Aku anak Afganistan/Negeriku sedang berperang/Aku bekerja di negeri orang/Harapanku ke depan/Semoga tak lagi ada/Anak-anak yang bekerja.
Shamila Shirzad, gadis pengungsi asal Afganistan, mengungkapkan perasaannya dengan mata berkaca di panggung “Festival Film Fajr”, ajang penghargaan film paling bergengsi di Iran. Shamila tampak percaya diri dengan balutan celana jeans, blouse krem, dan kerudung cokelat muda. Ia bicara lantang meski dengan emosi yang sulit dikendalikan. Saya menatapnya penuh haru di balik layar kaca. Shamila dan empat kawannya mendapat penghargaan khusus sebagai pemain film “The Sun”, karya teranyar Majid-majidi, rilis 2019.
The Sun berhasil menyabet penghargaan sebagai film terbaik di Festival Film Fajr ke-38 yang diadakan Februari 2020 lalu,. Film ini menceritakan beberapa remaja pedagang asongan yang bermimpi menemukan harta karun. Mereka lalu pergi ke ruang bawah tanah di sebuah sekolah, tempat harta karun itu disembunyikan. Sayangnya, para remaja ini tak menyadari bahaya yang tengah mengintai. Alih-alih mendapat harta karun, mereka malah berurusan dengan barang haram. Dari sinilah konflik-konflik bermunculan. Latar cerita tersebut membidik kehidupan para pecandu dan anak-anak yang terpaksa harus mengais rejeki.
Sekali lagi, Majid Majidi hadir dengan membawa isu kemanusiaan. Kiprah sutradara peraih rekor penghargaan Simorgh ini, memang punya gaya tersendiri dalam memotret kehidupan anak-anak melalui kisah humanis. Meski mungkin tak mudah mengulangi kesuksesan film terdahulunya, The Children of Heaven. Namun, banyak pengamat film Iran tetap optimis dan berharap “The Sun” akan mengingatkan para pecinta film pada masa-masa kejayaan Majid Majidi.
Di samping mendapat sanjungan, The Sun juga tak luput dari bidikan para kritikus film Iran. Sebagian menyebutkan, beberapa potongan dalam cerita The Sun terkesan dipaksakan dan terlalu fantasi. Majidi juga kerap menuai kritikan terkait filmnya yang sering memamerkan sisi muram kehidupan sosial masyarakat Iran.
Terlepas dari pro dan kontra, film The Sun ini justeru mendapat apresiasi cukup besar dalam proses kreatif dan pembuatannya. Pasalnya, Majidi melibatkan anak-anak pengungsi Afganistan yang kesehariannya bekerja sebagai pedagang asongan. Melalui sebuah sekolah yang menampung anak-anak jalanan ini, Majidi mengajak mereka dan tentu saja membekalinya dengan segudang teknik dasar bermain film. Hasilnya, akting anak-anak terlihat sangat natural meski baru pertama kali tampil di depan kamera.
Bicara kehidupan nyata pengungsi Afganistan, rasanya tak kalah haru dari cerita film. Perang saudara yang terus berkecamuk di Afganistan memaksa warganya meninggalkan kampung halaman mereka. Di Iran sendiri, diperkirakan ada sekitar tiga juta imigran asal Afganistan. Tentu hal ini menimbulkan masalah sosial yang tak mudah. Iran bukan negara Eropa yang secara ekonomi lebih siap menampung para imigran. Puluhan tahun berada di pusaran embargo, membuat ekonomi Iran tertatih-tatih. Namun faktanya, para imigran tetap memilih tinggal di Iran dan mengais rejeki di sekotor non formal, termasuk pekerja bangunan dan pedagang asongan.
Rasa ingin tahu yang tinggi sebagai traveler, mengantarkan saya pada tempat bernama Oudlajan, sebuah kawasan di Teheran tua dengan gang-gang sempit berdebu. Di balik bangunan klasik yang bernilai sejarah tinggi, berdiri rumah-rumah sederhana yang banyak ditinggali oleh pengungsi Afganistan. Saya berpapasan dengan anak-anak etnis Afgan berlarian sepulang sekolah. Hidup yang keras di perantauan tak membuat mereka mudah menyerah. Sepulang sekolah, anak-anak ini akan bekerja semampu mereka.
Shamila dan kawan-kawannya, termasuk sedikit dari anak-anak imigran yang beruntung, karena mendapat kesempatan bermain di film karya sutradara besar. Jika dalam film Children of Heaven, lewat karakter Ali, Majid Majidi berusaha menyampaikan pesan optimistik dan tidak mudah menyerah pada keadaan. Malam itu, melalui karyanya The Sun, Majidi kembali menghadirkan spirit tokoh Ali dalam dunia nyata. Ruhollah Zamani, remaja lain yang juga sukses memainkan perannya dalam film The Sun, menutup acara dengan kalimat yang amat sentimentil.
“Aku pernah putus asa menjalani hidup. Pak Majidi telah mengubah jalanku. Dan hari ini aku ingin berpesan kepada remaja sebayaku: Tetaplah semangat dan terus optimis”
Harta karun dalam cerita film The Sun memang tak pernah ditemukan, namun harta karun sesungguhnya berhasil mereka raih. Majid Majidi telah membentangkan jalan kesuksesan untuk Shamila, Ruhollah, dan kawan-kawan lainnya.