Lassie, begitu saya memanggilnya, meminjam nama anjing cerdik dari serial yang cukup populer di tahun delapan puluhan. Lassie yang saya kenal ini juga seekor anjing cerdik dan baik hati. Ia menemani perjalanan kami selama berada di Esas, desa kecil di kawasan pegunungan utara Iran beberapa hari lalu. Lassie selalu setia berjaga di depan pintu penginapan dan sigap setiap kali kami akan keluar rumah.
Seperti sore itu ketika saya dan keluarga ingin berjalan-jalan menikmati senja musim gugur, Lassie segera berlari mendahului kami sebagai pemandu jalan. Sesekali ia menengok ke belakang seperti ingin memastikan kalau kami baik-baik saja. Saat menjumpai jalanan bercabang, Lassie akan menunggu ke arah mana kami berjalan. Ia juga sabar menanti saat kami beberapa kali berhenti untuk memotret.
Awalnya saya heran, mengapa Lassie begitu mudah akrab dengan kami. Ternyata ada banyak anjing seperti Lassie di sini. Dalam perjalanan, kami juga berpapasan dengan kawanan domba yang baru kembali dari padang rumput menuju desa. Tak ada satu pun penggembala. Mereka hanya dikawal dua anjing. Lassie menggonggong ke arah temannya, seolah sedang bertegur sapa dan saling memberikan semangat. Situasi ini sungguh menyentuh hati saya.
Menurut keterangan salah seorang warga, anjing-anjing itu melayani dengan baik, karena mereka memang mendapat perlakuan baik dari masyarakat setempat, bahkan sudah dianggap bagian keluarga. Mereka tak hanya diberikan tempat tinggal dan makan, mereka juga memperoleh kasih sayang yang melimpah. Saya melihat langsung seorang warga yang mengendarai mobil berhenti lalu membuka kaca jendela dan mengusap punggung Lassie.
Pertemuan saya dengan Lassie ini memberikan kesan mendalam dan mengajarkan banyak hal. Salah satunya, tentang bagaimana toleransi dimaknai secara lebih luas, tidak hanya sebatas kepada sesama manusia, tapi juga kepada seluruh ciptaan Tuhan di alam semesta. Sejatinya, seluruh wujud di alam menginginkan hidup berdampingan, karena masing-masing memiliki sifat dasar saling menyayangi. Sebagaimana disampaikan oleh Rumi dalam ghazal ke 2674 kitab Divan-e Kabir:
Seluruh wujud di alam adalah pecinta, dan mereka semua rindu bersua. Jika tak mencintai-mu, langit tak kan membentang cakrawala bening. Jika tak menyayangi-mu, matahari tak ada cahaya indah menyinari. Jika tanah dan gunung tak saling mencinta, tak kan tumbuh darinya pohon dan bunga. Jika tak menyenangi-mu, laut entah kan dibawa ke mana hidup.
Kedua, pengalaman ini juga mengingatkan saya pada kisah Bayazid Bastami yang dituliskan Athar Nisyaburi dalam kitab Tadzkiratul Auliya. Suatu hari Bayazid dan beberapa muridnya melewati gang sempit. Mereka berpapasan dengan seekor anjing. Bayazid kembali ke belakang untuk memberikan jalan kepada anjing tersebut. Para murid Bayazid melihatnya dengan penuh keheranan. Salah seorang di atara mereka lalu bertanya: “Mengapa Anda melakukan itu, Wahai Syeikh. Bukankah Anda adalah seorang Sultan Arif (pemimpin para sufi) yang dihormati?”
Bayazid kemudian menjelaskan kepada para muridnya bahwa setiap wujud di alam semesta yang diciptakan Tuhan memiliki tempat dan posisinya masing-masing. Mereka semua adalah mulia. Sehingga tidak ada alasan bagi manusia untuk memandang dirinya lebih tinggi dan lebih penting dari ciptaan Tuhan lainnya.
