Nahdlatul Ulama (NU) bagi masyarakat Jepang bukanlah organisasi baru. Hal ini dapat dilihat dari cukup banyaknya para peneliti Jepang yang mendalami atau mengkaji gerakan-gerakan NU, seperti Mitsuo Nakamura, Hisanori Kato, Yasuko Kobayashi, Ken Miichi, dan lain-lain. Ada juga nama-nama seperti Syaikh Abu Ahmad Maeno yang pernah diundang dalam Muktamar XII Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh Mu’tabaroh An Nahdliyah (JATMAN) di Pekalongan, dan Miwa Essadi yang juga pernah bertemu dengan beberapa tokoh NU untuk menggalang dukungan untuk pembangunan Masjid di Shizuoka, Jepang.
Selain hubungan person to person, hubungan NU dengan beberapa organisasi Jepang juga cukup baik. Hal ini terlihat dari beberapa kegiatan yang secara resmi diadakan oleh pemerintah Jepang dengan melibatkan NU. Misalnya, dalam beberapa tahun terakhir pemerintah Jepang rutin mengundang NU untuk mengutus perwakilannya untuk mengikuti kegiatan Japan East Asia Network Exchange For Students and Youths (Jenesys), The Tokyo Rinkai Disaster Prevention Park (Pameran Penanggulangan Bencana di Tokyo) serta beberapa kegiatan-kegiatan lainnya.
Perkembangan Islam di Jepang
Tidak seperti negara-negara di Asia Timur pada umumnya, negeri yang dijuluki Matahari Terbit ini baru bersentuhan dengan Islam pada abad ke-19, setelah sebelumnya telah terlebih dahulu bersentuhan dengan Budha (538 M) dan Kristen (1549 M). Menurut catatan sejarah, pertemuan Jepang dengan Islam baru terjadi pada tahun 1890, ketika sebuah Kapal Kesultanan Turki (Kapal Ertogrul) karam di perairan Jepang. Kapal ini merupakan kapal ekspedisi kunjungan balasan kesultanan Turki atas kunjungan bilateral kekaisaran Jepang ke Turki. Namun karena badai, kapal tersebut terdampar dalam perjalanan pulang di perairan Kushimoto-cho, Wakayama.
Menurut beberapa dokumen sejarah, dari 600 penumpang kapal, hanya 69 penumpang yang selamat. Mereka yang selamat, ditolong oleh para penduduk lokal sebelum akhirnya dikembalikan ke Turki berkat sumbangan yang berhasil dikumpulkan oleh rakyat Jepang. Peristiwa ini menyebabkan hubungan bilateral antara Jepang dan Kesultanan Turki semakin harmonis, yang kemudian berdampak juga pada penyebarluasan agama islam di Jepang. Sejak saat itu, Islam mulai dikenal secara luas di kalangan masyarakat Jepang.
Walaupun tidak terdapat statistik resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Jepang, menurut catatan Institut Nasional Kependudukan dan Penelitian Jaminan Sosial bersama Keiko Sakurai dari Waseda University, saat ini populasi muslim di Jepang diperkirakan mencapai 70.000 orang, yang mungkin 90% adalah orang asing dan sekitar 10% merupakan orang Jepang asli. Apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk Jepang yang berjumlah sekitar 120 (seratus dua puluh) juta orang, angka ini memang masih sangat kecil. Namun demikian, perkembangan Islam dalam beberapa dekade terakhir tergolong cukup pesat, seiring meningkatnya jumlah umat muslim yang berkunjung ke Jepang, baik untuk bekerja maupun sekolah.
Perkembangan ini misalnya bisa dilihat dari semakin bertambahnya pemeluk agama Islam, bertambahnya jumlah masjid di beberapa kota di Jepang, menjamurnya restoran-restoran halal, juga banyaknya biro perjalanan wisata yang menawarkan paket-paket wisata muslim-friendly. Ini menjadi angin segar ditengah citra negatif Islam yang menjamur di Jepang. Tentunya, banyaknya masjid yang berdiri di Negeri Matahari Terbit ini semakin memudahkan para penduduk muslim disana untuk melaksanakan ibadah sholat. Bahkan di beberapa daerah, banyak masjid didirikan agar menjadi wadah pertukaran budaya antar Jepang dan Islam.
Peran Strategis PCINU Jepang
Melihat kedekatan NU dengan Jepang, juga perkembangan islam di Jepang sebagaimana yang sudah dijelaskan, nahdliyin di luar negeri memiliki peran strategis untuk mengglobalkan visi-misi keislaman NU yang toleran, moderat, dan berjuang untuk rahmatan lil-‘alamin. Proses dakwah global ini tentu harus melibatkan penduduk lokal. Karena tanpa penduduk lokal, proses globalisasi NU tidak akan mengakar kuat di wilayah tersebut.
PCINU Jepang, sebagai organisasi yang telah resmi terdaftar di Kementerian Hukum Jepang, telah melakukan ikhtiar dakwah Islam Aswaja An-nahdliyah dengan berbagai cara, seperti mendirikan masjid, pusat-pusat kegiatan keislaman, mengadakan kajian rutin, membentuk MWCI di setiap wilayah dan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh masyarakat Jepang.
Setidaknya dalam tiga tahun terakhir, NU Jepang telah mendirikan 3 Masjid di Jepang, yaitu masjid Al-ikhlas di Kabukicho-Shinjuku, Masjid Nusantara Akihabara, dan Masjid Al-Ikhlas Sano Tochigi. Diantara masjid unik yang dibangun oleh NU Jepang adalah masjid Al-Ikhlas di Kabukicho. Kawasan Kabukicho yang merupakan kawasan lampu merah atau kawasan zona prostitusi dan night club. Masjid Al-ikhlas awalnya adalah tepat perjudian dan kini disulap menjadi masjid bernuansa islam nusantara. Di masjid ini sekarang dijadikan pusat pengembangan budaya dan seni islam.
Adanya masjid-masjid tersebut terbukti efektif untuk menyebarluaskan pesan-pesan keislaman yang moderat dan toleran. Beberapa kali pengurus masjid kedatangan tamu warga negara Jepang yang ingin memeluk Islam. Masjid tersebut juga menjadi sarana pertukaran budaya dan diskusi antar penduduk lokal dan pada nahdliyin di luar negeri. Kedepan, dengan adanya pusat-pusat kegiatan keislaman, ikhtiar untuk mendakwahkan Islam yang moderat dan toleran dapat terus dijaga, terutama untuk menghilangkan citra negatif Islam di Jepang yang selama ini berkembang. Semoga.