Prancis 1950-an, tinggal di satu sudut negara itu, seorang pemilik toko serba ada: Ibrahim. Ibrahim adalah seorang lelaki berusia 50-an tahun, seorang muslim kelahiran Turki, yang tidak bersekolah tinggi. Dia hanya punya tokonya, untuk memenuhi kebutuhan hajat hidup. Dan tetangga sekitarnya, memenuhi hajat harian mereka juga dari toko ini.
Di seberang jalan toko, tinggal satu keluarga keturunan Yahudi. Jad, anak dari keluarga itu sering mampir ke toko Ibrahim. Sejak kanak-kanak, ia sering membeli barang-barang kebutuhan keluarganya di toko Ibrahim. Karena latar religio-genetik yang jauh berseberangan, Jad kecil dan Ibrahim jarang bercakap lama. Jad datang untuk membeli, Ibrahim melayani sewajarnya. Hubungan mereka dingin. Suasana ini terekam dalam optik sinematik, di film Monsieur Ibrahim et les Fleurs du Coran (2003).
Sangat wajar bila seorang anak gemar makan coklat. Jad, sama. Ia menyukai coklat, tetapi uang jajannya tak cukup untuk membeli coklat yang diingininya setiap hari. Karena alasan ini, dan melihat peluang yang tersedia, akhirnya Jad berinisiatif ‘mengambil coklat tanpa bayar’. Saat hampir selesai menata belanjaan, ia selalu menyelipkan sekotak coklat ke sakunya saat berbelanja di toko Ibrahim. Tanpa bilang dan tanpa bayar.
Kelakuan ini dilakukan Jad berulang-ulang, hampir setiap hari selama bertahun-tahun. Satu kejadian kemudian merubah segalanya. Jad, lupa mengambil coklat. Ibrahim menegurnya, “Jad kamu melupakan sesuatu. Kamu belum ambil coklatmu!”.
Jad yang saat itu sudah remaja, melongo: “ternyata selama ini dia tahu”. Ia panik, takut kalau-kalau aksinya mencuri coklat dilaporkan kepada keluarganya. Dengan sungguh-sungguh ia meminta maaf. Ia mohon belas kasihan dari Ibrahim.
Sebaliknya, Ibrahim, si lelaki tua itu malah biasa saja. Ia bilang kepada Jad, “jangan khawatir. Tidak apa-apa. Asalkan kamu berjanji tidak lagi mengambil barang tanpa bilang, aku memaafkanmu. Dan kamu boleh mengambil coklat dari toko ini, semau-mau kamu. Gratis!”.
Jad kaget, heran pada respon kalem Ibrahim yang malah terkesan ramah. Tidak ada nuansa teguran yang keras untuknya. Sejak saat itu, Jad mulai dekat dengan Ibrahim. Ia tak sungkan bercerita tentang permasalahannya. Setiap dapat masalah yang berat dan butuh teman cerita, Ibrahim selalu jadi pilihan pertama.
Cara Ibrahim menyelesaikan masalah sangat khas, unik. Setiap Jad datang mengadukan masalahnya, dan Ibrahim dimintai saran, lelaki tua itu membuka satu kotak kayu, mengeluarkan satu buku, lalu menyuruh Jad membukanya secara acak. Setelah ketemu satu halaman yang dipilih, Ibrahim lantas membaca buku itu kemudian memberikan solusi atas permasalahan Jad. Mujurnya, setiap selesai dapat solusi yang nampak ‘acak’ tersebut, Jad benar-benar dapat menyelesaikan permasalahannya.
Titik Balik
Lambat laun kedekatan Jad dengan lelaki sepuh itu, semakin erat layaknya anak dan bapak. Bahkan lebih dekat, karena faktanya tak setiap anak berani terbuka dengan orang tuanya. Berlaku pula kebalikannya. Namun kedekatan itu harus berakhir. Di usianya yang 67 tahun, Ibrahim meninggal dunia. Sontak Jad merasa sangat kehilangan.
Ketika masa berkabung itu, Jad mendapatkan ‘tinggalan’ dari Ibrahim. Memalui ahli warisnya, Ibrahim menitipkan ‘kotak wasiat’, berisi buku kepada Jad. Jad menerima kotak itu. Di dalamnya terdapat satu buku dengan selipan pesan tertulis, “jika kau mendapat permasalahan yang sulit terpecahkan, bukalah buku ini, dan ambillah solusi darinya”. Buku tersebut berisi tulisan-tulisan dalam bahasa Arab. Bahasa yang tidak dipahami oleh Jad.
