Prasangka dapat muncul dari identifikasi tak teliti terhadap kesan-sesan inisial atas ciri-ciri fisik yang mudah dikenali atau terhadap keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu. Cara mengidentifikasi yang keliru ini acapkali diwariskan secara turun temurun dalam kelompok sosial tertentu, sehingga individu-individu yang menjadi bagian kelompok tersebut akan mudah berprasangka terhadap individu lain yang kebetulan memiliki warna kulit, ras, suku, agama, atau partai politik, yang berbeda dengan dirinya.
Mengingat prasangka sudah terbentuk sejak usia dini dan berkembang terus sampai usia dewasa, maka untuk mengikisnya dibutuhkan langkah-langkah strategis dan berefek jangka panjang sehingga masyarakat memiliki perangkat kultural untuk memerangi prasangka.
Dalam sebuah tulisan yang berujudul “Prejudice Reduction through Multicultural Education” yang dipubilkasikan dalam Social Studies Research and Practice edisi musim panas 2007, Steven P. Camicia menawarkan sebuah strategi mendasar yang dianggap dapat mengikis prasangka sosial yaitu melalui pendidikan yang berwawasan multikultural. Pendidikan berwawasan multikultural memiliki perhatian yang besar terhadap hubungan saling mengenal, memahami, dan menghormati di antara peserta didik meskipun mereka memiliki latar belakang kultural yang beragam. Peserta didik menjadi sadar bahwa ternyata ada banyak perspektif dan kondisi sosial yang melatarbelakangi kehidupan setiap manusia.
Strategi mengikis prasangka yang berbasis pada pendidikan berwawasan multikultural—lanjut Camicia—sedikitnya harus mengandung dua hal, yaitu konstruksi pengetahuan (knowledge construction) dan hubungan antar kelompok (intergroup contact).
Pertama, konstruksi pengetahuan. Sebagai sebuah proses, konstruksi pengetahuam secara simultan tidak lain adalah dekonstruksi pengetahuan itu sendiri. Peserta didik diajak untuk memahami narasi-narasi dari kelompok lain, yang diawali dengan mendekonstruksi narasi-narasi mainstream yang melanggengkan ketidaksetaraan sosial. Dengan memahami banyak perspektif, peserta didik dapat mengembangkan kemampuan untuk menganalisis pelanggaran-pelanggaran yang melanggengkan ketidakadilan.
Strategi membongkar kebenaran yang terlanjur dianggap baku, normal, dan niscaya adalah proses untuk mengembangkan cara berpikir kritis pada peserta didik. Dengan bekal kemampuan berpikir kritis, peserta didik diharapkan mampu mendekonstruksi pengetahuan-pengetahuan yang berimplikasi pada munculnya prasangka (prejudical knowledge)—dan mampu merekonstruksi pengetahuan baru yang mengafirmasi keragaman perspektif.
Kedua, meningkatkan hubungan antar kelompok. Tugas lembaga pendidikan adalah memfasilitasi dan mengembangkan lingkungan yang dapat menjamin terciptanya hubungan sosial positif. Tentang hal ini, Camicia mengamini pernyataan Allport dalam The Nature of Prejudice (1954), sebuah risalah klasik tentang ilmu perilaku yang tetap menjadi rujukan utama bagi studi-studi prasangka sampai saat ini. “Prejudice (unless deeply rooted in the character structure of the individual) may be reduced by equal status contact between majority and minority groups in the pursuit of common goals. The effect is greatly enhanced if this contact is sanctioned by institutional supports (i.e., by law, custom, or local atmosphere), and provided it is of a sort that leads to the perception of common interests and common humanity between members of the two groups.”
Bagi Allport, prasangka hanya dapat dikikis melalui hubungan intensif antara pihak-pihak yang saling berprasangka. Sebab, prasangka lahir dari adanya tumpukan stereotip-streotip negatif dalam skema kognitif seseorang sehingga proses identifikasi terhadap orang lain cenderung gegabah. Hanya dengan memperbaiki dan memperjelas proses identifikasi tersebut, maka skema kognitif menjadi bersih dari stereotip-stereotip yang dapat melanggengkan prasangka.
