Akhmad Faozi
Penulis Kolom

Penulis berasal (lahir) dari kultur ‘tani’ desa Geneng Mulyo kecamatan Juwana kabupaten Pati, Jawa Tengah. Domisili di Jogja. Hobi: menikmati dan belajar hidup melalui sabda 'iqra'. Sesekali berpiknik fiksi dan ilmiah, untuk memaknai keseharian yang dijalani.

Mengenal Kitab Pesantren (27): Fushush Al Hikam, Cawan Hikmah dari Pergulatan Ibnu ‘Arabi

Fushush Al Hikam Image

Malam itu adalah malam Senin Legi, di tahun 2018. Tidak seperti biasanya, saya berboncengan dengan mas sepupu menuju desa Waturoyo. Satu desa di kecamatan Margoyoso, kabupaten Pati, Jawa Tengah. Berangkat ngaji. Itulah motif kami. Nuansa ini adalah nuansa yang baru akan kugumuli lagi setelah bertahun-tahun meninggalkan pesantren.

Kitab yang akan kami ikuti kajiannya adalah satu kitab yang terkenal sulit dipahami, ialah Fushush Al-Hikam. Karangan Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdillah Al-Hatimi Ath-Tha’iy. Kita mungkin lebih dekat dengan nama kebesarannya: Asy-Syekh Al-Akbar Muhyiddin Ibnu ‘Arabi, atau Ibnu ‘Arabi saja.

Kebesaran dan rentangan pengaruh Asy-Syekh ini mungkin tak akan cukup terbahas dalam satu helaan tulisan. Belum lagi bila masuk dalam gugusan pemikirannya yang tentu lebih luas dan dalam dari sebatas ‘kesan-kesan’ hasil pembacaan atasnya.

Sebagai ilustrasi singkat, betapa terjalnya pemikiran Ibnu ‘Arabi ini bisa terbaca dari pengalaman salah satu pengkajinya. Mohammad Yunus Masrukhin, penulis Al-Wujud wa Az-Zaman fi Al-Khithab Ash-Shufi ‘inda Muhyiddin Ibnu ‘Arabi—diterbitkan Mansurat Jamal, Beirut 2014—dalam salah satu tuturannya, butuh waktu tak kurang dari dua tahun untuk memahami bahasa dan kosa kata khas sang Syekh Al-Akbar tersebut. Bukan isi pemikiran, tetapi baru di tahap ‘memahami bahasa’ yang digunakan oleh Ibnu ‘Arabi.

Pengalaman pembacaan yang sedemikian itu, tak jauh beda dengan para pengkaji pemikiran Ibnu ‘Arabi yang lain. Ali Usman dalam Kiyai Kuswaidi Syafiie dan Kitab Fusus Al-Hikam karya Ibnu ‘Arabi (bangkitmedia.com, 01/05/2020) mengutip pengalaman Abul Ela Al-Afifi: “Aku membaca karya-karya Ibnu ‘Arabi dan memulai dengan kitabnya Fushush Al-Hikam, yang aku baca bersama komentar al-Qasyani berkali-kali, tetapi Allah belum membuka hatiku untuk bisa mencernanya. Setiap kata dapat kupahami pengertiannya, tetapi setelah kata-kata itu menyatu dalam satu kalimat atau dalam beberapa kalimat segera ia menjadi teka-teki dan menyulitkan. Komentar yang mendampingiku hanyalah menambah rumit dan samarnya pemahaman”. Dari pernyataan ini jelas tertangkap (kesan) betapa ‘sangat terjalnya’ kitab Fushush Al-Hikam. Sebegitu terjal sampai disemacamkan dengan teka-teki yang menyulitkan.

Baca juga:  Kitab Tanbih al-Muta’allim, Adab-Adab yang Perlu Diperhatikan Para Pelajar

Saya yakin dengan haqqul yaqin bila pengalaman kedua pengkaji Ibnu ‘Arabi tersebut, bukanlah khas mereka berdua saja. Tetapi akan menjadi pengalaman sesiapa yang berniat serius mengkaji sang Syekh Al-Akbar ini.

Kembali pada lanjutan perjalanan saya menuju ngaji kitab Fushush Al-Hikam yang saya tempuh bersama mas sepupu tadi. Ketika sampai di tempat ngaji—sebuah musholla kecil milik salah satu kiai setempat—sudah ada beberapa orang yang akan mengikuti kajian Fushush Al-Hikam terlihat duduk-duduk menunggu. Satu per satu peserta lain datang. Tak banyak. Sebilangan dua puluh sampai tiga puluhan orang.

