Hari-hari ini masyarakat Iran sedang bersukacita menyambut datangnya tahun baru atau Nowruz. Di Indonesia, kita sudah terbiasa mendengar tahun baru Masehi, tahun baru Hijriah, tahun baru China, atau tahun baru Saka. Tapi, bagi sebagian besar masyarakat kita, mungkin masih asing dengan istilah tahun baru Persia.
Sebenarnya, tahun baru ini tidak hanya milik masyarakat Iran saja, penduduk negara-negara yang dulu di bawah pengaruh kekasairan Persia kuno juga merayakan Nowruz, seperti Afganistan, Tajikistan, Azarbeijan, Kyrgyzystan, Turkmenistan, serta bangsa Kurdi di sebagian wilayah Irak, Suriah, Turki, dan Pakistan. Bahkan, tradisi Nowruz ini sudah terdaftar di UNESCO sebagai warisan budaya dunia sejak tanggal 23 Februari 2010.
Lalu, sebenarnya mulai kapan masyarakat Persia memiliki penanggalan sendiri? Kalau dilacak secara historis, kalender Iran sudah disusun jauh sebelum datangnya Islam, yaitu sejak tahun 1725 sebelum Masehi.
Seiring masuknya Islam ke dataran Persia, Omar Khayam, seorang matematikawan sekaligus astronom muslim Persia, melakukan koreksi penanggalan yang disesuaikan dengan kalender hijriah. Tapi kalender Iran ini tetap mengikuti sistem kalender matahari. Hari-hari ini, tepatnya Rabu 21 Maret 2018, Iran akan menyambut datangnya Tahun Baru 1397 Hijriah Syamsi (HS).
Persiapan Menghadapi Nowruz
Dua minggu menjelang Nowruz, biasanya warga Iran sudah memadati pertokoan maupun pasar-pasar tradisional untuk belanja keperluan tahun baru. Mulai dari membeli baju baru sampai menyiapkan berbagai hadiah untuk keluarga dan teman-teman dekat. Seiring dengan meningkatnya animo masyarakat untuk berbelanja, biasanya digelar juga berbagai bazar murah yang harganya sangat miring.
Bagi kami warga asing, di bazar inilah kesempatan berburu kerajinan tangan dan barang unik lainnya. Meski tak jarang harus ikut berdesakan dengan warga setempat.
Persiapan lainnya yang wajib dilakukan warga Iran menjelang Nowruz adalah Khanetekani. Secara leksikal, Khanetekani berarti menggoyang rumah. Tapi maksudnya, menata ulang dekorasi rumah, dari sekedar mengganti warna cat, memindahkan posisi mebel, sampai mengganti barang-barang yang sudah tidak layak. Konon filosofi Khanetekani adalah membersihkan kotoran lahir dan batin dari rumah dan penghuninya untuk menyambut musim baru.
Tradisi Khas Sufr-e Haftsin
Berdasarkan pengalaman saya berkunjung ke rumah orang Iran saat Nowruz, biasanya di atas meja mereka, ada perlengkapan menyambut tahun baru yang disebut Sufr-e Haftsin.
Haft, dalam bahasa Persia berarti angka 7 yang dipercaya memiliki makna tersendiri. Sementara Sin, adalah salah satu huruf Persia dan Arab. Maksud haftsin, tujuh jenis makanan berawalan sin yang wajib ada dalam setiap perayaan tahun baru.
Ketujuh makanan tersebut antara lain: Sabze (tunas gandum), melambangkan kelahiran kembali dan kesuburan; Samanu (semacam dodol dari gandum), sebagai simbol kemakmuran; Sib (apel), menandakan kesegaran dan kecantikan; Sir (bawang putih), melambangkan kesehatan dan kedamaian; Serkeh (cuka), menandakan kelestarian, karena cuka mengawetkan makanan; Somagh (sejenis bumbu dapur dan obat), melambangkan kemenangan atas pengaruh jahat; Senjed (buah pohon lotus), sebagai simbol cinta dan perlindungan.
Selain tujuh jenis makanan tersebut, ada ornamen lainnya seperti ikan dan telur yang dihias sebagai simbol produktivitas dan kreativitas. Ada juga cermin dan lilin, yang melambangkan refleksi masa depan dan cahaya penerang. Satu lagi benda yang wajib ada adalah Alquran sebagai lambang kesucian.
Menjelang pergantian tahun, biasanya mereka berkumpul bersama anggota keluarga mengelilingi meja Haftsin. Setiap keluarga melakukan aktivitas yang beragam. Ada yang mengaji Alquran, ada yang bergantian membaca puisi Hafez, atau ada juga yang hanya sekedar berbincang hangat.
Tapi, saat detik-detik pergantian tahun baru tiba, semua merapalkan doa-doa untuk kemudahan di tahun yang akan datang.
Persamaan Tradisi Nowruz dan Lebaran
Kalau dilihat lebih jauh lagi, rasanya ada banyak peresamaan antara tradisi Nowruz dan Lebaran di Indonesia.
Pertama, Tradisi Ziarah. Di akhir penutupan tahun, sebagian besar orang Iran berziarah ke makam-makam kerabat maupun ulama. Mereka berharap dengan mengenang orang-orang salih (kalau di Indonesia mungkin para wali) akan mendapat keberkahan di tahun yang akan datang. Kalau di kita biasanya dikenal dengan istilah nyekar.
Kedua, Tradisi Mudik dan silaturahmi. Biasanya seminggu sebelum tahun baru, masyarakat Teheran mulai pergi ke kampung halaman mereka. Kota-kota besar seperti Teheran akan terlihat lengang sampai beberapa hari setelah Nowruz. Libur panjang sekolah yang hampir dua minggu dimanfaatkan warga untuk saling berkunjung ke anggota keluarga yang lebih tua. Mungkin di Indonesia biasa dikenal dengan istilah sowan.
Ketiga, Tradisi Memberikan uang lebaran (Eidy). Inilah tradisi yang paling ditunggu saat datangnya Nowruz. Ekspresi kasih sayang yang disimbolkan dengan memberikan hadiah kepada yang lebih muda. Barangkali di Indonesia biasa dikenal dengan istilah uang lebaran. Bedanya, di Iran bentuk Eidy tidak hanya berupa uang, bisa juga berbentuk barang. Misalnya, anak saya dan teman-teman sekelasnya mendapat Eidy berupa pulpen unik dari guru wali kelasnya.
Hal yang menarik menurut saya, baik tradisi Nowruz maupun Lebaran merupakan potret indah saat nilai-nilai agama bersentuhan dengan kekayaan budaya lokal. Agama menjadi terasa lebih hidup dan mengalir dalam nadi masyarakat.
Barangkali, inilah yang oleh Gus Dur disebut sebagai proses pribumisasi agama. Ketika agama menemukan ruangnya yang paling eksotis.
Teheran, akhir musim dingin 2018