Kesadaran global terkait lingkungan mulai berkembang pesat sejak deklarasi Stockholm. Deklarasi ini merupakan konferensi lingkungan yang diadakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1972. Deklarasi soal lingkungan ini kian intens sebagaimana yang terjadi di Nairobi, Kenya 1982 dan di Rio de Janeiro, Brasil pada Juni 1992.
Agama-agama besar juga diarahkan untuk membantu menopang kesadaran pelestarian lingkungan hidup melalui eksplorasi ajaran-ajaran keagamannya. Hal ini ditunjukkan dengan karya-karya terkait lingkungan yang berbasis hukum “sekuler” (non-religius) dan spiritual (religius) seperti Hinduism and Ecology (th. 2000), Thoward an Islamic Ecotheology, Religion and The Environtment (th. 2002), Islam and Theology: A Bestowed Trust (th. 2003), dan masih banyak karya lainnya.
Kita patut bersyukur, bila para pemimpin dunia dan bangsa-bangsa juga ikut andil dalam kesadaran global soal lingkungan hidup ini. Perubahan sosial yang ditimbulkan oleh para penguasa ini sangat diharapkan sekali demi perubahan terjadi secara signifikan dan massif.
Lalu, yang menjadi masalah adalah bila para orang elite, pemegang kekuasaan dan jabatan serta pemangku kepentingan politik justru menganut ideologi yang berwawasan seputar profit saja. Tanpa menghiraukan terhadap lingkungan sekitar dan keadaan alam secara luas. Salah satu ideologi yang dimaksud semisal adalah modernisasi dan kapitalisasme.
Teori modernisasi merupakan teori perubahan sosial yang dibangun atas landasan kapitalisme. Penerapan teori modernisasi dalam kebijakan di negara-negara berkembang menyebabkan terbukanya peluang bagi negara-negara kapitalis untuk mengembangkan usahanya di negara berkembang melalui perusahaan-perusahaan multinasional.
Dalam operasinya, perusahan-perusahan ini kemudian melakukan eksploitasi sumber daya alam di negara-negara tersebut. Hal ini merupakan tuntutan yang sesuai dengan ajaran kapitalisme bahwa ada tiga faktor utama dalam meningkatkan daya produksi, yaitu sumber daya manusia, teknologi dan sumber daya alam yang dieksploitasi secara besar-besaran hanya untuk kepentingan maksimal laba. Akibatnya, berbagai kerusakan lingkungan bersifat lintas batas negara kemudian banyak muncul di dunia, seperti perusakan lapisan ozon, perubah iklim, terjadinya pemanasan global, berkurangnya keragaman hayati, terjadinya hujan asam, dan juga kerusakan-kerusakan lingkungan yang bersifat lokal.
Pada tahun 2021 ini, sejumlah pemimpin dunia mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) iklim global atau Conference of The Parties (COP) ke-26. Pertemuan ini bertujuan untuk menandatangani perjanjian untuk menstabilkan dan menetapkan batas produksi gas emisi rumah kaca (pemanasan global) untuk mencegah gangguan bahaya pada sistem iklim. Saat ini, perjanjian tersebut memiliki 197 penandang tangan dari berbagai pemimpin negara di belahan dunia.
Meskipun begitu, dilansir dari berita jawapos, aktivis lingkungan dan PBB kecewa dengan hasil COP-26. Sebab pada detik terakhir, ada revisi satu kata yang berdampak besar. Revisi tersebut adalah mengganti kata “menghapus” bahan bakar fosil menjadi hanya “mengurangi” pengunaannya. Revisi itu merupakan usulan dari India, Tiongkok dan disusul dengan Amerika karena ketiga negara besar tersebut adalah penghasil populasi terbesar di Dunia.
Selama konferensi berlangsung, Greta Thunbert, aktivis lingkungan hidup asal Swedia serta aktivis-aktivis lainnya mengecam negara peserta COP26. Menurut mereka, para pemimpin dunia telah gagal mencocokkan kata-kata mereka dengan tindakan nyata di lapangan. Mereka belum mampu memenuhi kesepakatan perubahan iklim sebagaimana yang telah disepakati pada tahun 2015 di Prancis.
Najwa Shihab melalui konten video (bila kita tidak berbuat apa-apa) di akun instagramnya, mengemukakan bahwa memang sulit (mencapai kesamaan persepsi pelestarian lingkungan), karena masing-masing negara punya kepentingan sendiri. Akan ada tarik ulur yang berbelit-belit. Tapi kesepakatan harus dilaksanakan. Dunia haris melakukan pengurangan karbon secara profresif mencapai target nol emisi segera.
Semisal bisnis batubara. Batubara menjadi bisnis yang sangat menjajikan. Australia bahkan sangat terang-terangan akan tetap menjual batubara termal selama beberapa dekade mendatang. Hal itu disebabkan permintaan pasar yang tinggi. Disisi lain, terlepas dari keputusan KTT COP-26, kerusakan lingkungan berupa perubahan iklim sangat terasa sekali di New Delhi India. Pemerintah setempat dipaksa oleh polusi udara untuk menutup sekolah pada bulan November 2021 lalu. Proyek-proyek konstruksi juga diminta untuk berhenti selama empat hari. Pegawa sipil diminta bekerja dari rumah, termasuk pekerja swasta. (jawapos).
Itu semua merupakan upaya untuk mengurangi pencemaran udara akibat tingginya polusi udara yang disebabkan pabrik-pabrik raksasa di mana-mana di India.
Dalam hal ini, kondisi lingkungan yang kian memburuk dan semakin kritis, nampaknya tidak cukup diatasi dengan undang-undang “sekuler” semata, tapi juga diperlukan kesadaran otentik dari relung-relung batin setiap manusia melalui nilai-nilai moral keagamaan. Nilai-nilai agama dipercaya dapat memberikan efek kepada pemeluknya untuk menciptakan world view (cara pandang dunia) dan menggerakaan amat kuat untuk terkait pelestarian lingkuangan. Oleh karena itu, kesadaran lingkungan melalui nilai keagamaan sangat bergantung sekali pada para ahli fikih (fuqoha’) untuk disajikan dan dieksplorasikan menggunakan bahasa serta idiom-idiom ekologis dan modern.
Dengan nilai-nilai moral agama, dalam hal ini adalah agama Islam, manusia akan memiliki ketajaman membaca fenomena serta cope-ability (kemampuan mengatasi) berbagai persoalan serta menciptakan sejumlah peraturan dan hukum. Apalagi di era modern yang permasalahan-permasalahan kontemporer begitu kompleks, peran agama untuk dihayati, diamalkan dan diajarkan sangat vital sekali. Agama tidak hanya berkutat pada persoalan ritual ibadah dan rohani semata, tapi juga ikut andil secara pro-aktif mengatasi-masalah sekitar tanpa merusak keharmonisan dengan lingkungan.
Lebih dari itu, ajaran-ajaran agama soal pelestarian lingkungan harus didekatkan kepada para elite politik dan pemegang kekuasaan. Karena di tangan para pemimpinlah, mereka sangat diharapkan dapat menciptakan rangkain kebijakan yang strategis, progresif dan massif yang berdampak signifkan terhadap pelestarian lingkungan. Itu yang paling kita butuhkan.