Ilmu maqashid syari’ah saat ini mulai digandrungi dan diakui sebagai salah satu ilmu tersendiri dalam dunia akademik. Tidak seperti era dahulu, banyak yang mengkategorikan ilmu maqashid syari’ah sebagai salah satu cabang dalam ilmu ushul fiqih, terutama dalam pembahasan masalikul ‘illat (metode penetapan ‘illat).
Ilmu maqashid syari’ah akhir-akhir ini sangat gencar dipopulerkan oleh para ulama yang berada di kawasan Afrika Utara, seperti Tunisia, Aljazair, dan Maroko, yang mayoritas dari mereka adalah penganut mazhab Malikiyyah.
Namun, bagi mayoritas kalangan Syafi’iyyah, penggunaan ilmu maqashid syari’ah ini cenderung kurang populer, karena bisa menjerumuskan pada ijtihad seenaknya sendiri, asal ada maslahat, dikiranya suatu hukum bisa berubah.
Meski begitu, beberapa ulama Syafi’iyyah juga dijadikan sebagai rujukan dalam ilmu maqashid syari’ah, seperti al-Ghazali dalam kitab al-Mustasyfa dan Izzuddin bin Abdissalam dalam kitab Qawaidul Ahkam.
Hal ini juga bisa terlihat dari mazhab Syafi’iyyah yang kurang menyukai penggunaan metode istihsan, saddudz dzari’ah, dan mashlahah mursalah. Dan, masyarakat Indonesia yang mayoritasnya adalah penganut madzhab Syafi’iyyah juga cenderung berhati-hati dalam penggunaan ilmu maqashid syari’ah, termasuk mayoritas pesantren di Indonesia.
Terbatasnya Kemampuan Fiqih dan Ushul Fiqih
Berdasarkan pengalaman saya sebagai lulusan jenjang sarjana dan magister di UIN Sunan Kalijaga, tren di kampus-kampus Islam di Indonesia, para akademisi ini cenderung menyukai penggunaan ilmu maqashid syari’ah karena terkesan lentur, fleksibel, dan mudah diterapkan.
Kecenderungan ini bisa dipahami karena, kalau mau jujur, banyak dari para akademisi tidak paham ilmu fiqih, alih-alih ilmu ushul fiqih. Berbeda dengan lulusan pesantren salaf dan Ma’had Aly yang model pembelajarannya berjenjang. Jika mau belajar ilmu ushul fiqih, maka harus paham ilmu fiqih dulu, lebih-lebih ilmu maqashid syari’ah.
Mereka menyukai ilmu maqashid syari’ah karena mereka tahunya ilmu maqashid syari’ah itu hanya seputar lima maqashid pokok, yakni hifdhud din (menjaga agama), hifdhun nafs (menjaga jiwa), hifdhul ‘aql (menjaga akal), hifdhun nasl (menjaga keturunan), dan hifdhul mal (menjaga harta). Ditambah, pembahasan tentang tiga urutan prioritas maqashid yang terdiri dari dlaruriyyat (primer), hajjiyyat (sekunder), dan tahsiniyyat (tersier) saja.
Padahal, jika mau belajar serius, ilmu maqashid syari’ah sebenarnya merupakan ilmu yang sulit. Ilmu ini juga memerlukan penguasaan atas ilmu fiqih dan ilmu ushul fiqih terlebih dahulu, karena semua contoh dalam teori-teorinya kembali pada ilmu fiqih dan ilmu ushul fiqih. Tanpa memahami contohnya, bagaimana mungkin bisa dipahami teorinya?
Problematika Maslahat
Izzuddin bin Abdissalam dalam kitab Qawaidul Ahkam berkata tentang ilmu maqashid syari’ah, bahwasanya barangsiapa yang meneliti maqashid syari’ah (tujuan syariat) dalam mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan, maka akan ditemukan bahwa keyakinan atau pengetahuan tentang maslahat tidak boleh dilupakan.
Begitu pula kerusakan tidak boleh juga untuk didekati, meski tiada ijma’, nash Al-Qur’an dan hadis, atau qiyas khusus yang menjelaskannya. Bilamana seseorang telah memahami syariat, maka dia akan mengharuskan hal demikian ini.
