Sedang Membaca
Bagaimana Fikih Menghisab Eks Korputor yang Nyaleg?
Ahmad Rijalul Fikri
Penulis Kolom

Mahasiswa Pascasarjana Universitas Ibrahimy cum Mahasantri Marhalah Tsaniyah Ma’had Aly Situbondo Jawa Timur dengan konsentrasi Fikih dan Usul Fikih. Instagram @arfikri4ntb. Relawan Guide (Virtual) Indonesia Generasi Literat.

Bagaimana Fikih Menghisab Eks Korputor yang Nyaleg?

Alahmdulillah, Komite Pemilah Umum  (KPU) tidak hanya mengumumkan daftar calon anggota (caleg) legislatif dengan cepat dan gamblang, tapi juga mengumkan daftar caleg eks narapidana korupsi. Ada 81 eks koruptor, kata KPU. Mereka ada di semua tingkatan legislatif, kecuali DPR RI.

Rinciannya 23 caleg eks koruptor maju untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi, 49 caleg eks koruptor maju tingkat DPRD kabupeten/kota, dan 9 merupakan calon legislatif Dewan Perwakilan Daerah (DPD).  Lalu bagaimana kita menyikapinya? Izinkan saya menyampaikan “tanbih” dari khazan Islam, baik dari kisah dalam Alquran ataupun hadis.

Ada kisah Nabi Musa alaihissalam yang “dipromosikan” kepada Nabi Syu’aib alaihissalam. Alquran menghadirkan kisah itu di dalam surah al-Qashash ayat 26. Salah seorang dari kedua wanita itu berkata:

“Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”

Nabi Syu’aib dikabarkan oleh salah satu putrinya mengenai kapabilitas Nabi Musa sebagai yang kompeten menggembala ternaknya. Sebab, beliau sosok yang kuat dan energik (al-qawiy) serta berintegritas (al-amin).

Selain itu, ayat tersebut juga memperlihatkan bagaimana kecermatan Nabi Syu’aib kala merekrut orang yang akan berkomitmen mengurusi ternaknya. Secara mafhum aulawiy, ini menyiratkan sebuah iktibar. Bahwa untuk memilih gembala ternak saja diperlukan presisi, apalagi yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Memilih para caleg di pemilu nanti, misalnya. Wajib jangan asal pilih, kita justru harus lebih selektif dan mempergunakan hak suara dengan sebaik-baiknya.

Baca juga:  Sejarah Gus Dur Muda di Kairo: Buku, Film hingga Politik

Mau tukang gembala ternak atau “gembala” rakyat hakikatnya semakna pemimpin yang punya pertanggungjawaban atas tugas yang dipikulnya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw:

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.”

Dalam berbagai literatur kitab kuning dijumpai sejumlah rekomendasi dari para ulama mengenai kualifikasi pemimpin yang patut dipilih. Semua itu sesungguhnya derivasi dari kedua karakter tadi, al-qawiy dan al-amin.

Sifat ‘adalah (keadilan) termasuk satu di antara sekian kualifikasi yang mesti pemimpin miliki. Sifat adil yang benar-benar tercermin dalam dirinya, bukan yang hanya sebatas menjadi slogan kampanye atau pencitraan di mata publik.

Syihabuddin al-Ramli dalam kitabnya Nihayatul Muhtaj, mendefinisikan sifat adil dengan patokan tidak pernah melakukan dosa besar atau tak terus-terusan berkubang dosa-dosa kecil. Sebaliknya, orang yang tidak adil berarti orang fasiq yang berbuat dosa akbar atau renik-renik maksiat tetapi dilakoni berulang kali.

Lalu, bagaimana dengan caleg koruptor?

Berkaca pada mafhum di atas, hemat penulis, mereka sudah terbilang fasik akibat dosa rasuah yang telah mereka perbuat. Lagi pula, terlalu picik manakala tindakan korup mereka hanya dianggap seperti khilaf kepalang.

Lantas, dengan begitu mudahnya pelakunya dikasi kesempatan kedua. Tanpa ada garansi pasti bilamana nanti terpilih lagi mereka tak akan mengulangi keculasannya.

Baca juga:  Membaca Dua Manuskrip Tasawuf Filosofis di Jawa

Atas pandangan di atas, coba kita telanjangi kesalahan mereka dengan berpatokan pada hadis riwayat al-Bukhari (no. hadis 23) dan Muslim (no. hadis 208). Tentang tiga tanda kemunafikan: jika bicara dia berdusta, janjinya diingkari, dan dia mengkhianati amanah.

Klop dengan perilaku caleg koruptor. Ketika dia telah dinyatakan sebagai “maling” uang negara, otomatis dia terakumulasi ketiga tanda tersebut. Janji pas kampanye mereka ingkari. Mandat yang telah diberikan rakyat mereka khianati. Pun mereka telah mengibuli seantero konstituennya.

Ulama sangat melarang keras memilih calon yang munafik. Malahan Abdul Qadir Ahmad Atha’ menyitir dalam bukunya, Hadza Halal wa Hadza Haram, kecaman Nabi saw. terhadap sesiapa yang memilih sosok munafik sebagai pemimpin. Dalam konteks ini relevan sekali itu dialamatkan kepada puluhan caleg eks napi korupsi yang bakal berlaga di Pemilu 2019 mendatang.

Memang ada sebagian kalangan yang menilai wacana pelarangan caleg koruptor itu melucuti basic right mereka untuk dipilih sebagai legislator. Namun, barangkali penghayatan kita terhadap positioning antara hak dan kewajiban yang perlu pula digugah. Bukankah etisnya melaksanakan kewajiban dulu baru kemudian menuntut hak. Dan lagi, eksistensi kewajiban itu imperatif sedangkan hak sifatnya fakultatif.

Adalah kewajiban kita selaku warga negara, mengikhtiarkan kemajuan Indonesia serta peningkatan kesejahteraan dan keadilan sosial seluruh rakyatnya. Di samping kepemilikan hak politik kita masing-masing untuk memilih dan dipilih. Malar-malar, jikapun hak yang diperjuangkan itu semata karena birahi ingin bertahta, atau bahkan sekadar intensi pribadi mereka bersama kolega.

Baca juga:  Menelisik Wahabi (10): Konflik Ulama Banyuwangi dengan Golongan Anti Mazhab

Alhasil, demikianlah “ijtihad” penulis dalam menyikapi fenomena para eks napi korupsi yang bakalan berlaga 17 April nanti. Tentu pilihan ada di tangan Anda sendiri-sendiri, dan sesuai saran Rasulullah saw: istafti qalbak wastafti nafsak (bertanyalah pada hati nuranimu). Lagi pula, bukankah “mantan orang jahat” masih lebih baik ketimbang “mantan orang baik”?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top