Rumi secara lebih tajam menyebutkan dalam kitab Matsnawi Maknawi jilid pertama bait 686-689, bahwa kita dan alam semesta ini tercipta dari entitas yang sama:
“Dulu kita merdeka, berasal dari entitas yang sama. Tanpa kepala dan kaki, di alam azali kita berjumpa. Kita adalah partikel bak matahari, tanpa ikatan seperti air jernih. Ketika cahaya berubah wujud, lahirlah aneka macam bentuk. Maka keluarlah dari rangka jasadmu, sampai kau temukan wujud aslimu”
Cara pandang kesetaraan ini, bahwa kita sama-sama sebagai makhluk di hadapan Tuhan merupakan modalitas penting dalam membangun toleransi dan harmonisasi, tidak hanya antarsesama manusia, tapi juga antara manusia dan alam semesta. Sehingga relasi yang terbentuk lebih kepada saling memberikan kebermanfaatan, bukan dominasi maupun eksploitasi. Spirit inilah yang perlahan mulai tergerus dalam dinamika masyarakat modern.
Ketiga, perjumpaan ini juga membuat saya selalu terkenang bagaimana hubungan mutualisme yang terbangun antara Lassie dan warga desa Esas. Lassie jadi baik dan melayani karena diperlakukan secara baik. Inilah yang dalam rumusan etika global dikenal sebagai Golden Rule dan konsep ini menjadi pilar penting dalam bangunan toleransi. Konsep ini juga menjadi ajaran pokok di hampir semua agama dan disebutkan dalam kitab-kitab klasik.
Sebagaimana wasiat yang disampaikan Sayidina Ali bin Abi Thalib dalam kitab Nahjul Balaghah: “Wahai putraku, jadikanlah dirimu timbangan di antara kamu dan selainmu. Cintailah selainmu sebagaimana engkau ingin dicintai. Janganlah berbuat sesuatu yang engkau tak suka orang lain berbuat demikian kepadamu. Janganlah berbuat zalim sebagaimana engkau tak ingin dizalimi, dan berbuat baiklah sebagaimana engkau ingin orang lain berbuat baik kepadamu”
Dengan begitu, jika manusia ingin hidup tentram berdampingan dengan alam, sudah selayaknya memperlakukan alam secara adil. Banyaknya bencana alam yang terjadi seperti banjir dan tanah longsor disebabkan oleh pengrusakan alam yang terus-menerus, dari penebangan hutan secara liar, proyek perumahan di lahan resapan air, hingga pendangkalan sungai. Terjadinya penyerangan hewan ke kawasan rumah-rumah penduduk juga karena ekosistem dan habitat mereka telah diganggu dan direnggut.
Jalaluddin Rumi mengibaratkan perilaku buruk kita kepada lingkungan sekitar dengan duri yang satu persatu menancap dalam tubuh. Kita mungkin abai dengan keberadaannya, dan baru menyadari saat kita sendiri tertusuk duri-duri itu. Dalam kitab Matsnawi jilid kedua bait 1240-1242, Rumi menyebutkan:
“Bayangkan jika setiap perangai burukmu adalah duri, berkali-kali duri terinjak oleh kakimu sampai tubuhmu tersakiti. Kau pun lelah dengan perbuatanmu, berulang kali. Tapi kau tak merasa, atau mungkin kau tak peduli. Jika kau lupa dengan luka yang kau semai lewat sifat tak terpuji, tentu engkau akan selalu ingat rasa sakit yang pernah kau alami.
Jadi, keharmonisan antara manusia dan alam semesta ini akan terjadi saat kita mampu menjaga keseimbangan alam dengan cara berperilaku adil, mengacu pada prinsip dasar kesetaraan dan cinta kasih. Permulaan surat Ar-Rahman, terutama ayat 7 sampai 9 begitu jelas memberikan pesan kepada kita: “Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan. Agar kamu tidak merusak keseimbangan itu. Dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu”
***
Dalam kereta yang membawa kembali ke Tehran, Alifia, anggota termuda dalam perjalanan kami yang baru berusia 6 tahun, berkali-kali menyebut nama Lassie dan memandangi fotonya dengan penuh kebahagiaan. Ia juga menggambar Lassie dalam secarik kertas, lalu dengan mata berbinar menunjukkan kepada saya. Ini seperti sebuah pesan optimistis, bahwa manusia dan alam masih akan terus saling membutuhkan dan menyayangi. Semoga kami dapat menjaga kepercayaan ini, karena sejatinya alam diwariskan kepada kita oleh generasi masa depan.
*) Artikel ini adalah hasil kerja sama alif.id dan Jaringan GUSDURian untuk kampanye #IndonesiaRumahBersama