Perlu diketahui, bahwasanya tidak semua maslahat bisa dijadikan sebagai pertimbangan hukum. Dalam hal ini, kita tetap perlu kembali pada batasan-batasan maslahat yang telah dibahas di ilmu ushul fiqih. Jika tidak memahami ilmu ushul fiqih, maka bagaimana bisa?
Maslahat dibagi menjadi tiga bagian, yakni mashlahah mu’tabarah yaitu maslahat yang diakomodir oleh syariat, seperti keharaman minuman keras yang bisa merusak akal.
Kedua adalah maslahah mulghah, yakni maslahat yang tidak dianggap oleh syariat meski secara logika manusia bisa jadi merupakan suatu kemaslahatan, seperti persamaan antara hak waris anak laki-laki dan perempuan.
Kemudian yang ketiga adalah maslahah mursalah, yakni maslahat yang tidak dibahas dan tidak ditolak oleh syariat, seperti contoh hukuman mati pada semua pelaku pengeroyokan yang mengakibatkan terbunuhnya satu orang saja.
Terdapat akademisi yang tidak memahami konsep maslahah ini akhirnya ‘berfatwa’ akan persamaan hak waris antara anak laki-laki dan perempuan. Padahal, meski secara lahiriah ‘nampak’ kemaslahatannya, namun hal ini sudah ditolak oleh syariat.
Ada pula akademisi lain yang ‘berfatwa’ kebolehan sholat Jum’at via Zoom ketika pandemi Covid-19. Padahal para kiai sudah memberikan alternatif lain yang lebih mudah, berupa kebolehan tidak melakukan sholat Jumat.
Seandainya sholat Jumat dibolehkan via Zoom, maka akan mengakibatkan beberapa kerancuan. Seperti kemungkinan imam berada di belakang makmum dan sholat Jumat terputus sebab sinyal hilang atau baterai habis.
Contoh lain adalah tentan keabsahan talak yang harus diajukan dihadapan hakim. Mereka beralasan bahwa penetapan keabsahan talak harus dilakukan dihadapan hakim berdasarkan suatu kemaslahatan dan maqashidusy syari’ah, yakni agar tidak banyak kasus perceraian dan hifdhun nasl.
Bagi kalangan yang menyatakan bahwa talak hanya bisa sah jika disampaikan di pengadilan, mereka beralasan ada suatu kemaslahatan di dalamnya, yakni agar tidak banyak kasus perceraian. Pasalnya, banyaknya perceraian akan mengakibatkan terlantarnya banyak janda dan anak-anak yatim.
Padahal, kemaslahatan yang mereka ajukan termasuk dalam maslahah mulgha yang tidak diakomodir syariat. Syariat menganggap talak bisa jatuh seketika, bahkan dalam kondisi bercanda dan mabuk, adalah agar kita berhati-hati dalam menjaga ucapan dan tidak meremehkan syariat.
Atas ketiga fatwa di atas, ‘oknum’ akademisi ini berdalih dengan landasan maslahat dan ilmu maqashid syari’ah, padahal keduanya termasuk maslahat yang ditolak oleh syariat. Kekacauan ini tidak lain disebabkan oleh ketidakpahaman mereka atas ilmu fiqih dan ilmu ushul fiqih.
Belum lagi berdasarkan pernyataan Izzuddin bin Abdissalam di atas yang menyinggung tentang ijma’, nash al-Qur’an dan hadis, dan qiyas. Pemahaman akan hal-hal tersebut tentu saja melalui perantara ilmu ushul fiqih yang sudah dirumuskan oleh para ulama dengan berbagai prasyarat tertentu.
Jadi gini, mbok ya, ketika mau ‘berfatwa’, dites dulu kemampuan baca kitabnya. Coba baca kitab Fathul Qarib sajalah, jangan kitab yang lebih tinggi seperti kitab Fathul Mu’in apalagi Jam’ul Jawami’. Itu saja belum tentu bisa!