Munculnya terobosan baru dalam dunia pendidikan—baik tradisional beralih ke modern, individual menjadi komunal, dari wajah ke wajah, kemudian ke layar ponsel—bagi saya patut disyukuri.
Kalau beberapa tahun yang lalu, sore atau malam hari anak-anak datang ke lembaga bimbingan belajar, atau sebaliknya; ada pembimbing yang berduyun-duyun datang ke rumah si pembelajar untuk mengajarinya materi pelajaran mulai dari hal yang paling mendasar hingga materi persiapan ujian nasional.
Adanya terobosan baru ini artinya, kalau sore atau malam hari, kita harus merelakan keadaan jika tidak menyaksikan segerombolan anak yang tertawa bersama-sama ketika menemukan hal yang lucu pada saat belajar, kita tak akan lagi menyaksikan anak-anak yang saling pinjam-meminjam penghapus, pulpen, tipex, atau menyaksikan anak-anak yang membantu temannya mengerjakan soal.
Tak sia-sia perjuangan dan pengorbanan para pahlawan tanpa tanda jasa. Dari proses pembelajara yang serba tradisonal dan sederhana pada saat itu telah berhasil memuncualkan banyak tokoh yang kini ikut mengurus pendidikan di negeri kita. Kita bisa tahu sendiri dari manakah latar belakang pendidikan Pak Muhadjir Efendi, Pak Lukman Hakim Saifuddin.
Seorang kiai tanpa pesantren, juga budayawan yang banyak dikagumi, Emha Ainun Najib pernah khawatir, “Kalau anak-anak tak menemukan lagi pusat kebudayaan, maka jangan salahkan siapa pun jika makin banyaknya tindak kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak itu”.
Lihatlah fenomena yang terjadi akhir-akhir ini. Di Yogyakarta misalnya; segerombolan anak-anak muda yang mencari jati diri, pada malam hari melakukan aksi “klitih”. Istilah ini mirip dengan aksi begal di jalan raya, tapi sipelaku tidak mengambil sesuatu dari si korban, mereka hanya melukai dan menyakiti. Selepas beraksi mereka akan lari dan tertawa bahagia.
Fenomena apakah ini? Untuk itulah, para pahlawan tanpa tanda jasa ketika itu tak pernah merasa lelah, mereka mengerahkan seluruh jiwa dan raganya, meskipun gaji pas-pasan, bahkan ada yang justru malah tekor secara matematis karena ikut berjuang mengembangkan lembaga pendidikan yang mereka kelola. Bagian-bagian hidup yang mereka miliki, nyaris dinomorduakan, mereka lebih memilih mendampingi anak-anak sepanjang hari. Belum lagi jika kita menengok ke pesantren, seluruh hidup pengasuh dan guru-gurunya hanya untuk pendidikan dan murid-murid mereka, memastikan kehidupan murid-muridnya jauh dari hal buruk.
Bagaimana ini tidak kita sebut sebagai terobosan? Simaklah dengan baik, acara di telivisi akhir-akhir ini, kita akan mendapatkan tawaran diskon besar-besaran dari program belajar di dalam satu ruangan itu. Promo-promo yang mereka tawarkan amat menggiurkan. Yang tak kalah penting ialah figur yang ditampilkan di program yang sering nongol di telivisi itu adalah artis idola anak muda. Bahakan bagi yang mau, akan mendapat berbagai macam bonus jika menjadi pendaftar pertama program yang mereka buat. Anak-anak muda kita akan bisa dengan mudah mengakses materi bimbingan belajar hanya dengan mengunduh aplikasi di toko aplikasi daring (online). Betapa hebat dan luar biasanya terobosan satu ini.
Kalau dulu, kita perlu berjalan beberapa meter untuk bisa sampai ke pangkalan ojek, lalu kita akan sampai tujuan melalui jasa tukang ojek tradisional itu. Kini kita hanya perlu menyentuh tombol order di layar telepon, tukang ojek itu akan dengan cepat menghampiri kita, lalu sampailah kita ke tempat tujuan. Barulah bermunculan pengembangan ke pemesanan daring yang lain seperti pemesanan makanan dan minuman melalui aplikasi yang super pengertian itu.
Kemudian, yang menjadi hebat dan luar biasa terobosan dalam dunia pendidikan ini idalah untaian kata-kata yang dijadikan publik figurnya; penuh wangi-wangian, bunga-bunga mekar dan penuh estetik.
Di satu kesempatan saya tersenyum-senyum sendiri dan merasa bangga dengan penemuan dua mahasiswa yang penuh rasa senang karena program nya didukung pemerintah pusat itu. Sampai pada suatu momen datanglah teman saya belajar di gubuk kecil di kampung ketika kami masih kecil, ia masuk rumah dan memergoki saya melihat program belajar daring di televisi itu.
“Kamu mau daftar jadi guru di situ? Kamu ini kan mahasiswa! Mestinya kamu lebih paham apa itu Tri Dharma Perguruan Tinggi serta tau bagaimana mengimplementasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, kamu itu diciptakan Tuhan untuk mengabdi, berbaur dengan masyarakat, mengamalkan ilmu dan wawasan yang kamu dapat dari kampus, bukan malah memisahkan anak-anak dari temannya, dan menjauhkan mereka dari tempat-tempat yang memberi mereka banyak pelajaran hidup; tentang kearifan, kerjasama, gotong royong, kekompakan dan banyak hal. Apa kau senang melihat anak-anak Indonesia tak perlu menunggu usia dewasa untuk menjadi dewasa? Kau lebih senang mereka tertawa sendirian di hadapan ponsel, di ruang sunyi yang mereka sebut Ruang Guru itu? Mahasiswa tak berkarakter!”
Saya langsung mematikan televisi saya yang sudah tua itu, sembari menyiapkan argumen yang kuat untuk membantah kekhawatiran-kekhawatiran teman saya itu, sesaat kemudian layar televisi menjadi hitam, wujud teman saya yang berceloteh itu lenyap, barulah saya sadar kalau teman saya itu sudah pulang ke Rahmatullah beberapa tahun yang lalu.