Allport juga menyebutkan setidaknya ada empat syarat bagi terciptanya hubungan sosial yang bervisi keadilan. Pertama, menjunjung kesetaraan status (equal status). Kedua, mementingkan tujuan bersama (common goal). Ketiga, adanya kerjasama (cooperation). Dan keempat, adanya dukungan kelembagaan (institutional support). Keempat hal tersebut adalah pilar bagi tegaknya keadilan sosial dan demokrasi.
Dalam konteks sekolah, pendidikan bertugas mendesain lingkungan sekolah yang mengandung keempat syarat bagi terciptanya keadilan sosial sebagaimana dikemukakan Allport di atas. Pendidikan yang mengutamakan kesetaraan memiliki strategi pembelajaran dan suasana kelas yang dapat membantu peserta didik memahami keragaman ras, etnik, dan budaya, sehingga peserta didik dapat mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan bagi upaya menciptakan sebuah masyarakat yang demokratis. Kondisi sekolah yang seperti ini dapat membantu siswa mengikis benih-benih prasangka dan ketidakadilan sosial.
Sebuah kelas yang mampu menjamin kesetaraan status para peserta didik merupakan interseksi dari empat syarat hubungan sosial positif yang disebutkan Allport di atas. Syarat yang pertama memerankan fungsi penting bagi terciptanya hubungan antarkelompok yang setara dalam ruang kelas di tengah heterogenitas latar belakang kultural siswa. Dalam kelas tradisional, terdapat hirarki yang memungkinkan peserta didik dilihat oleh gurunya secara berbeda karena perbedaan prestasi dan latar belakang kultural. Kondisi ini memicu munculnya prasangka, baik antara sesama peserta didik, maupun antara peserta didik dan gurunya. Sedangkan dalam kelas yang berwawasan multikultural semua peserta didik memiliki status yang sama sehingga prasangka sosial akan semakin terkikis karena jarak sosial antar siswa semakin meluruh.
Syarat yang kedua dan ketiga dapat melatih peserta didik dalam memahami pentingnya kerjasama dan tujuan bersama. Ketika peserta didik saling berkerjasama, mereka telah mengembangkan sebuah identitas kelompok yang dapat mengikis perilaku-perilaku berprasangka. Para pendidik dapat melengkapi tewujudnya suasana ruang kelas yang berwawasan multikultural dengan cara menciptakan kultur sekolah yang mendukung peserta didik dalam mengembangkan pemahaman terhadap kemajemukan latar belakang kultural sesama peserta didik. Wawasan ini dapat diterjemahkan dengan cara menyusun kurikulum, membuat kebijakan-kebijakan sekolah, dan penelitian-penelitian yang dapat mendukung terciptanya atmosfer pendidikan yang berwawasan multikultural.
Sekolah merupakan instutusi sosial strategis dan merupakan laboratorium ideal bagi pemahaman terhadap kondisi sosial dan dinamika politik yang sering sekali menunjukkan kondisi opresi, ketidakadilan, dan prasangka. Jika sebuah sekolah memiliki tujuan yang meliputi komitmen yang kuat terhadap kesetaraan, keadilan sosial, dan upaya mengurangi prasangka sosial, maka peserta didik akan memiliki keberanian untuk mengembangkan kritisisme baik itu dalam lingkungan sekolah maupun jauh melampaui batas-batas lingkungan sekolah.
Melalui pendidikan yang berwawasan multikultural, peserta didik akan terbantu dalam mengembangkan pemahamannya terhadap diversitas fenomena kultural. Dalam suasana pendidikan multikultural tersebut, peserta didik juga akan lebih berani mengambil peran dalam kegiatan-kegiatan konstruktif yang dapat menjamin tetap tergaknya toleransi dan demokrasi.
*Artikel ini didukung oleh Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informasi RI