Akhmad Faozi
Penulis Kolom

Penulis berasal (lahir) dari kultur ‘tani’ desa Geneng Mulyo kecamatan Juwana kabupaten Pati, Jawa Tengah. Domisili di Jogja. Hobi: menikmati dan belajar hidup melalui sabda 'iqra'. Sesekali berpiknik fiksi dan ilmiah, untuk memaknai keseharian yang dijalani.

Mengenal Kitab Pesantren (9): Hujjah Ahlussunnah Wal jamaah

Screenshot 20200503 133738 Gallery

Ramadan dua puluh tahun yang lalu, berbeda dengan saat ini. Khususnya bagi para santri di pesantren salaf (baca pesantren tradisional, bukan salaf dalam arti Salafi-Wahabi). Saat itu belum ada internet. Belum ada android. Belum ada ngaji online atau live streaming. Dan memang belum perlu untuk live streaming-an segala.

Saya masih akan bercerita tentang salah satu pesantren di Kajen, satu desa di Pati yang bercokol di dalamnya puluhan pondok pesantren. Adalah Pesantren Maslakul Huda atau PMH Putra. Pesantren yang kala itu (20 tahun lalu) masih diasuh oleh KH. M.A. Sahal Mahfudz. Seorang kiyai kharismatik yang kiprahnya menasional. Khususnya di lingkungan Nahdhiyyin.

Sudah menjadi tradisi di pesantren ini, menyelenggarakan ngaji posonan setiap bulan Ramadan. Mungkin karena ngaji ini dilangsungkan di bulan puasa, kemudian dinamai dengan posonan. Saya kurang tahu persis. Jelasnya, pada ngaji posonan ini dilangsungkan kajian kitab-kitab klasik tertentu yang dihatamkan dalam tempo sekitar lima belas hari. Bisa kurang tidak bisa lebih.
Ngaji posonan dimulai pada hari kedua Ramadan, terus setiap hari, setiap malam, sampai ditutup di malam tujuh belas Ramadan.

Jadwal ngaji, dimulai dari ba’da Shubuh sampai sekitar jam enam pagi. Istirahat sebentar. Jam tujuh mulai lagi sampai mendekati sholat dhuhur. Selepas dhuhur, kisaran jam satu ngaji dimulai kembali sampai menjelang Ashar. Ba’da Ashar, dilanjutkan kembali sampai menjelang berbuka. Setelah salat tarawih, ngaji lagi sampai tengah malam. Sedemikian berulang, bersambung setiap harinya.

Baca juga:  Keistimewaan Kesusastraan Al-Quran dan Kitab Asy-Syamil fi-Balaghatil Quran Karya Gus Awis

Dari rangkaian ngaji tersebut, minimal terkaji lima kitab sampai hatam. Ba’da subuh satu kitab, pagi satu, siang satu, sore satu, malamnya satu kitab lagi yang berbeda. Setiap kitab diampu oleh satu pembalah (nara sumber). Kecuali di jadwal ngaji pagi dan siang. Pada sesi pagi dan siang, diampu oleh kiyai Sahal sendiri. Ini termasuk satu keistiqomahan beliau: setiap Ramadan, Kiai Sahal menyengaja di ndalem, meninggalkan segala kesibukan di luar—seberapa pun pentingnya—demi mengasuh ngaji posonan.

Rangkaian ngaji posonan ditutup di tanggal 17 Ramadan dengan pengajian umum Nuzulul Qur’an. Sebelum pengajian umum, rangkaian posonan secara praktik telah diakhiri dengan sholat Tarawih berhataman Al-Qur’an 30 juz. Puncaknya, secara simbolik aktivitas posonan diakhiri dengan pengajian umum. Di pengajian umum ini tersebut terdapat ‘pembacaan sanad’ kitab yang dingajikan selama posonan Ramadan tahun itu.

Entah sejak kapan ngaji posonan ini mulai ditradisikan, saya kurang tahu persis. Tetapi satu hal penting yang perlu diperhatikan, bahwa di posonan tersebut, sarat muatan budaya keilmuan khas pesantren: kiyai yang mengajarkan ilmu, santri yang belajar, kitab klasik sebagai sumber kajian, serta transmisi keilmuan melalui runtutan dan kejelasan sanad keilmuan.

