KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dilahirkan pada tanggal 10 April 1875 atau menurut penanggalan arab pada tanggal 24 Dzulqaidah 1287H di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
Ia putra dari pasangan Kiai Asyari dan Nyai Halimah, Ayahnya Kyai Asyari merupakan seorang pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ia anak ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis keturunan ibunya, KH. Hasyim Asyari punya nasab kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang).
Setelah mengembara dari pesantren ke pesantren di Pulau Jawa, tepatnya usai mondok di Pesantren Darat, asuhan Kiai Sholeh Darat. Ia sungguh beruntung, selain bertemu dengan santri lain seperti Kiai Ahmad Dahlan (Darwis). Kiai Munawwir. Kiai Mahfudz Termasi dan lain sebagainya. Dari Kiai Soleh Darat ini, sanad keilmuannya sampai ke Rasulallah dan para Empu di Tanah Jawa.
Di Hijaz, Ia berguru pada Syaikh Nawawi Al-bantani, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi.
Sementara di Jawa, melalui Kiai Soleh Darat, ia mendapatkan ilmu keislaman yang sintesis dengan kearifan lokal, yang sandanya sampai ke Kanjeng Sunan Kalijaga, bahkan Empu Prapanca.
Cerita sanadnya itu demikian; atas perintah gurunya, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga diperintah menyadur naskah Kemandalaan-Majapahit, Silakrama karya Empu Prapanca, hasilnya adalah Serat Dewa Ruci. Kitab ini kemudian diajarkan kepada Sunan Bayat, hasilnya Nitibrata. Diajarkan kepada Ki Ageng Donopuro hasilnya Swakawiku. Diajarkan kepada Kiai Hasan Besari hasilnya adalah Krama Nagara. Diajarkan kepada Kiai Anggamaya hasilnya adalah Dharmasunya. Diajarkan kepada Kiai Yosodipura I hasilnya Sana Sunu. Diajarkan kepada Kiai Katib Anom hasilnya adalah Wulang Semahan. Diajarkan kepada Kiai Shaleh Asnawi hasilnya adalah Dasasila. Diajarkan kepada Kiai Sholeh Darat hasilnya adalah Sabilul Abid. Diajarkan kepada Kiai Hasyim Asy’ari hasilnya adalah Adabul Alim wal Muta’alim.
Karena itu, tak mengherankan ada kedekatan subtantif antara ajaran Kiai Hasyim Asyari dalam Adabul Alim wal Muta’alim dengan Empu prapacanca, dengan Kitab Silakrama, terutama titik temu ada dalam bab tiga, adab murid kepada gurunya dan bab dua (a), naskah Lontar Empu Prapanca.
Nasionalis Sejati
Kiai Muhammad Hasyim Asy’ari adalah ulama yang tidak mau sedikit pun tunduk kepada penjajah, baik Belanda atau Jepang. Tetapi, begitu kolonial ada kesempatan untuk mendesak, langsung ia menyerukan kepada umat untuk menghidupkan agama dan ukhuwah. Inilah salah satu tipikal Kiai Hasyim dalam berpolitik.
Pada masa penjajahan itu, ia sering dibujuk Belanda untuk tunduk, namun selalu berhasil ditolaknya. Akibat sikapnya yang non-kooperatif terhadap Belanda ini, pesantren Tebuireng pernah dihancurkan Belanda.
Pada tahun 1913 intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun ia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas.
Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kiai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan. Dalam pemeriksaan, Kiai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis.
Akhirnya ia dilepaskan dari jeratan hukum. Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu.
Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1930an.
Pada sekitar tahun 1935, Belanda memainkan politik tipu muslihat. Gubernur Belanda bersikap melunak kepada pesantrennya. Pemerintah penjajah menawarkan bantuan.
Tidak cukup itu, Belanda mengumumkan akan memberikan gelar Bintang Perak kepada KH. Hasyim Asyari atas jasanya dalam mengembangkan pendidikan Islam. Tetapi gelar kehormatan dalam bidang pendidikan dan bantuan itu ia tolak. Penjajah Belanda tidak putus harapan.
Untuk kedua kalinya Kiai Hasyim Asy’ari didekati dengan melakukan lobi-lobi melalui orang-orang suruhan Belanda Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kiai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan.
Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana.
Kedua, Kiai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak umat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya. Masa awal perjuangan Kiai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia.
Pasukan Belanda tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif Belanda.
Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang.
Perlawanan Terhadap Jepang
Jauh hari sebelum kapal perang Jepang mendarat di Asia, Jepang sudah membuat propaganda yang menyebar ke telinga anak bangsa di seluruh tanah air tercinta.
Slogan “Jepang adalah Cahaya Asia, Jepang Pemimpian Asia dan Jepang Pelindung Asia” merupakan propaganda yang sangat memberikan hawa baru bagi bangsa yang sedang terjajah.
Japang datang, Belanda meradang. Konfrontasi tentara bermata sipit itu lawan Belanda, membuat sang penjajah kulit putih itu menyerah. Bala Tentara Jepang yang dipimpin oleh Imamura itu membuat Gubernur Belanda, Jenderal Van Starkenborgh bertekuk lutut saat ditangkap di Kalijati, Subang tanggal 8 Maret 1942.
Berita dari Kalijati itu kemudian menyebar ke seluruh pelosok Jawa bahkan nusantara. Anak bangsa Indonesia semakin yakin bahwa kemerdekaan semakin dekat, sehingga mereka semakin semangat meneriakkan pekik kemerdekaan.
Di Surabaya, sekretariat Nahdlatul Ulama menjadi semarak oleh orang-orang yang terlibat di kepengurusan. Gema tahlil membahana seiring geliat pengurus yang semakin tak sabar mendengarkan apa yang akan dititahkan Kiai Hasyim Asy’ari.
Masyarakat pun semakin berduyun-duyun berkerumun di depan gedung tersebut. Sebab mereka tahu akan ada tausiyah akbar oleh sang Kiyai yang penuh kharima itu.
“Saudara-saudaraku,” seru Kiai Hasyim Asy’ari di tengah-tengah tausiyahnya, “dalam kesempatan ini marilah kita merunduk sejenak, bertafakur dan tentu saja menyampaikan puja-puji kita kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah begitu banyak mencurahkan rahmat-Nya kepada kita. Salah satu caranya adalah dengan mendatangkan wasilah tentara Jepang untuk mengusir kompeni yang sudah bercokol selama kurang lebih delapan generasi. Kita patut bersyukur, dan salah satu cara syukur kita adalah dengan mengisi kesempatan baik ini untuk menata negeri sendiri, membangun pranata madrasah- madrasah untuk menyokong kecerdasan umat, dan tentu saja kita tingkatkan hubungan baik ini dengan pemerintahan Jepang.”
Begitu seru Kiai Hasyim di atas mimbar dengan suara semangat yang meluap-luap, meletup-letup. Sebuah sikap apresiasi kepada Jepang, sebagaimana yang telah ditunjukkan pula oleh pemimpin nasionalis sekuler di hampir semua daerah.
Tak ketinggalan Bung Karno dan Bung Hatta juga menyerukan hal yang sama. Hal ini, baik langsung maupun tidak langsung, karena Jepanglah Belanda terusir dari pertiwi, dengan demikian Jepang mengurangi penderitaan rakyat yang sudah berabad-abad lamanya.
Akan tetapi, hari-hari belum genap satu bulan, harapan besar rakyat Indonesia untuk merdeka menjauh. Awal Juli 1942, Jepang yang pernah menjanjikan kepada Soekarno sebagai pemimpin GAPI untuk mengadakan kampanye publik dan membentuk pemerintahan yang sah dan berdaulat utuh di bawah kibaran bendera merah-putih, kini janji itu mereka khianati dan justru terganti dengan kebijakan yang sangat mengejutkan.
Persis pada tanggal 15 Juli 1942, tiba-tiba Jepang membuat kebijakan yang sepihak berupa larangan terhadap semua gerakan sosial dan politik. Pada tengah malam di hari itu, banyak pemimpin revelosioner yang awalnya satu barisan dengan Jepang ditangkapi.