Akhirnya pengampu kajian datang, KH. Abdullah Umar Fayyumi. Seorang kiai muda yang akrab dipanggil Gus Umar. Beberapa peserta ngaji mulai masuk ke dalam musholla. Peserta ngaji ini beragam usia dan latar belakang. Ada yang sudah kiai, dosen, guru madrasah, guru fisika, praktisi laku kesufian, peminat kejawen, dan santri-santri yang masih relatif muda.

Metode yang digunakan dalam kajian ini, sangat menarik. Sekitar jam sembilan malam, ngaji dimulai. Layaknya sebuah forum diskusi atau seminar ilmiah akademik yang lazim di kampus-kampus, ada moderator yang membuka kajian. Moderator mulai memberikan ulasan singkat terkait tema bahasan di sesi ngaji sebelumnya. Semacam catatan pinggir dan simpulan ringkas.

Baca juga:  Kala Majalah "Berita NU" Memicu Perlawanan

Setelah itu, seluruh peserta diberi kesempatan untuk merespon dan memberikan pandangan mereka. Kritikan, koreksi, dan tambahan boleh diutarakan. Alhasil, diskusi berlangsung. Adu argumen dan bantahan meluncur satu demi satu.Diskusi jadi cukup pelik. Diskusi berlangsung sangat hidup. Berlangsung sekitar setengah jam-an.

Suasana santai sangat lekat dengan ngaji tersebut. Tuan rumah, pemilik musholla menyajikan kopi panas dan camilan kepada kami. Asbak dan kepulan asap rokok adalah kelumprahan lain di samping kopi dan camilan. Nuansa ngaji yang hening, kaku dan khusyu’ tidak nampak. Ngaji Fushush Al-Hikam saat itu lebih dekat dengan suasana kekariban kumpul-kumpul keluarga. Semacam yang biasa ada di dalam temu alumni atau halal bi halal saat Idul Fitri.

Namun kesan santai dan karib dalam ngaji kitab Fushush Al-Hikam ini, seketika beralih serius saat sesi inti dimulai. Peserta yang membawa kitab mulai membuka kitabnya masing-masing dan larut dalam menyimak Gus Umar membaca, memaknai dan menerangkan isi kitab. Seluruh peserta seakan terserap dalam hening penyimakan. Saat itu, bahasan telah tiba pada pasal ke-8 yang berjudul Fasshu Hikmatin Rouhiyatin fi Kalimatin Ya’qubiyyatin. Sebuah bahasan berat yang mendedah hikmah filosofis-sufistik dari jejak figur Nabi Ya’qub.

Kitab Fushush Al-Hikam sendiri berisikan 27 pasal dari hikmah kenabian. Dari nabi Adam alaihissalam sampai nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam. Kenapa tidak 25 saja? Sebagaimana lazimnya 25 nabi yang mu’tabar. Di sinilah teka-teki dan kedalaman kitab Fushush Al-Hikam mulai terasa beralasan.

Baca juga:  Mencari Tuhan: Menyusuri Jalan Cinta

Ibnu ‘Arabi, dalam muqaddimah kitab Fushus ini, menjelaskan bahwa pada mulanya kitab ini bukanlah hasil pemikirannya sendiri. Kitab Fushush Al-Hikam ini bukanlah buah intelektual profan yang biasa lahir dari pergulatan ilmiah seorang penulis karya ilmiah. Asy-Syekh Al-Akbar menjelaskan bahwa muasal kitab ini bermula dari pertemuan ruhaniahnya dengan Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam. Dijelaskan olehnya, bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam datang kepadanya dengan membawa naskah kitab yang telah berjudul: Fushush Al-Hikam. Nabi berkata kepada Ibnu ‘Arabi: “ambillah kitab ini, dan sampaikan kepada umat manusia supaya mereka dapat mengambil manfaat dari kitab ini” (Abul Ela Al-Afifi, tt.: 46).

Sebagai penutup, perlu saya ikrarkan, bahwa beban berat benar-benar mengiringi terhidangnya ulasan ini. Bagaimana tidak, pengarang kitab ini adalah sosok yang terlanjur masyhur sebagai empunya diskursus ‘tasawuf-falsafi’. Sedang saya sendiri belum sedikit pun mendekati standar minimal kepakaran apapun. Alih-alih tentang ketasawufan dan kefilsafatan. Sedemikian, satu-satunya jalan yang terbuka bagi saya adalah jalan insight punguk pada rembulan. Semacam rabaan si buta pada tubuh gajah. Wallahu a’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
2
Senang
2
Terhibur
1
Terinspirasi
5
Terkejut
1
Scroll To Top