Pesantren selalu menarik untuk dibahas dalam dimensi apapun. Di antara beberapa kajian mengenai tradisi-tradisi pesantren yang berkembang belum terlalu banyak yang menyinggung soal perkembangan Ijazahan wirid, amalan dan keahlian ilmu hikmah dalam lingkungan pesantren tradisional. Fenomena ijazahan wirid dan amalan menjadi hal yang sangat diminati oleh para santri dan masyarakat di Jawa khususnya. Tradisi ijazahan wirid biasanya diberikan oleh seorang tokoh agama (kiai) yang kemudian disebut sebagai mujiz (pemberi ijazah) yang sudah menjalani amalan secara rutin dan konsisten (istiqamah).
Amalan dan wirid yang diijazahkan sangat beragam dan ada kelasnya masing-masing dalam mengamalkanya. Misalnya seorang santri junior akan dibedakan amalannya dengan santri senior dan juga santri yang sudah menjalin rumah tangga akan ada ijazahan tertentu yang berbeda dengan santri yang belum menikah. Fenomena seperti ini adalah bentuk ikhtiar para santri untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah swt agar dimudahkan segala urusanya. Sampai saat ini pesantren tradisional masih memegang erat tradisi ijazahan tersebut. Sebagain dari mereka menyebutnya dengan Ilmu Hikmah, karena dengan membaca beberapa wiridan selanjutnya bisa merasakan aura-aura dari amalan itu dan sampai pada mampu merasakan rahasia-rahasia di dalamnya.
Amalah dan wirid yang berkembang biasanya disebut dengan tirakatan. Tirakat dalam salah satu versi berasal dari bagasa Arab taroka yatruku yang memiliki arti meninggalkan. Oleh sebab itu definisi tirakatan secara istilah adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan yang menyenangkan untuk mendapatkan suatu yang diinginkan. Dalam versi lain disebutkan bahwa tirakatan berasal dari kata penjawaan dari bahasa Arab thariqah yang memiliki makna “jalan untuk dilalui”. Artinya tirakat adalah menjalani laku spiritual untuk mencapai sesuatu yang diinginkan (M. Imam Aziz, 2014). Misalnya dengan berpuasa dengan disertai amalan, wirid-wirid khusus yang diijazahkan oleh seorang guru atau mujiz (pemberi ijazah) yang sudah memiliki sanad yang jelas.
Dalam tradisi pesantren ijazahan amalan ini adalah gerbang untuk melakukan tirakatan dengan penggabungan pengendalikan hawa nafsu (riyadhah) dengan menempuh jalan spiritual (thariqah) untuk mencapai yang dikehendaki (Fuadi, 2017). Hal ini sejalan dengan tradisi masyarakat Jawa terdahulu dalam lingkungan Hindu-Budha, misalnya Maha Patih Amangkubhumi Gajah Mada pernah melakukan tirakatan yang terkenal yaitu Sumpah Palapa untuk melakukan puasa sampai menyatukan Nusantara. Menariknya para wali yang menyebarkan agam Islam di Jawa pun mengenalkan ajaran sufistik dalam Islam yang memiliki ruh serupa dengan pemahaman masyarakat Jawa. Sunan Kalijaga atau Raden Said memiliki guru yang ahli dalam bidang sufistik yaitu Raden Rahmat atau Sunan Ampel, melalui gurunya Sunan Kalijaga menjalankan amalan-amalan dan wirid yang diberikan oleh Sunan Ampel untuk menjalankanya.
Tradisi Ijazahan Pesantren
Ijazahan amalan wirid di pesantren bisa berbeda satu sama lain. Perbedaan amalan tersebut biasanya disebabkan jenis, motif dan guru yang dimiliki pengasuh pesantrenya. Setidaknya amalan yang berkembang dapat terbagi menjadi dua macam: Pertama, adalah ijazah amalan dan wirid yang khusus (Khos) artinya tidak semua orang bisa mendapatkanya, di bagian yang bertama ini bisa diperinci menjadi dua bagian. Pertama adalah bentuk amalan yang khusus santri pribadi. Biasanya pada bagian ini para santri meminta langsung kepada kiai atau mujiz pemberi ijazah) terkait ijazah yang sedang dilanggengkan atau kiai memberikan secara langsung kepada santri yang ia pilih untuk melanjutkan amalanya. Setelah diminta ijazah kemudian kiai menjelaskan kegunaan dan kaifiyah pengamalanya sesuai porsi atau tingkatan orang yang meminta sekaligus menjelaskan dosisnya.
