Apa arti “shiyam” dan “shaum“? Lalu apa arti keduanya bagi kita? Dan apa Perbedaannya? Juga makna yang tersirat maupun tersurat, sehingga hidup dan ritual tahunan ini bisa kita lihat dari aneka sudut pandang. Di sanalah pakar mufassir bertindak, dan kita perlu mereguk makna demi maknanya.
Secara umum, kedua lafaz tersebut menurut Kamus Lisanul Arabi, sama-sama menunjukkan makna puasa dalam arti menahan (al-imsak). Kata shiyam, terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 183 “Kutiba ‘Alaikum al-Shiyam”.
Kata tersebut juga terulang hingga delapan kali, yaitu di Al-Baqarah 187 dan 196, Al-Nisa ayat 92, Al-Maidah ayat 89 dan 95, dan Al-Mujadalah ayat 4. Namun dalam kesempatan yang lain, Allah juga menggunakan lafaz shaum, sebagaimana dalam surah Maryam ayat 26, “Inni Nadzartu li al-Rahmani Shauma, fa lan ukallima al-yauma insiyya”.
Menurut Abu Hilal Al-Askari dalam Al-Furuq Al-Lughawiyah. Kata shiyam tersebut merujuk pada arti yang bersifat fikih, yaitu menahan dari sesuatu yang dapat membatalkan puasa, seperti makan, minum dan hubungan seks dari fajar waktu Subuh, hingga terbenamnya matahari.
Sementara berikutnya, kata shaum lebih bersifat tasawuf. Dalam ayat tersebut, para mufasir mengartikan shaum dengan al-shamt yang bermakna diam; tidak berkata dan menahan diri dari berkata. Hal tersebut dipertegas dengan kalimat setelahnya, “fa lan ukallima al-yauma insiyya” yang artinya: aku aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun hari ini.
Bahkan, diam di sini tidak sekadar tidak bicara, tapi juga tegar, sebagaimana yang pernah terjadi pada Maryam, Ibunda Nabi Isa As—ketika membawa putranya Isa As di hadapan kaumnya, menyangkut kelahiran putra yang lahir tanpa ayah itu. Demikian penjelasan Syaikh Fadhil Al-Samarra’i dalam “Lamasat Bayaniyah fi al-Nushush al-Qur’aniyah”.
Karenanya, menurut Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dalam karya monumentalnya Sirr al-Asrar, bahwa ketika seorang berpuasa, hendaknya mampu mengharmonikan kondisi lahir dan batinnya, seperti mengosongkan perutnya dari makan dan minum, tentu juga syahwat dan lisan dari hal yang tercela, dan hati dari selain Allah.
Tentu saja pengertian di atas, menurut Syaikh Fadhil membawa laku puasa pada tingkatan dan tahapan-tahapan. Tingkatan pertama, adalah puasanya orang mukmin, yaitu mengendalikan dari tiga dasar kebutuhan hidup; makan, minum, dan hubungan seks.
Menurut Imam Ghazali dalam Ihya Ulummiddin, tiga hal itu kebutuhan dasar dipenuhi tetapi juga harus dikendalikan. Jika tidak, maka sifat kebinatangan manusia akan mendominasi, dan itu berarti sifat kebinatangan akan menjadi penutup jalan menuju Allah. Karena itu minimal sepanjang tahun, perlu dikendalikan sebulan.
Pengendalian diperlukan, karena secara ragawi, manusia adalah makhluk omnivora, jenis pemangsa apa saja, bahkan ‘siapa saja’. Tingkat kerakusannya melebihi hewan liar atau peliharaan.
Sehingga dari makanan ini, berbagai jenis penyakit dan virus bisa cepat tumbuh dan menyerang tubuh, hal ini juga diperkuat dengan bukti, ketika jantung berhenti berdetak, maka tubuh manusia akan cepat membusuk, karena perut telah menampung apa pun dari alam ini. Karena itu, ingat, kata Sang Imam, antara nafsu perut dan kemaluan ini saling terkait.
Jika seorang dirasuki nafsu perut, maka ia akan makan sekenyang-kenyangnya, sehingga bisa mengakibatkan gairah kemaluan, sebaliknya orang yang terjangkiti nafsu kemaluan maka ia akan menumpuk-numpuk harta. Sebab harta, adalah senjata paling mudah untuk memikat lawan jenis.
Ingat pula kisah Nabi Adam dan Hawa, tergelincir dari Surga juga karena memenuhi nafsu perutnya dengan buah terlarang tanpa kendali, lalu tersingkaplah auratnya. Maka mengendalikan perut dan syahwat kelamin ini menjadi hal yang paling dasar dari makna puasa (shiyam). Hikmah lainnya, sebagaimana pesan Nabi shuumu tashihhu; berpuasalah maka kalian akan sehat.
Tingkatan kedua, adalah puasanya orang muhsinin, yaitu mereka yang puasanya mampu mengendalikan atau menjaga lisannya. Menurut Imam Ghazali, lisan merupakan anggota tubuh manusia terbaik dan mulia setelah hati.
Namun dalam kemuliaannya itu, lisan atau lidah menyimpan marabahaya yang sangat besar, tidak satupun selamat dari marabahayanya, kecuali ia yang bertutur dengan baik dan hemat bicara. Pengendalian lisan ini, menjadi salah satu titik tekan puasa secara tasawuf, sebagaimana yang diisyaratkan pada surah Maryam ayat 26, “Inni Nadzartu li al-Rahmani Shauma”. Yaitu puasa bicara.
