“Apakah di Iran ada masjid Ahlus Sunnah?” Pertanyaan seperti itu kerap diajukan teman-teman saat mereka tahu saya domisili di Iran. Jika yang dimaksud kota Teheran, barangkali tidak mudah mencarinya. Mengingat, hanya segelintir warga Teheran yang bermazhab Ahlus Sunnah, itupun tersebar di berbagai kawasan. Seringkali, mereka memilih bergabung dalam masjid-masjid umum di lingkungan terdekat. Tapi, jika yang dimaksud adalah masjid Ahlus Sunnah di berbagai wilayah Iran?
Tentu saja ada. Beberapa bulan lalu, saya berkesempatan mengunjungi langsung masjid jami Syafii yang berada di Propinsi Kermanshah.
Kermashah, merupakan rumah bagi etnis Kurdi Iran, selain Kurdistan dan Ilam. Ketiga provinsi ini berbatasan langsung dengan wilayah Irak. Kermanshah juga terkenal dengan julukan ‘India’ nya Iran, karena di propinsi ini berbagai kelompok Islam tumbuh subur, baik syiah maupun Ahlus Sunnah. Bahkan, di beberapa kota kabupaten seperti Paveh dan Ravanshahr, mayoritas penduduknya bermazhab Ahlu Sunnah. Sedangkan di ibu kota propinsi Kermashah sendiri, jumlah pemeluk Sunni sekitar 35-40 persen dan mayoritas beraliran Syafii.
Di tengah iklim keragaman inilah, masjid jami Syafii hadir di kawasan kota tua Kermashah, diapit pasar tradisional dan bangunan bersejarah. Usia masjid belum terlalu tua, “baru” 70 tahun. Namun, sebelumnya hanya berupa bangunan masjid kecil. Sekitar 20 tahun lalu, dilakukan perombakan secara besar-besaran, sampai saat ini luas ruangannya saja mencapai 3500 meter persegi.
Beruntung, kawan lokal kami memperkenalkan langsung pada Parviz Ahmadi, arsitek yang mendesain langsung masjid Syafii ini. Jadi, saya tak hanya bisa menikmati keindahan masjid, tapi juga mendapat informasi tangan pertama tentang cerita menarik di balik pembangunan tempat ibadah ini. Ahamdi, dengan bahasa Persia aksen kental Kurdi, menjelaskan panjang lebar konsep persatuan dalam masjid Syafii.
Meskipun secara umum interior masjid ini bergaya Andalusia, tetapi Ahmadi berupaya memadukan arsitektur masjid dari negeri-negeri muslim, untuk mengenang persaudaraan umat Islam di berbagai penjuru dunia. Desain kubah utama terinspirasi oleh masjid Sami, kawasan jazirah Arab. Sementara empat kubah lainnya dipengaruhi oleh masjid Andalusia. Pilar-pilar yang menjulang ini terilhami oleh bangunan-bangunan megah ala Byzantium. Sedangkan beranda masjid ini mengambil inspirasi dari masjid Aqsa di Palestina.
Lalu adakah pengaruh arsitektur Persia dalam masjid Jami Syafii? Ahmadi menjelaskan bahwa ruh arsitektur Islam itu sebenarnya satu, untuk mengagungkan Tuhan. Namun, setiap bangunan ibadah tentu saja memiliki ciri khas tersendiri, tergantung selera perancang dan kondisi geografis. Begitu juga masjid Syafii, meskipun banyak terinspirasi dari dunia Islam, tapi tetap mempertimbangkan kearifan lokal, terutama terlihat pada ivan dan mihrab.
Ivan yang menjadi ciri khas masjid Iran ini ternyata terdiri dari bangunan kompleks yang diapit dua menara kembar dengan ketinggian kira-kira 40 meter. Kalau dilacak secara historis, ivan telah digunakan pada dinasti Sasania, sebelum Islam masuk ke Persia. Mereka biasanya membangun ivan dengan hiasan patung binatang atau kepala raja-raja. Namun, setelah Islam datang, hiasan binatang itu diganti dengan dua menara.
Begitu juga mihrab masjid Syafii, terinspirasi dari arsitektur khas Iran, yaitu penggunaan dekorasi ubin keramik muarrak. Seluruh bagiannya dilakukan dengan tangan. Setiap satu meter, memerlukan sekitar seribu potongan keramik kecil.
“Proses pembuatannya memang rumit, namun secara arsitektur memiliki nilai tinggi,” jelas Ahmadi dengan penuh semangat sambil tak lelah mengantar kami keliling ruangan. Kebetulan saat kami berkunjung bukan jam salat, jadi bisa lebih puas mengamati setiap bagian masjid.
“Orang Syiah boleh salat di sini, kan?” tanya Javadian teman lokal kami asal Kermanshah. Ahmadi tersenyum penuh arti.
“Boleh sekali, sebagaimana kami pun biasa salat di masjid Syiah. Di sini, kami juga menyediakan turbah.” Turbah adalah tanah dipadatkan yang biasanya digunakan sebagai wasilah sujud bagi penganut Syiah. Tidak hanya umat Islam, bahkan Ahmadi menjelaskan pemeluk agama apapun boleh berkunjung dan berdoa dengan cara mereka di masjid ini.
Sungguh berkesan kunjungan saya ke masjid Syafii kali ini. Tidak hanya menyaksikan langsung fisik bangunan yang indah dan bernilai seni tinggi, tapi juga mendengar langsung penuturan sang asitek yang berupaya menebar semangat persatuan di setiap sudut bangunan ini. Masjid, sejatinya adalah tempat mengagungkan Tuhan, seharusnya memang selalu terbuka bagi siapapun dan kelompok manapun.