Hujjatu Ahlus Sunnah wa Al-Jama’ah: Warisan Intelektual KH. Ali Maksum Krapyak

Kondisi yang terceritakan di atas, merupakan lembaran kisah wulan poso dua puluh tahun silam. Semacam ruang kenangan yang begitu saja menyembul ketika membuka salah satu kitab kecil, karangan romo Kiai Ali Maksum, Yogyakarta. Kitab ini berjudul Hujjatu Ahlus Sunnah wa Al-Jama’ah. Satu kitab yang dingajikan ba’da tarawih kala itu.

Baca juga:  Sufi dan Sufisme di Barat

Kitab ini terhitung kecil bila dibandingkan dengan kitab-kitab yang lazim dikaji di pesantren. Dimensi lebarnya hanya 14×20 cm. Pula tipis, bertebal 100-an halaman. Walau begitu, kitab ini menghimpun di dalamnya asas-asas argumentasi fiqh dan hadis yang dapat menjadi pegangan (referensi) ke-Ahlus Sunnah wal jama’ah-an secara memadai. Minimalnya bagi santri pemula dan khalayak umum.
Pengarang kitab ini merupakan seorang tokoh kharismatik, KH. Ali Maksum. Kiprah beliau lekat di kalangan pesantren maupun khalayak awam sebagai tokoh moderat yang tak berjarak dengan masalah-masalah nyata keseharian umat. Sebagai seorang kiyai pesantren, kepakaran dan kharismanya tak tertampik di hati para santri. Sebagai seorang ulama, perannya nyata di tengah masyarakat.
Pengaruh kiyai Ali Maksum masih bisa dirasakan sampai kini. Di Krapyak-Yogyakarta, nama dan ruh dakwah beliau diabadikan menjadi “Yayasan Ali Maksum”. Di bawah naungan yayasan ini, terdapat jenjang pendidikan yang mengakar-menjulang dari non formal sampai formal. Mulai dari pendidikan tahfidz Al-Qur’an sampai Perguruan Tinggi. Persis jalan dakwah pak Ali (sebutan Mustofa Bisri kepada mbah Ali Maksum) semasa masih hidup: formal dan non formal sama-sama diasuh beliau.

Pada Hujjatu Ahlus Sunnah wa Al-Jama’ah, kita dapat menemukan ulasan padat terkait beberapa tema dan isu kunci dalam diskursus ke-ASWAJA-an di negeri ini. Kitab ini disusun menggunakan sistematika sederhana. Terdiri dari sepuluh bab yang, sembilan bab terakhir merupakan bahasan utama. Tidak ada bab penutup atau kesimpulan, karena setiap simpulan telah terbahas secara ringkas di tiap-tiap bab.

Baca juga:  Kontribusi Ulama Turki dalam Penafsiran Al-Qur’an di Nusantara

Secara tematik, Hujjatu Ahlus Sunnah wa Al-Jama’ah membahas tiga tema pokok, yaitu: ziarah kubur, ibadah di bulan Ramadan, dan tawasul kepada Nabi serta para auliya’-ulama’. Kitab Hujjatu Ahlus Sunnah wa Al-Jama’ah menjelaskan tema-masalah penting, sebagai rujukan praktis amaliah umat Islam. Kitab ini tidak ditujukan sebagai sebuah karya ilmiah akademik yang tajam dan mendalam terkait analisis terminologi dan historisitas. Kitab ini, dapat dikatakan semacam buku saku otoritatif bagi umat Islam yang melanjutkan tradisi tawasul dan ziarah kubur.

Karakter intelektualitas KH. Ali Maksum sedikit banyak terbaca melalui karyanya ini. Penguasaannya yang mendalam terkait wawasan Madzahib al-Arba’ah (madzhab empat) dan Ulum al-Hadist, kuat sekali. Beliau mampu menautkan rasionalisasi argumen kemadzhaban dan hadis secara sederhana namun tepat sasaran. Menggunakannya sebagai hujjah, dalil atau landasan bagi amaliah ahlus Sunnah wa al-jama’ah.

Kitab ini merupakan sebuah warisan berharga bagi kita: umat Islam yang secara jarak ruang dan waktu terpisah dengan Rasulullah sollallahu ‘alaihi wasallam berikut para salafuna ash-shalih. Melalui Hujjatu Ahlus Sunnah wa Al-Jama’ah, KH. Ali Maksum hadir sebagai penyambung keilmuan dan keruhaniahan antara kita (generasi akhir) dengan Rasulullah sollallahu ‘alihi wasallam. Wallahu a’lam.

Al-Fatihah untuk KH. Ali Maksum, para ulama dan kanjeng Nabi Muhammad.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
3
Terkejut
0
Scroll To Top