Jad lantas mencari tahu tentang buku tersebut. Dari penelusurannya, dia tahu kalau buku itu ternyata adalah Alquran, kitab suci orang Islam. Tapi Jad tak ambil pusing dengan itu. Ia menyimpan buku itu, dan mempergunakannya sewaktu diperlukan.
Sebagaimana pesan Ibrahim, setiap dia mendapat permasalahan berat, dia membuka buku itu. Karena tidak dapat membaca tulisan Arab, Jad meminta bantuan kenalannya yang berbangsa Tunisia untuk membantunya. Seperti sebelum-sebelumnya, Jad membuka secara acak, membacanya, mencari terjemahannya dan menyimpulkan solusi dari hasil bacaan tersebut. Dan hasilnya mujarab. Dia selalu bisa menyelesaikan permasalahan hidup, dari buku tersebut.
Setelah menjalani pengalaman hidup yang sedemikian itu, akhirnya Jad membulatkan tekad, dia memilih untuk menjadi seorang muslim. Dia meminta izin dari keluarganya, menyatakan diri sebagai seorang muslim.
Menambahkan Alqurani pada Nama, Lalu ke Afrika
Setelah menjadi muslim, Jad merubah namanya menjadi “Jadullah Alqurani”, sebuah nama yang dipilihnya karena ia yang begitu kesengsem dengan Alquran. Jad larut dengan Alquran, ia mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Bertahun-tahun ia serius memahami, meresapi Alquran.
Di satu tempo, pada salah satu halaman Alquran peninggalan Ibrahim, Jad menemukan selembar kertas bertuliskan satu kutipan ayat Alquran. Secarik tulisan tangan. Tertulis di sana, “ud’u ila sabili rabbika bil hikmah ..” (ajaklah orang-orang kepada jalan Tuhanmu dengan laku bijak). Dari sini Jad menyadari sesuatu, bahwa seluruh perkenalannya dengan Ibrahim tidak lain adalah model ‘hikmah’ itu sendiri. Sehingga dia yang mulanya sama sekali tak mengenal Islam, sekarang jadi muslim secara sadar dan alami.
Jad merasa terlahir kembali. Ia mendapatkan tujuan hidup baru. Ia ingin membaktikan diri dan seluruh hidupnya untuk total berdakwah. Dakwah dengan model ‘hikmah’ laku bijak, yang bersumber dari Alquran.
Kemudian ia keluar dari Prancis, pergi menuju satu daerah di pedalaman Afrika. Ia hidup di tengah-tengah masyarakat suku Zolo, Kenya, Sudan. Ia berdakwah di sana, mengamalkan dan mengajarkan Alquran kepada masyarakat. Hasilnya, setelah proses panjang ia berhasil mengislamkan sekurangnya enam juta (6.000.000) orang suku Zolo.
Kisah perjalanan hidup Jadullah akhirnya berhenti pada usia yang belum cukup tua (45 tahun). Pada tahun 2003, ia meninggal dunia.
Ibu Jadullah yang masih beragama Yahudi, sangat tertarik dengan pengalaman anaknya. Sejauh persinggungannya dengan Jad, berulang kali ia membujuk anaknya untuk kembali kepada ajaran Yahudi. Tetapi berulang kali itu pula, Jadullah kukuh dan tetap dengan pilihan hidup yang diambilnya.
Jadullah sempat bercerita kepada ibunya betapa ia sangat terkesan dengan perlakuan Ibrahim kepada dirinya. Dalam seluruh perkenalannya dengan Ibrahim, Jad menuturkan tidak pernah sekalipun ia dipanggil “hai, kafir” atau “hai, Yahudi”. Termasuk tidak sekalipun Ibrahim membujuknya untuk masuk ke agama Islam. Tidak sekalipun.
Entah karena Jad, atau titik balik yang berbeda, dua tahun sepeninggal anaknya (2005), Ibu Jad, yang seorang Yahudi sejak lahir, berpendidikan tinggi, dengan sadar memeluk Islam.[]