Beberapa hari yang lalu, kasus pelecehan seksual di pesantren kembali menghias topik perbincangan di media sosial. Ironisnya, kasus pelecehan terhadap santriwati disinyalir dilakukan oleh salah satu keluarga besar pesantren. Dalam taraf yang semakin mencengangkan, proses tempuh hukum yang sudah sejak lama dilakukan mengalami kebuntuan karena dugaan besar adanya blokade fisik dan dukungan dari pihak pesantren.
Tindakan pelecehan yang dilakukan Moch. Subchi Azal Tsani atau Mas Bechi itu sebenarnya sudah terjadi pada tahun 2017. Pelecehan itu dilakukan pada beberapa santri dengan modus recruitment pencarian tenaga medis pesantren. Perbuatan asusila itu awalnya belum terkuak akibat ancaman pelaku terhadap korban baik fisik maupun psikis.
Sejak dilaporkan pada tahun 2019 pada Polres Jombang, jalan tempuh perkara praperadilan, pada tahun 2020 ditetapkan sebagai tersangka oleh Poda Jawa Timur, hingga penetapan status daftar pencarian orang (DPO) tidak membuahkan hasil karena selalu mangkir dari proses hukum. Akhirnya, penjemputan oleh gabungan kepolisian pun ditempuh, baik dengan paksa dan negoisasi. Proses panjang itu diakhiri dengan penyerahan diri Mas Bechi pada Kamis (07/07/2022).
Pesantren sebagai Lembaga Keagamaan
Kasus pelecehan seksual di pesantren bukanlah hal yang baru. Kasus serupa juga terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Pesantren sebagai lembaga yang kental dengan basis keagamaan tentu kembali diuji dalam dramaturgi sosial-moral di tengah masyarakat. Konsistensi pesantren yang lahir untuk meregenarasi umat tentu kembali dipertanyakan. Bahkan, dalam taraf tertentu, menyiratkan luka dan dilema kepada orang tua untuk memasrahkan pendidikan putra-putrinya di pesantren.
Dalam kerangka historisnya, pesantren mengendap dari renungan akumulatif pengalaman spritulitas masyarakat. Keberadaan pesantren sendiri bermula dari percikan kepercayaan masyarakat yang kemudian mengorkestra pada eksosistem keilmuan dalam mempelajari dan mengamalkan ajaran Islam (tafaqquh fi ad-din).
Mulanya, pesantren adalah wujud dari tuntutan religius yang berasal dari teks-teks keagamaan dalam Islam, seperti ‘iqra’, ‘thalabul al-‘ilmi faridhatan ‘ala kulli muslimin’, ‘utlubul al-‘ilma minal al-mahdi ila al-lahdi’, serta padanan dogma-dogma keagamaan serupa. Tuntutan itu kemudian dihadapkan pada kondisi keterbatasan hak, jaminan penguasa, dan kasta sosial dalam dominasi kolonialisme-imprealisme. Dengan demikian, pesantren menjadi pelarian dalam memenuhi keharusan manusia sehingga membentuk ekosistem keilmuan yang mandiri.
Keharusan itu kemudian mewujud kepercayaan kultural umat terhadap pesantren sebagai lembaga keilmuan dan keagamaan. Satu demi satu orang datang silih ganti ke pesantren untuk belajar ilmu dari karya-karya fundamental para ulama terdahulu. Dari mulanya yang mengaji dengan bolak-balik dari rumah ke kediaman kiai (kalong), mengaji seraya bermalam di musala kiai (langgar), hingga mengaji seraya menetap dengan mendirikan pondok-pondok di dekat kediaman kiai (funduq).
Eksosisitem pembelajaran di pesantren pada gilirannya membentuk kepercayaan kolektif umat. Kolektivitas itu yang akhirnya menciptakan suatu “budaya pesantren” di mana masyarakat memberikan keabsahan terhadap suatu lembaga keagamaan (Mastuhu, 1994: 55). Dari sini, Kita dapat melihat bagaimana transformasi nilai dogmatik keagamaan, membentuk kultur kepercayaan umat, hingga menjadi budaya kepesantrenan di tengah masyarakat. Hal ini sekaligus mempertegas bahwa eksistensi pesantren adalah ihwal kepercayaan umat.
Kultur Etis Pesantren
Adanya fenomena kepesantrenan yang terjadi saat ini sedikit banyak memiliki impact terhadap kultur kepercayaan pesantren itu sendiri, yang selanjutnya—selain konsekuensi simbolisme kiai— yang dipertaruhkan adalah kultur etis pesantren. Bagaimanapun, Legal historis pesantren muncul dari endapan akumulasi pengalaman religiusitas umat di masa lampau.
K Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyebut pesantren tidak hanya berjibaku dengan teks-teks keagamaan/kitab kuning, kehangatan moderasi beragama dengan kedalaman cakwala berfikir menjangkau teks dan konteks menjadi primordialitas dari pesantren. Gamblangnya, ia bukan sekadar brand yang bisa ditempel di mana-mana, pesantren adalah karya sosio-spritualitas yang didorong oleh kerendahan hati meregenerasi umat.
Kultur etis pesantren erat hubungannya dengan legitimasi umat, bagaimana ia dipercaya mengemban amanah dengan eksistensi berkelanjutan. Entitas pesantren itu sekarang kembali diuji dalam fenomena kepesantrenan yang merupakan wujud koersif dari fanatisme religius atau kerangka hidup masyarakat modernis saat ini. Dampak dilema kultur umat terhadap pesantren akan bermula dari sini.
Kondisi sosiologis pesantren menunjukkan sisi lembaga kultur yang mengendap dari kehendak kolektif masyarakat. Reduksi kepentingan yang berpacu dengan legalitas semata dan sisi politis dipertemukan dengan budaya pesantren yang luhur dan arif. Inilah sketsa yang berhasil digambarkan di mana hal pada struktur kepentingan “personal” dan “kultural” dibebaskan dalam penjara muara tunggal untuk bergerak dan berekspresi dalam pesantren.
Masa Depan Pesantren
Secuil fenomenologi pesantren itu patut menjadi perhatian bersama untuk merawat nilai luhur dan kultur etis kepesantrenan di tengah kecamuk aneka masalah umat. Asumsi dasar kita tetap mengakui kiprah pesantren sejak dulu sebagai lembaga keagamaan masyarakat, tetapi fenomena immoral yang menyeret nama pesantren di dalamnya sedikit banyak telah memberikan delik sosial dalam pampangan publik (dilema kultur), utamanya kekhawatiran orang tua yang memondokkan putra-putrinya di pesantren.
Masa depan pesantren terletak bagaimana dia bisa kembali memulihkan kepercayaan kolektif umat yang sejak dulu diberikan. Kiprah pesantren saat ini harus bisa berafiliasi secara apik dengan mengawal masalah umat yang semakin pelik. Pesantren diharapkan menjadi oase yang terus menghidupkan semangat keilmuan dan peradaban dalam balutan islamisasi dan harmonisasi kebudayaan. Hal yang elementer dari pesantren adalah eksis melebur dengan kebutuhan dasar umat melalui restorasi metode berikut substansi dakwah sesuai tantangan yang ada. Terus-menerus.