Bahkan polisi Jepang (Kempetai) dengan begitu saja mengambil tindakan yang aneh pada pribumi. Makanan, pakaian, barang, dan obat-obatan menghilang dari pasaran. Karena sulit pakaian, banyak rakyat memakai celana terbuat dari karung goni. Hanya orang kaya saja yang punya baju yang terbuat dari kain. Itu pun kain seadanya, jauh dari layak.
Dampak dari kebijakan sepihak dan nyeleneh ini, rakyat pribumi pun sulit mendapat obat-obatan. Rumah-rumah sakit langka. Mereka yang menderita penyakit kudis, koreng, jumlahnya meningkat, karena sulit mendapatkan salep. Hampir saja tak ada anak- anak pribumi yang tidak berpenyakitan jenis ini. Karena kelangkaan obat, sementara jumlah penyakit yang mendera anak semakin banyak, jadilah pribumi membuat obat salep sendiri dari berbagai macam jenis tumbuhan, dan dipoleskan ke tempat yang sakit sebagai ganti perban.
Kelaparan melanda di mana-mana, dan karena tak kuat menahan lapar, banyak peibumi yang mengais makanan dari sisa makan orang Jepang. Saat itu tempat sampah menjadi tempat paling favorit bahkan orang berebut dengan cara ramai-ramai mengambil sisa makanan dari buangan makan orang Jepang. Dan kalau bukan rebutan makanan di tempat sampah, penjajah Jepang memerintahkan rakyat makan bekicot.
Banyak laki-laki Indonesia diambil dari tengah keluarga mereka dan dikirim hingga ke Burma untuk melakukan pekerjaan pembangunan dan banyak pekerjaan berat lainnya dalam kondis yang sangat buruk. Ribuan orang mati atau hilang. Tentara Jepang dengan paksa mengambil makanan, pakaian dan berbagai pasokan lainnya dari keluarga-keluarga Indonesia, tanpa memberikan ganti rugi.
Radio yang hanya dimiliki beberapa gelintir orang disegel. Hanya siaran pemerintah Dai Nippon yang boleh didengarkan. Kalau sampai ketahuan rakyat mendengarkan siaran luar negeri pasti akan dihukum berat. Orang akan bergidik bila mendengar Kempetai atau polisi militer Jepang.
Pada malam hari seringkali terdengar sirene kuso keho sebagai pertanda bahaya serangan udara dari tentara sekutu. Rakyat pun setelah memadamkan lampu cepat-cepat pergi ke tempat perlindungan. Di halaman rumah-rumah kala itu digali lobang untuk empat atau lima orang bila terdengar sirene bahaya udara. Ratusan ribu tenaga kerja paksa atau disebut romusha dikerahkan dari pulau Jawa ke luar Jawa, bahkan ke luar wilayah Indonesia.
Mereka diperlakukan tidak manusiawi sehingga banyak yang menolak jadi romusha.
Jepang pun menggunakan cara paksa. Setiap kepala daerah harus menginventarisasikan jumlah penduduk usia kerja, setelah mereka dipaksa jadi romusha. Ribuan romusha dikerahkan ke medan pertempuran Jepang di Irian, Sulawesi, Maluku, Malaysia, Thailand, Birma dan beberapa negara lainnya.
Begitu banyak kebijakan aneh yang menyiksa pribumi dan dampak buruk ekonomi horisontal terus mendera silih berganti, tidak hanya terbatas pada kelangkaan makanan, standar kesehatan yang sangat rendah, kerja paksa, tetapi termasuk juga memperbudak para perempuan. Ribuan wanita Indonesia yang ditangkap dipaksa menjadi fujingkau atau yugun ianfu alias perempuan pemuas seks tentara Jepang.
Sekolah-sekolah juga dipaksa untuk tutup, dan buku serta kertas, pensil menghilang pula dari pasar. Akhirnya pribumi membuat buku tulis yang terbuat dari kertas merang. Pensilnya menggunakan arang, hingga sulit sekali menulis.
“Saudara-saudara, sekolahan dan madrasah tak boleh ditutup, sebab sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk mencerdaskan anak bangsa. Dan kita jadi sadarlah, ternyata orang kulit kuning, Jepang datang ke bumi pertiwi kita tidak hendak untuk membantu kita, tapi merebut kekuasaan dari Belanda untuk mereka sendiri!”
