab Islam. Tapi barang kuring maca hujjah-hujjah anjeun dina urusan agama Islam bet kanyahoan sarta tetela yen anjeun teh acan ngarti sarta acan paham kana ilmu ilmu Islam// Pada mulanya saya menduga jika anda bisa mengaji dan mengerti akan kitab-kitab Islam. Tetapi setelah saya membaca argument-argimen anda dalam beberapa masalah agama Islam, ternyata tampak dan jelaslah kalau anda belum mengerti dan belum paham akan ilmu-ilmu Islam)
Setelah pembukaan di atas, Kiai Ahmad Syaubandi langsung mengutip beberapa ayat Alquran dan mengatakan bahwa “barang siapa yang menghukumi sesuatu bukan dengan Alqur’an dan hadis, maka orang tersebut adalah kafir, fasik, dan zhalim”. Bersandar pada pemahaman itu, Kiai Ahmad Syaubandi lalu mencap KH. Ahmad Sanusi dan kiai-kiaai Sunda lainnya yang berhaluan tradisionalis sebagai pihak yang telah melakukan kekafiran, kefasikan, dan kezhaliman, karena menurut pandangan Kiai Ahmad Syaubandi, para kiai Sunda tersebut telah menghukumi beberapa praktik keagamaan yang tidak ada dalilnya dalam Alquran dan sunah.
Kiai Ahmad Syaubandi menulis:
كولنتران لوبا كيائي كيائي جغ كتاب كتاب انو سوك نتفكن اي سنة ايتو وجب جغ ستروسنا لائن كو قرآن لائن كو حديث صحيح كاجدييان لوبا فيسن انو غاجو
(Kulantaran loba kiai-kiai jeung kitab-kitab anu sok netepkeun ieu sunnah itu wajib jeung saterusna lain ku Qur’an lain ku hadits sahih, kajadiana loba pisan anu ngaco// Oleh sebab banyak kiai-kiai dan kitab-kitab yang menetapkan [hukum suatu perkara] itu sunnah, itu wajib, dan seterusnya, bukan dengan Alqur’an dan bukan dengan hadis, maka kejadiannya banyak sekali yang kacau)
Di antara praktik keagamaan yang menurut Kiai Ahmad Syaubandi tidak ada dalilnya dalam Alquran dan sunnah itu adalah keempat masalah yang sebelumnya disinggung di atas itu. Menurutnya, amalan-amalan tersebut adalah bentuk bid’ah dalam agama Islam yang sesat, dan akan menjerumuskan para pelakunya ke neraka.
Majalah “Tjahja Islam” yang memuat surat Kiai Ahmad Syaubandi ini, adalah sebuah media yang terbit di Garut di bawah organisasi “Madjelis Ahloe Soenah Indonesia” (MASI) yang berhaluan puritan dan dipimpin oleh KH. Anwar Sanoesi Garoet. Organisasi ini secara ideologis berafiliasi dengan beberapa kelompok Islam puritan di Nusantara lainnya yang menggeliat pada saat itu, seperti Persatuan Islam (PERSIS) pimpinan Ahmad Hassan yang berbasis di Bandung, al-Irsyad pimpinan Ahmad Surkati yang berbasis di Batavia, Kaum Muda pimpinan Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA) yang berbasis di Minangkabau, dan lain-lain.
Menanggapi surat Kiai Ahmad Syaubandi dan serangan-serangan pemikiran dari kelompok puritan dalam majalah “Tjahja Islam” ini, KH. Ahmad Sanusi pun mengarang sebuah kitab kecil (risalah) dalam bahasa Sunda aksara Arab, berjudul “Tahdzîr al-‘Awâm min Muftarayât Cahâyâ Islâm” (Peringatan untuk Orang Awam atas Tuduhan-Tuduhan Menyimpang Majalah Cahaya Islam). Kitab ini selesai ditulis pada bulan Syawwal di tahun yang sama (1349 M/ Maret 1931).
Kitab “Tahdzîr al-‘Awâm” karya KH. Ahmad Sanusi ini (beserta beberapa karya KH. Ahmad Sanusi yang lainnya) dicetak oleh Ichtijaar Drukk (Mathba’ah al-Ikhtiyâr) yang beralamat di Gang Kepatihan nomor 13, Buitenzorg (Bogor). Percetakan ini adalah milik KH. Tubagus Zakariya b. Tubagus Idris, saudara dari Syaikh (Tubagus) Ahyad b. Idris al-Bûghûrî al-Makkî (w. 1954), seorang ulama besar Makkah yang mengajar di Masjidil Haram asal Bogor, sekaligus menantu dari Syaikh Mukhtar ‘Atharid al-Bûghûrî al-Makkî (Syaikh Mukhtar Bogor, w. 1930), maha guru ulama Sunda di Makkah pada awal abad XX.
Terkait tuduhan kelompok puritan yang mengatakan jika amalan-amalan Muslim Sunda tradisional adalah perbuatan bid’ah yang sesat, KH. R. Muhammad Nuh (ulama besar dan bangsawan Cianjur, pendiri Pesantren al-I’anah, ayah dari KH. R. Abdullah b. Nuh Bogor, sekaligus juga salah satu sahabat dekat KH. Ahmad Sanusi), menulis bantahannya dalam kitab berjudul “al-Ajwibah al-Syâfiyah li Dzaw al-‘Uqûl al-Sâlimah”.
Baik KH. Ahmad Sanusi (Sukabumi) atau pun KH. R. Muhammad Nuh (Cianjur), keduanya adalah murid dari Syaikh Mukhtar Bogor ketika belajar di Mekkah pada awal tahun 1900-an.
KH. Ahmad Sanusi sendiri tercatat sebagai ulama besar Sunda asal Sukabumi (lahir di Cicantayan dan wafat di Gunungpuyuh), pengarang puluhan kitab berbahasa Sunda Pegon dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan Islam, khususnya tafsir Alqur’an, sekaligus pendiri Persatuan Umat Islam (PUI) bersama KH. Abdul Halim Majalengka yang hingga saat ini masih eksis sebagai salah satu organisasi keislaman yang besar di Jawa Barat.