Menurut pakar, ketika lisan atau lidah berbicara, setidaknya melibatkan sekitar tiga ratus lima puluh ribu syaraf yang terhubung dengan hati. Karena itu tak berlebihan jika Nabi pernah bersabda, “Tidak akan lurus keimanan seorang hamba, sehingga lurus pula hatinya, dan tidak akan lurus hatinya, sehingga lurus pula lidahnya. Seorang hamba tidak akan masuk Surga, selagi tetangganya belum aman dari kejahatan lidahnya.” (Muttafaqah alaih).
Masih menurut Imam Ghazali, ada lima jenis kejahatan lidah dan itu menjadikan puasa seorang seperti sia-sia, yaitu dusta, fitnah, gibah, bersumpah palsu, dan berkata yang tidak perlu.
Mungkin, di era serba digital dan maraknya Medsos ini boleh jadi menyebarkan hoaks dan membahas yang tak terlalu perlu di grup-grup sosial media bagian dari kejahatan lisan. Jikalau kita sanggup menghindarkan itu, maka kita bisa menjadi bagian dari muhsinin, yaitu menjaga pahala puasa kita. Bukan hanya pahala puasa, tapi mendapatkan pahala di hadapan Allah SWT.
Tingkatan ketiga, adalah puasanya orang mukhlisin. Yaitu mereka yang berpuasa, bisa menikmati bagaimana rasanya lapar dan dahaga, juga menikmati untuk diam dan tegar.
Karena, wajar orang yang merasa payah dan lelah karena menahan lapar, dahaga dan hubungan seks yang halal. Termasuk juga merasa berat untuk diam dan tak berkata-kata pada yang tak perlu, tetapi seorang bisa menikmati dalam keadaan seperti itu dan tak berharap apa pun kecuali ridha Allah, maka orang ini masuk dalam kategori mukhlisin.
Menurut Ibnu Athaillah As-Sakandari dalam kitab al-Hikam, ikhlas adalah termasuk perbuatan yang sangat sulit dilakukan, sebab hawa nafsu sering mengeliling hati manusia untuk menyerukan sikap pamrih dengan keuntungan-keuntungan secara pribadi, maupun mudah keluh-kesah dan merasa berat karena ujian.
Maka cara yang efektif untuk masuk ke “pintu” ikhlas itu sesorang harus bisa melawan nikmatnya dunia dengan segala gemerlapnya. Sebab sesungguhnya manusia itu paling mudah tergoda dengan harta benda dan segala gemerlapnya.
Tingkatan keempat, adalah puasanya orang muttaqin, yaitu mereka yang berpuasa dengan memelihara hati untuk tidak tertarik pada dunia, dan tiadk pernah mengisi hati selain dari Allah. Puasa di tingkatan ini disebut oleh Imam Ghazali dengan khususul khusus, dan yang paling tinggi.
Jalaludin Rumi saat membahas puasa tingkatan muttaqin ini, ia mengatakan, manusia dalam berpuasa harus memperhatikan seluruh aspek, dhahir dan batin, sebab keduanya sebagai penyebab sampainya seseorang ke jalan kesempurnaan.
Lebih lanjut Rumi berpendapat, puasanya muttaqqin tidak memaknai ifthar (berbuka puasa) melulu secara lahir, yakni dengan minum, makan atau hubungan suami-istri saat terbenamnya matahari, namun mereka memaknai ifthar hakiki adalah begitu matahari terbenam dan malam datang, mata-batin muttaqin tersinari oleh Keindahan Cahaya Sang Kekasih.
Inilah ifthar yang sesungguhnya. Sebagai contoh, selama puasa orang harus menjaga pandangan atau terpejam dari aurat yang terlarang, maka mata di waktu malam yang merupakan saat ifthar, diizinkan untuk dibuka.
Maka hasil dari puasa ini adalah ifthar di waktu malam ini bermakna perjumpaan dengan Sang Kekasih, dan puasa yang tidak berhasil mencapai perjumpaan dengan Sang Kekasih adalah puasa yang masih dalam tahapan awam.
Karenanya, Rasulullah Saw. pernah bersabda; “Orang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan. Kegembiraan saat berbuka”— ini adalah kegembiraan untuk nafsu hewani—“dan kegembiraan saat bertemu dengan Rabbnya”—dan ini adalah kegembiraan untuk hati atau jiwa, yakni sisi lembut Rabbaninya. Puasa memberinya pertemuan yang indah dengan Allah SWT, yakni musyahadah atau penyaksian.
Oleh karenanya, berdasarkan hal ini, wajar menurut Ar-Razi puasa lebih sempurna dampaknya dibandingkan salat. Puasa bisa mencegah sesuatu yang tak patut (mungkar), dan salat bisa menghasilkan sesuatu yang patut (taat), maka mencegah kemungkuran diutamakan dibanding dengan usaha mengadirkan ketaatan atau kebaikan.
Selain itu, menurut Ibnu Arabi bahwa puasa bisa menghasilkan pertemuan dengan Allah dan penyaksian-Nya. Sementara salat adalah munajat, bukan musyahadah, dan terdapat hijab yang menyertainya. Waallu’alam bisahwab.
اللهم سَلِّمْنَا إِلَى رَمَضَانَ وَسَلِّمْ لَنَا رَمَضَانَ وَتَسَلَّمْهُ مِنَّا مُتَقَبَّلًا
“Ya Allah, antarkanlah kami hingga sampai kepada Ramadhan, antarkanlah Ramadhan kepada kami, dan terimalah amal-amal kami di bulan Ramadan.”
Kasongan, 30 April 2019