Hujan baru saja mengguyur kota kecil Shush. Meski langit terlihat pucat dan jalanan masih basah tergenang air, tapi kota ini tetap ramai oleh para pejalan kaki yang hilir mudik di trotoar. Shush memang salah satu kota tujuan wisata penting di selatan Iran. Kota yang masuk dalam wilayah propinsi Khozestan ini, pernah menjadi saksi sejarah panjang kejayaan imperium Persia kuno. Selain benteng bersejarah yang merekam penemuan arkeologi, makam Nabi Daniel juga menjadi situs favorit di kota Shush.
Lokasi makam ini ditemukan pertama kali pada masa khalifah kedua, Sayidina Umar bin Khatab, saat menyebarkan Islam ke tanah Persia melalui kawasan Irak. Pada masa dinasti Safavi, makam ini dibangunkan kubah sederhana agar para peziarah lebih nyaman berdoa.
Adapun kompleks pemakaman yang terlihat hari ini, dibangun sekitar seratus tahun lalu, tepatnya tahun 1908 M atas inisiatif ulama setempat bernama Seikh Ja’far Shushtari.
Di sinilah sekarang saya berdiri, di pelataran kompleks makam Nabi Daniel. Dari kejauhan kubah runcing kecoklatan menjadi penanda makam bersejarah ini. Arcin, begitulah orang-orang menamainya. Morteza, host kami yang kebetulan seorang arsitek sedikit menjelaskan filosofi bentuk kubah yang unik.
“Model kubah yang berundak-undak itu seperti tangga menuju Tuhan. Adapun bentuknya yang semakin runcing menandakan, hanya orang-orang terpilih yang akan sampai pada hakikatNya”, begitulah penuturan Morteza.
Di bawah kubah inilah Nabi Daniel disemayamkan. Ada banyak versi tentang kuburan Nabi Daniel, namun catatan paling kuat menyebutkan, jenazahnya dimakamkan di kota Shush, Iran.
Perantau Inspiratif
Perjalanan hidup Nabi Daniel merupakan cerita seorang perantau yang inspiratif. Ia pemuda hebat asal tanah Palestina yang ditawan dan dibawa oleh raja Babylonia sekitar 7 abad sebelum Masehi. Meski ia merantau bukan karena pilihannya, tapi Daniel muda terus mengukir prestasi di tanah pengasingan. Setelah Babylonia ditaklukan imperium Persia, ia pun berpindah ke wilayah kekuasaan Syrus.
Raja Syrus memberikan posisi penting dalam pemerintahannya. Daniel si pemuda asing itu, kini posisinya diperhitungkan di kalangan istana Persia. Namun di sisi lain, Daniel tetap mempertahankan keyakinan agama awal yang ia bawa.
Kesuksesan yang dicapai nabi Daniel ini tak ayal menimbulkan kecemburuan di lingkungan Istana. Mereka mendesak raja Syrus untuk menjebloskan Daniel ke sarang harimau., meskipun Syrus sendiri tidak menyetujui. Dengan takdir Allah, ia selamat dari terkaman harimau. Nama Nabi Daniel kemudian semakin dikenal luas.
Setelah ribuan tahun berlalu, hari ini saya menyaksikan langsung bagaimana penghormatan masyarakat setempat pada sang perantau. Meski berada jauh dari tanah kelahirannya, kehadiran para peziarah dari berbagai daerah, memberi kehangatan tersendiri di kompleks pemakaman.
Desain makam Nabi Daniel juga dibuat seperti makam-makam Imamzadeh, keturunan para Imam yang mendapat tempat khusus di tengah masyarakat Iran. Hanya berbeda pada bagian kubah yang memiliki bentuk runcing.
Silsilah
Catatan sejarah menyebutkan silsilah nasab Nabi Daniel, bahwa ia adalah putra keempat Nabi Yakub. Ia nabi yang diutus dari kaum Yahudi sebelum kedatangan Almasih. Di kalangan umat Islam, meskipun nama nabi Daniel tidak disebutkan dalam Alquran, tetapi banyak riwayat dari para sahabat yang menjelaskan tentang keutamaannya.
Keberadaan makam Nabi Daniel ini seoleh menjadi perekat bagi para pengikut agama Ibrahimi, baik Yahudi, Kristen, maupun Islam. Karena penghormatan ketiga pengikut agama tersebut pada Nabi Daniel.
Bahkan, di tengah masyarakat Iran, ada kepercayaan yang cukup menarik tentang Nabi Daniel. Dalam spanduk besar di halaman kompleks makam, tertulis beberapa keutamaan Nabi Daniel.
Salah satunya, riwayat dari Sayidina Ali bin Abi Thalib: ((من زار اخی دانیال کمن زارنی)) yang kira-kira artinya: “Barang siapa yang berziarah kepada saudaraku, Nabi Daniel, maka ia seperti berziarah kepadaku”. Barangkali, inilah salah satu magnet yang membuat para peziarah terlihat begitu khusuk berdoa di makam Nabi Daniel.
Bagi saya, teks tersebut dapat dimaknai secara lebih luas. Terma (اخی) atau saudaraku yang digunakan sayidina Ali untuk Nabi Daniel yang berasal dari kaum Yahudi, seolah mengajarkan arti persaudaraan dan perdamaian antar bangsa, bahkan umat manusia. Izinkan saya, seorang perantau dari tanah Nusantara mengambil inspirasi dari makam Nabi Daniel, sang perantau dari tanah Palestina.
Di sini, di pelataran Nabi Daniel yang masih basah oleh guyuran hujan, saya berdoa semoga peperangan yang mengatasnamakan agama, baik fisik maupun lisan, bisa dikurangi atau bahkan dihindari sama sekali.
Karena para pendahulu kita telah mengajarkan bahwa cinta dan kasih sayang tak mengenal sekat-sekat agama maupun suku bangsa. “Yang bukan saudaramu seiman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan”, begitulah pesan Sayidina Ali yang juga kerap dikutip almarhum Gus Dur.