Misalnya di pesantren Tegalrejo Magelang sebagain santrinya ada yang melanggengkan mujahadah dengan membaca beberapa wirid khusus yang sudah turun temurun dilanggengkan oleh keluarga KH. Khudhori dengan para santrinya. Sementara santri senior biasanya juga mengamalkan membaca wirid yang terkumpul dalam Hizib Al-Ghozali, Hizib Nasr, Hizib Nawawi dan amalan lainya. Bahkan mayoritas santrinya mengamalkan tirakatan ngerowot (tidak makan nasi) dengan diselingi wirid-wirid khusus sepanjang tirakatan. Sebagai contoh lagi, di Kudus ada seorang kiai yang melanggengkan tirakatan Puasa Dalail al-Khoirot dan Puasa Al-Qur’an yaitu KH. Ahmad Basyir (alm) pengasuh pesantren Darul Falah Kudus.
Kiai Basyir dikenal sebagai mujiz tirakatan Dalail al-Khoirot kitab kumpulan shalawat yang dikarang oleh wali qutub yang berasal dari maghribi yaitu Syaikh Muhammad bin Sulaiman Al-Jazuli. Dalam ijazahanya Kiai Basyir memberikan kaifiyah atau tatacara membacanya setiap selesai sholat maktubah dan disertai puasa selama tiga tahun. Selain Dalailul al-Khoirot beliau juga mengijazahkan amalan Puasa Al-Qur’an. Kaifiyahnya yaitu setiap hari membacaca satu juz dan melanggengkan dengan puasa selama satu tahun.
Kedua dari ijazahan khas adalah ijazahan amalan atau wirid yang diberikan secara kolektif untuk para santri secara bersamaan. Pada macam kedua ini biasanya dilakukan oleh pesantren yang melanggengkan amalan pendirinya. Sehingga semua santri baik senior maupun junior boleh mengamalkanya secara kolektif pada waktu tertentu secara konsisten.
Contoh, misalnya amalan kolektif yang dilakukan oleh para santri di pesantren tertentu adalah membaca amalan yang dilanggengkang pendiri atau pengasuhnya. Seperti pembacaan wirid Ratib Al-Haddad yang disusun oleh Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad yang kami temui di pesantren-pesantren Jawa. Di sisi lain ratib ini juga menjadi amalan para habaib di Indonesia sebagai wiridan khusus di kalangan tarekat Alawiyyah. Diantara jenis lainya adalah Ratib Syawariqul Anwar yang memuat berbagai macam ratib, wirid dan hizib yang disusun oleh Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki Makkah. Biasanya para santri beliau yang sekarang di Indonesia memberikan amalan tersebut untuk umum. Selain itu juga ada ijazahan amalan Sholawat Kubro di Pesantren APIK Kaliwungu, amalan Yasin Fadhilah di Pesantren Al-Anwar Sarang Rembang dan masih banyak lagi.
Kedua, adalah Ijazah umum (Aam) di bagian kedua ini biasanya dibuka secara umum seperti ijazahan kubro yang diselenggarakan dengan kolektif masyarakat karena perluasan pengaruh kiai di luar pesantren. Bisa juga tidak dalam acara ijazahan kubro melainkan inisiatif masyarakat sendiri untuk mendatangi kiai atau mujiz untuk mendapatkan ijazah.
Ijazahan amalan dan wirid secara kolektif di masyarakat ini biasanya dikembangkan melalui majelis-majelis masyarakat. Hal ini terlepas dari peran kiai sebagai pendidik di pesantren melainkan kiai juga memiliki fungsi sebagai pemimpin dan pelayan masyarakat. Bagian ijazahan ini sangat beragam macamnya. Misalnya di Semarang ada KH Amna’ Abdullah Umar (alm) yang melanjutkan abahnya untuk memberikan ijazahan Jalbu Rizqi setiap hari jumat pertama di bulan Muharram dan Maulud. Di Pati ada KH Zahwan Anwar yang memiliki kitab Mujarrobat, Jalbu Rizqi, Jaljalut dan Mahabbah. Kemudian Ijazahan amalan Do’a Nurbuat di Yogyakarta yang bersumber dari KH. Khalil Harun Segoroyoso. Selain itu, kiai-kiai di Jawa juga tidak hanya memakai amalan-amalan yang berbahasa Arab saja melainkan juga melakukan wirid berbahasa Jawa misalnya Guru Marzuki Giriloyo (Syathariyah) KH. Dalhar Watucongol (Syadziliyah) KH. Imam Puro (Syadziliyah-Sathariyah) mereka memiliki amalan wirid Mantra Jawa Pesantren.