KH. Abdul Wahid Hasyim sosok kiai muda yang dari caranya belajar, berpikir, bergerak unik dan luar biasa. Bahkan, caranya mendidik putra-putrinya juga menarik kita pelajari.
Sebagai putra ulama yang memiliki pengaruh sangat kuat, Kiai Wahid Hasyim juga mampu membangun kebesaran dirinya seperti ayahnya, Hadratussyekh KH. M. Hasyim Asy’ari. Cara membangun dirinya itu juga kemudian dilakukan Gus Dur, Gus Sholah, Nyai Aisyah dan lainnya.
Di zamannya beliau merupakan seorang kiai muda yang tak minder, bahkan mampu bertukar wacana dengan santri-santri binaan ayahnya yang lebih senior, Hadratussyekh KH. M. Hasyim Asy’ari. Pun juga dengan tokoh-tokoh intelektual bangsa jebolan kampus ternama di negerinya bahkan mungkin dari luar negeri.
Berawal dari menjalankan titah ayahnya untuk tugas-tugas diluar pesantren yang tak mungkin ditinggalkan. Selanjutnya banyak terlibat didalam pergerakan sosial, politik, keagamaan, dan keagamaan.Tentu saja, meski pinter sekali KH. Abd. Wahid Hasyim tetap lemah lembut dan bersahabat kepada siapa saja.
Saat kebanyakan pesantren masih fokus hanya memberikan layanan pendidikan klasiknya, KH. Abd. Wahid Hasyim mencoba mencari terobosan dan alternatif lainnya. Atas restu sang ayah, di Pesantren Tebuireng Kiai Wahid dirikan madrasah khusus.
Untuk apa Kiai Wahid melakukan itu? Supaya, kelak alumni dari pesantrennya khususnya utama secara luas, para santri setamat belajar di pesantren selain jelas bisa menjadi kiai, juga mampu menjadi birokrat, menjadi politisi, menjadi jenderal, dan lainnya. Pengetahuan Keislamannya jelas kuat, bahasanya top, paham dunia organisasi, literasi, dan wacana non pesantren juga menguasai. Penyempurnaannya, berkarakter dan berakhlak mulia.
Meskipun kita tahu awalnya banyak yang mengkritik ide dan gagasan Kiai Wahid Hasyim. Bisa jadi, saat itu menjadi salah satu ide paling kontroversial di dunia pesantren. Dan Gus Dur, Gus Sholah dan sodaranya yang lain belajar betul kepada ayahnya saat dianggap berbeda dengan siapa saja termasuk sodaranya. Yang tidak tahu secara utuh ide dan gagasannya jelas geleng-geleng kepala. Apalagi yang tahu, bisa tambah vokal. Perbedaan, itu biasa. Sunnnatullah. Terbukti, gagasan Kiai Wahid menemukan relevansinya di kemudian hari.
KH. Abd. Wahid Hasyim sebelum benar-benar terjun bebas di luar pesantrennya memang sudah membekali diri dengan banyak hal. Banyak wawasan pengetahuan yang sudah dikuasainya, misalnya, literatur keislaman, sosial, politik, literasi kepemimpinan, dan sebagainya. Belum lagi dukungan ayahnya semakin sempurna.
Sebagai kiai muda yang sangat aktif bergerak di lapangan tentu saja banyak hal dijumpainya. Dari hal serius rumit dan njlimet sampai ke hal-hal yang sifatnya tak kuat menahan tawa. Penasehat pribadinya yang paling utama adalah ayahnya, Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari.
Tentu saja, sebagain orang di dekatnya juga sering dijadikan mitra diskusi misalnya KH. Ahmad Siddiq, KH. Saefuddin Zuhri, dll. Tetap saja banyak hal yang dijumpainya yang berupa masalah membuat beliau dalam posisi buntu. Yang jelas, sewaktu menghadapi situasi dan kondisi yang kurang mengenakan hingga buat beliau mengalami kebuntuan. Kiai Wahid Hasyim tetap tenang dan selalu aktif mencari inspirasi dan solusi.
Alkisah, pada suatu malam Kiai Wahid Hasyim bingung menghadapi situasi kabinet yang didalamnya beliau duduk sebagai Menteri Agama. Kiai Wahid merasa malu jika menghadapi suatu kekalahan, pembubaran kabinet itu dianggapnya juga suatu kekalahan, dan ia lantas bingung. Saat itu, beliau sedang diluar kota Jakarta. Sampai larut malam beliau mengikuti siaran radio sembari bekerja menyusun nota pembelaannya. Setelah letih nanti beliau berencana akan pergi tidur. Sebelum tidur beliau ingin mencari hiburan dengan cara mendengarkan musik dari radio tercintanya, disetel lah radio Mesir yang kebetulan menyiarkan bacaan Al-Qur’an. Tiba-tiba ayat Al-Qur’an yang didengarnya itu berbunyi, jika mereka berkeyakinan seperti keyakinan kamu, sesungguhnya mereka akan mendapatkan petunjuk, tetapi jika mereka tidak sesuai dengan keyakinanmu, adalah mereka dalam keingkarannya. Maka engkau nanti akan dipelihara Allah dan pada kejahatan mereka, dan Allah itu Maha Mendengar lagi Mengetahui. (QS. Al Baqarah(2); 137).
Mendengar lantunan ayat Qur’an di atas dari Radionya membuat Kiai Wahid Hasyim membuatnya tidak jadi tidur. Beliau kemudian bekerja kembali, melanjutkan aktivitasnya hingga waktu Subuh, dan ayam berkokok sudah terdengar.” (Kisah di atas bisa ditelusuri lebih lanjut dalam buku, Abu Bakar Atjeh, Sejarah Hidup KH. Abd. Wahid, Hasyim, Pustaka Tebuireng:2015: )
Mencari inspirasi banyak dilakukan dengan cara apa saja. Sebagai santri tentu saja dengan membaca Al-Qur’an menjadi hal sangat penting. Sebagaimana diajarkan dan dilakukan para kiai kita. Kisah di atas merupakan salah satu contoh. Tentu saja banyak dilakukan kiai lain dan bisa juga dengan jalan lain, misalnya salat, dll.
Al-Ghazali dalam Kitabul Arbain Fi Ushuluddin, mengutip sebuah hadis: Rasulullah Saw bersabda, paling utamanya dari ibadah umatku adalah membaca Al-Qur’an (Al Hadis). “Tiada penolong yang lebih utama di sisi Allah kelak di hari Kiamat, selain Al-Qur’an. Tidak juga nabi, malaikat dan sebagainya.” Dalam hal ini, Al-Ghazali juga mengatakan bahwa sesungguhnya membaca Al-Quran mempunyai etika dan rahasia tertentu yang bersifat lahir dan batin.
Ada ketenangan dan kedamaian saat kita membaca dan mendengarkan Al-Qur’an. Semoga kita diberi istiqamah dalam membaca, menghayati, dan mampu mengamalkannya. Amin. Buat Kiai Wahid dan para kiai kita yang telah wafat, Al Fatihah. (RM)