Masjid kecil di puncak Bukit Qom itu telah lama mengusik rasa ingin tahu saya. Orang-orang menyebutnya dengan Masjid Gunung Khidir.
Di malam hari, sering terlihat dari kejauhan lampu-lampu menara yang mengerlip, seolah menyimpan misteri.
Nama masjid ini dinisbatkan kepada Nabi Khidir. Seorang nabi yang dikisahkan dalam Alquran, Surat Alkahfi. Nabi Khidir dikaruniai usia panjang, bahkan diyakini masih hidup sampai sekarang. Beliau sering menjumpai hamba-hamba salih di berbagai belahan dunia. Konon, masjid ini juga pernah menjadi saksi perjumpaan Nabi Khidir dengan para ulama setempat.
Masjid yang berlokasi enam kilometer sebelah selatan kota Qom ini, dipercaya sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Namun, catatan yang ditemukan menunjukkan, masjid nabi Khidir mengalami dua kali pemugaran.
Tahap pertama, sekitar 150 tahun lalu pada masa akhir Dinasti Safavi dan permulaan Dinasti Qajar. Tahap kedua, sekitar tahun 1991, dilakukan perbaikan jalan dan infrastruktur ke arah kompleks bukit Khidir. Meskipun tangga menuju ke atas bukit masih belum selesai.
Berkat kebaikan seorang yang bernazar, dibangunlah 300 tangga menuju masjid Khidir. Sebagaian jalan ke arah gunung memang masih berupa tanah, tapi sudah jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Sepuluh tahun lalu, saat masih tinggal di Qom, saya hanya bisa memandangi masjid ini dari kejauhan. Karena medan pendakian yang masih cukup sulit. Di awal musim semi, April 2019, akhirnya saya dapat menjejakkan kaki di pelataran masjid Nabi Khidir.
Meski badan letih setelah menaiki tangga selama 30 menit, namun ada kebahagiaan tersendiri bisa sampai di masjid Khidir ini. Menara yang dari kejauhan terlihat penuh misteri, kini tampak di depan mata. Bersanding dengan kubah biru turkois yang berkilauan diterpa sinar matahari.
Secara bangunan fisik, tentu saja masjid ini kalah jauh dengan masjid-masjid lain yang pernah saya kunjungi di Iran. Apalagi, di beberapa bagian, masjid Khidir terkesan belum selesai. Tetapi, sejarah dan cerita yang melatari masjid inilah yang membuat istimewa.
Ali Rouhaninia dalam bukunya Masjed-e Kuh-e Khezer Nabi, menuliskan pengalaman-pengalaman Haji Husein, putra penjaga masjid. Nama keluarganya dikenal dengan Aghay-e Kuh-e Khezer atau penunggu gunung Khidir. Karena keluarga ini, secara turun temurun telah menjaga kompleks masjid Khidir. Ia menceritakan kembali kesaksian ayahnya yang lebih dari 70 tahun menjaga masjid Khidir.
“Seorang alim bernama Mojtahidi selama tiga bulan (Rajab sampai Ramadhan) beritikaf di masjid nabi Khidir. Suatu hari, ia mengabarkan kepada ayahku kalau akan kedatangan tamu istimewa. Ayah tidak berani menganggu. Setelah mereka berbincang lama, ayahku melihat ada lelaki tua yang keluar dari masjid itu. Keesokan harinya, kanal air yang sebelumnya kering menjadi penuh kembali”
Di bagian lain dari buku ini juga dikisahkan:
“Cerita lainnya dari seorang alim yang dikenal dengan sebutan sayid sukut atau habib pendiam. Makamnya sekarang berada di kompleks Haram Maksumah. Ia pernah beberapa bulan tinggal di masjid Khidir. Suatu malam, ayah saya melihat ia memasuki masjid bersama seorang tua. Lalu mereka bercengkarama. Tidak lama, ayahku memasuki masjid. Namun, ia tak melihat lelaki tua itu. Sayid Sukut, dengan mimik yang masih takjub mengatakan: Ia telah pergi”.
Masih banyak lagi cerita yang menyebutkan kedatangan nabi Khidir ke masjid ini yang divisualkan sebagai lelaki tua. Menurut berbagai keterangan, masjid Khidir memang pernah menjadi tempat berujlah atau berkhalwat (menyendiri) para wali dan guru sufi pada masanya. Bahkan, Mulla Sadra, salah seorang filsuf besar Iran juga sering berkunjung ke masjid ini, saat menemukan persoalan dalam menyelesaikan karyanya.
Ketika saya berada dalam ruangan masjid, potongan-potongan cerita itu seperti kembali hadir. Saya membayangkan bagaimana syahdunya pertemuan antara Nabi Khidir dengan para pecinta Tuhan. Tentu, perjalanan mereka untuk sampai di makam itu tidak mudah. Berbulan-bulan melakukan pembersiahan diri di tempat yang teramat sunyi. Apalagi, pada masa itu jalanan fisik menuju gunung Khidir masih sangat sulit.
Tapi izinkan saya memilih tafsir yang lebih luas. Selain meyakini bahwa Nabi Khidir akan menjumpai para abid dan zahid di manapun berada. Saya juga percaya, Nabi Khidir akan mendatangi mereka yang tangannya melepuh karena bekerja keras menafkahi keluarga.
Atau…. ia akan hadir di tengah mereka yang selalu menyapa kaum papa tanpa diketahui siapapun. Atau bahkan, Nabi Khidir sendiri ada di samping mereka yang setiap malam menahan lapar, tapi mereka bisa menjaga kehormatannya. Ah…entahlah. Sekali lagi ini hanya tafsir dari apa yang pernah saya dengar.
Angin pegunungan bertiup kencang menerbangkan ujung jilbab saya. Meskipun tengah hari, tapi udara terasa teduh. Saya berdiri di tepi pagar pembatas sambil menatap ke bawah. Potret kota Qom tampak jelas terlihat dari sini. Para pengunjung yang masih berada di lintasan pendakian, samar-samar mulai terlihat. Masjid Khidir kini menjadi salah satu tempat favorit wisata religi.
Diam-diam sebuah pertanyaan menyelinap, apakah Nabi Khidir masih akan datang di tempat yang sekarang semakin bertambah ramai ini? Teka teki ini mungkin akan terus menjadi misteri.
Trinkaksih tpi Kok g ada foto bagian dalamnya, ubed