Perbincangan tentang ibadah haji tentu sudah jadi menjadi sebuah diskusi yang tak lekang oleh zaman; terlebih lagi bagi mereka yang mendalami ilmu agama, mereka pasti akan bertemu dengan kajian tentang ibadah haji pada satu bab khusus dalam kitab fikih.
Selain itu, pembahasan tentang ibadah haji hampir bisa dipastikan menjadi semakin ramai menjelang bulan/selama bulan Dzulhijjah seperti saat ini. Tidak terkecuali pada mimbar-mimbar khotbah Jumat.
Seperti yang saya alami belum lama ini ketika saya melaksanakan sholat jumat dimana sang khotib dalam khotbahnya menjelaskan tentang ritual haji. Tidak seperti pada umumnya, dia menerangkan makna dari ritual haji dan mengaitkannya dengan aktivitas keseharian masyarakat.
Bagi saya, yang paling menarik adalah ketika sang khatib menerangkan tentang sa’i (berlari-lari kecil dari bukit shofa ke bukit marwah). Ritual ini berdasarkan sejarahnya diambil dari sebuah peristiwa ketika Siti Hajar ditinggal oleh Nabi Ibrahim bersama dengan putranya, Ismail.
Berada di tengah-tengah lembah tandus gurusn sahara, Siti Hajar kemudian menjadi sangat panik saat Ismail kecil terus menangis karena haus.
Dalam kondisi yang demikian, dia pun meninggalkan putranya sendirian dan bergegas untuk mencari air. Na’as memang, karena ibu dan anak ini berada di tengah-tengah gurun pasir, setetes air pun tidak ditemukannya. Meskipun dia sudah mencari sambil berlari-lari, mondar-mandir PP (pulang-pergi) dari bukit Shofa ke Marwah.
Namun, seperti kata pepatah, kalau jodoh rejeki mah, tidak akan kemana-mana. Tanpa disangka dan tanpa dinyana, betapa bahagia dan harunya sosok ibu yang letih karena entah berapa kali dia sudah pp showa-marwah ketika melihat sebuah sumber mata air keluar dari tanah yang dihentak oleh bayi munglinya.
Dan, lagi-lagi Siti Hajar pun menjadi–tidak hanya heran namun juga merasa–lebih panik lagi, ketika sumber air yang baru tersebut itu tidak henti-hentinya mengeluarkan air. Iya, sumber air itu lah yang sampai saat ini kita kenal dengan nama “zam zam.”
Agakya, kisah tersebut sudah maklum bagi banyak kalangan namun yang menarik dari penjelasan sang khatib adalah saat dia mengatakan bahwa sejatinya, kita semua dalam kehidupan sehari-hari juga selalu melakukan sa’i; tentu, dalam konteks yang berbeda.
Setiap harinya, kita rutin beraktifitas yang salah satu tujuannya adalah untuk “menjemput” rizki yang telah digariskan oleh Allah. Maka, dengan tegas sang khotib mengatakan itu lah sa’i kita.
Kisah siti hajar sebenarnya merupakan cerminan kehidupan sehari-hari umat manusia. Seorang ibu (termasuk bapak) yang bertanggung jawab untuk mengurus bayi serta tuntutan untuk memenuhi kebutuhannya. Meski merasa sangat letih namun dia terus berjuang dan berusaha.
Ketika usahanya tersebut diniatkan semata-mata untuk beribadah; memenuhi amanah yang telah diembankan dan disertai perasaan berserah diri kepada Allah, maka Dia pun tidak akan lepas tangan. Meskipun usaha yang dijalaninya seakan bisa dipastikan kemungkinan survive hanya 0,01%, nah kalau tuhan sudah bersabda, nothing impossible.
Selain itu, tidak peduli seberapa ngotot kita berusaha untuk mendapatkan sesuatu, selayaknya kita harus tetap tawakkal dan yakin kepada-Nya. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan Siti Hajar ketika melihat air yang dicarinya kesana kemari untuk buah hati yang terus menangis, namun ternyata yang dicari malah muncul ditempat dimana putranya terbaring.
Tentu, Siti Hajar berbeda dengan kita, hamba yang masih dlo’if ini. Seandainya pada momen tersebut kita yang berada di posisinya, alih-alih rasa syukur dan hamdalah yang terucap dari bibir kita, bisa jadi justru sebaliknya. Kita malah nggrundel (menggerutu) karena sudah susah payah mencari air namun hasilnya nihil. Justru yang dicari kemudian muncul sendiri dan ditempat dimana kita membutuhkannya. Jika demikian yang terjadi, bisa jadi tidak ada ritual sa’i seperti saat ini.
Dari khotbah tersebut, paling tidak, perlu diingat bahwa menunaikan ibada haji tidak hanya semata-mata untuk memenuhi panggilan Tuhan, namun niat untuk beribadah dan menghayati lelaku yang akan dijalani.
Sebagaimana ritual Sa’i itu sendiri yang merupakan sebuah refleksi dari suatu peristiwa yang menggambarkan kepatuhan, perasaan berserah diri dan kegigihan dalam berusaha yang dibarengi dengan tawakkal yang patut direnungkan lalu diteladani.
Kepatuhan yang tercermin dari Nabi Ibrahim yang harus rela meninggalkan anak dan istrinya di tengah gurun tandus atas perintah-Nya. Pun demikian dengan sang istri yang tabah dan sabar serta menyerahkan segala urusan kepada yang Maha Kuasa dengan kegigihan yang beliau tunjukkan dalam usahanya untuk memberi minum sang anak.
Setidaknya, hal ini lah yang mungkin seringkali luput dari perhatian sebagian masyarakat kita. Mereka, pak kaji dan bu kaji sepulang dari tanah suci Mekkah, selayaknya bersyukur karena telah mendapatkan kesempatan yang istimewa.
Pun demikian, setelah sekian waktu diajak Tuhan untuk melakukan refleksi melalui sebuah ritual ibadah yang berkisah tentang kejadian-kejadian kehidupan masa lampau, mereka seharusnya mampu untuk mengambil hikmah dari proses refleksi tersebut sehingga bisa terus berproses menjadi pribadi yang lebih baik dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu ‘alam (aa)