Begitulah seruan Kiai Hasyim di mana-mana, dan seruan itu juga menjadi topik besar-besaran di Soeara Nahdlatoel Oelama.
Lebih dari itu, Kiai Hasyim di media basis NU itu juga menjelaskan bahwa motif Jepang bersemangat untuk menguasai benua Asia adalah karena kebutuhan atas sumber enegi minyak bumi. Karena saat itu geliat industri di Jepang mulai naik, sementara negara-negara Barat yang diwakili oleh Amerika mengembargo minyak ke Jepang.
Dada Kiai Hasyim semakin miris saat tak lama kemudian Jepang menetapkan kebijakan untuk seikeirei, sebuah ritual atau upacara khas dengan cara membungkukkan badan ke istana kaisar pukul tujuh pagi. Hasyim melihat itu mirip rukuknya kaum muslimin, apalagi kiblatnya mengarah kepada Kaisar Jepang Tenno Heika, yang diyakini orang Jepang sebagai titisan Dewa.
“Saudara-saudaraku seiman dan sebangsa, membungkukkan badan serupa rukuk dalam shalat untuk menghadap ke Kaisar Jepang sebagai penghormatan, adalah bagian dari kemusyrikan. Karena itu haram hukumnya!” Teriak Kiai Hasyim lantang.
Kiai Hasyim Asy’ari juga memberikan fatwa haram teradap muslim pribumi untuk menyanyikan lagu kebangsaan “Kimigayo” dan mengibarkan bendera Hinomaru serta segala bentuk Niponisasi (serba Jepang).
Hari berikutnya, Kiai Hasyim menyerukan semua pribumi yang bekerja di Pabrik Gula yang saat itu dikuasai oleh Jepang, untuk mogok kerja hingga perekonomian nyaris lumpuh beberapa hari.
Tak berhenti di situ, Kiai Hasyim juga menyiapkan kader-kader Islam militan, dari para santri untuk ikut terjun ke milisi Laskar Hizbullah dan Barisan Sabilillah yang diketuai oleh puteranya yang bernama Abdul Kholik.
Begitu juga sang kiai itu meminta dengan sangat agar setiap kaum muslimin bangsa ini di manapun berada bergabung bersama tentara Pembela Tanah Air (PETA), atau masuk gerakan Pandu Hisbul Wathan organisasi sayap Muhammadiyah. Akibat perlawananya ini,–sebagaimana yang kita tahu, –ia kemudian dimasukkan ke penjara dan disiksa, tetapi api perlawanannya, sedikitpun tak pernah padam.
Di antara kelebihan lain Kiai Hasyim Asy’ari adalah kemampuan menyampaikan keilmuan Islam dengan spirit nasionlisme dan kebangsaan, serta mampu membuat jaringan intelektual di seluruh Nusantara, terutama pulau Jawa.
Jaringan intelektual pertama dimulai dari para santrinya yang tersebar di berbagai daerah untuk membentengi rakyat Indonesia dari pengaruh budaya asing seperti penjajah Belanda dan Jepang. Sebab, untuk membangun kekuatan bangsa Indonesia, diperlukan jaringan intelektual sebagai penggerak.
Bagi Kiai Hasyim Asy’ari, para intelektual jangan sampai terpecah-belah dan dibiarkan untuk diadu-domba, tapi harus kokoh dalam persatuan. Karena, Indonesia akan lemah jika intelektualnya tercerai-berai.
Untuk mewujukdan itu, iapun menjadi sosok penting dalam pendirian organisasi Nahdlatul Ulama pada tahun 1926, dan pada tahun 1944, beberapa tokoh Islam juga mengangkat Kiai Hasyim Hasyim Asy’ari sebagai ketua MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang komponennya dari beberapa organisasi Islam di Indonesia.
Melalui dua ormas ini, nasionalisme dan ukhuwah Islam bangkit, sehinga cita-cita bangsa Indonesia meraih kemerdekaan, di antaranya dapat mudah terwujud. Maka, Presiden Soekarno lewat Keputusan Presiden (Kepres) No. 249/1964 menetapkan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari sebagai Pahlawan Nasional. Wallahu’alam bisahwab.
Yogyakarta, 11 Mei 2019