Dalam karyanya yang fenomenal, “Tarikh Makkah” (Sejarah Mekkah), Ahmad al-Siba’i (w. 1404 H/ 1984 M) menyinggung keberadaan koloni Nusantara (Jawi) yang berada di Tanah Suci.
Dikatakan al-Siba’i, bahwa orang-orang “Bilad Jawi” (Nusantara), membentuk koloni di Tanah Suci lebih belakangan daripada bangsa-bangsa lainnya. Baru sekitar akhir abad ke-18 M.
Hal ini dikarenakan beberapa hal, seperti kondisi “bilad” tersebut yang berada dalam kontrol penjajah Eropa. Faktor jarak yang sangat jauh juga menjadi salah satu penyebab lainnya, selain masih minimnya ketersediaan sarana transportasi yang menghubungkan negeri-negeri Nusantara dengan Tanah Suci.
Namun, setelah adanya kapal uap, volume orang-orang Nusantara yang pergi ke Tanah Suci menjadi melonjak, terlebih lagi setelah dibukanya Terusan Suez di Mesir yang menghubungkan Laut Mediterrania dengan Laut Merah pada tahun 1863 M.
Sejak masa itu, koloni dari Nusantara (dan juga India) segera memenuhi distrik-distrik Makkah, dan jumlah mereka segera menyalip jumlah koloni bangsa-bangsa lainnya yang berada di Tanah Suci. Di antara “buyut al-jawiyyin” (puak koloni Nusantara) yang terkenal di Tanah Suci adalah puak al-Batawi (Betawi), al-Jawi al-Mriki (Jawa), al-Mankabawi (Minang), al-Asyi (Aceh), al-Fathani (Pattani), al-Sambasi (Sambas), al-Sumbawi (Sumbawa), al-Funthiyani (Pontianak), al-Buqisi (Bugis), dan lain-lain.
Al-Siba’i mencatatkan poin penting di sini. Bahwa ada hal yang membedakan koloni Nusantara dengan koloni lainnya yang pergi berhaji lalu ber-mustautin di Tanah Suci, yaitu semangat mereka yang tinggi untuk mencari ilmu.
Ya! Orang Nusantara ke Tanah Suci bukan hanya untuk berhaji lalu pulang, tetapi juga untuk mengembangkan misi intelektual yang luhur di Tanah Suci.
Setelah ibadah haji selesai, orang-orang Nusantara di Makkah tak segera kembali ke tanah suci, melainkan ber-mujawarah di sana selama bertahun-tahun untuk me-ngangsu kawruh.
Fakta ini juga dicatat oleh Snouck Hurgronje. Orang-orang Nusantara, kata Hurgronje dalam reportasenya tentang Makkah di Akhir Abad ke-19 M, terkenal sebagai “koloni yang gemar dengan ilmu pengetahuan, dekat dengan para ulama dan intelektual, baik tua atau pun muda”. Tipikal inilah yang membedakan mereka dari koloni bangsa-bangsa lainnya, yang karenanya mereka mendapatkan reputasi dan nama harum di seantero Tanah Suci.
Bersamaan dengan itu, lahirlah pada gilirannya generasi sarjana asal Nusantara yang berkiprah di Tanah Suci, baik sebagai guru besar (syekh), pengajar (mu’allim), penulis (mu’allif), khatib, adib (sastrawan), dan lain sebagainya.
Di saat itu juga lahirlah ratusan karya emas yang ditulis oleh para anak Nusantara di Tanah Suci itu, baik karya-karya yang ditulis dalam bahasa Arab, atau dalam bahasa Melayu dan bahasa Lokal (Jawa, Sunda, Aceh, dll) dengan aksara Arab.
Tak hanya itu saja, orang-orang Nusantara di Timur Tengah dengan jaringan intelektual, kebudayaan, dan literasi internasionalnya, juga menjadi salah satu titik terpenting dan “paling berbahaya” bagi gerakan perlawanan terhadap penjajahan Eropa di tanah air, juga persemaian bagi benih-benih gerakan kemerdekaan bumi putera.
Karena itu, tidaklak berlebihan jika dikatakan abad ke-19 hingga paruh kedua abad ke-20 M pun adalah “zaman keemasan” dari gerakan kebudayaan, intelektual, dan literasi Nusantara di Timur Tengah. Sejarah yang gilang-gemilang namun terkesan terpinggirkan dan terlupakan dalam kronika sejarah besar Nusantara itu sendiri.
Ini menarik, karena masa-masa tersebut adalah masa-masa ketika negeri asal mereka di Nusantara sedang berada dalam tekanan pemerintahan Penjajah Eropa.
Ini berbeda terbalik dengan fakta sejarah di kemudian hari yang justru miris; koloni Nusantara di Tanah Suci lebih terkesan sebagai “kelas pekerja kasar dan pendatang haram”, bukan lagi sebagai “kelas intelektual yang bereputasi luhur”. Dan ini justru terjadi di abad ke-21 M yang mana orang Nusantara sudah “merdeka dari penjajah Eropa”.