Dalam khazanah Islam, kiai adalah sebutan yang disematkan kepada seorang guru yang menguasai ilmu agama (alim) baik secara kelembagaan atau dalam kemampuanya menguasai literatur keislaman (turats). Kata “kiai” dalam bahasa Arab disebut dengan ulama, ustadz, mudir atau syaikh yang mana memiliki arti serumpun dengan kiai.
Dalam buku Kiai Tabib Khazanah Medical Indonesia disebutkan bahwa masyarakat bisa menyebut kiai karena ada beberapa faktor. Pertama karena silsilah intelektualitas keluarga (generatica intellectual), kedua faktor kedalaman ilmu (deep knowledge) ketiga adalah ketinggian moral (high morality) bagian ini adalah para kiai yang memiliki kearifan, keikhlasan, kejujuran, ketawadhuan dan kesabaran yang tinggi, mereka kebanyakan memiliki Ilmu Tasawuf Akhlaki yang kemudian masyarakat memberikan penghormatan terhadap kiai tersebut
Keempat adalah faktor maunah (spiritual power) dari Allah atau semacam karomah yang diberikan para wali. Bagian ini banyak kita temui beberapa kiai yang dianggap mendapatkan ilmu laduni. Sebuah ilmu yang diberikan dari Allah swt melalui jalur khusus (tanpa belajar) dan mereka memiliki kemampuan ilmu pengobatan (super natural) yang bisa mengobati orang sakit baik fisik atau psikis. (Huda 2020)
Kiai Hikmah dalam Kultur Masyarakat
Kiai ahli dalam bidang ilmu hikmah dapat dikategorikan pada macam kiai keempat, mereka memiliki amaliyah yang di istiqomahkan seperti riyadhah tertentu dengan membaca wirid-wirid, hizib atau lainya. Hingga ia mempunyai keistimewaan seperti kharisma dan keahlian yang muncul karena ibadah kepada Allah. Di lain definisi, model kiai seperti ini biasanya disebut dengan kiai khos, artinya seorang kiai yang memiliki keistimewaan. (Jalil 2016)
Dari riyadhoh tersebut ia bisa membantu menyembuhkan masyarakat yang membutuhkan dan membantu mewujudkan kehendak mereka dengan mengijazahi amalan-amalan. Hal ini yang sering kita temui di beberapa pesantren salaf dan dapat kita temui juga pada tarekat-tarekat. Memposisikan kiai sebagai sumber keberkahan di kalangan masyarakat. Barokah sendiri memiliki arti bertambahnya kebaikan atau meminjam istilahnya Clifford Geertz berarti anugerah yang dikaitkan dengan keberuntungan dan kemakmuran yang disandarkan kepada para kiai pewaris kenabian. (Huda 2020)
Keahlian spiritual yang dihasilkan dari riyadhoh tersebut menjadi ciri khas seorang kiai sehingga memiliki penguasaan kiai atas berkah yang membuatnya bisa menguasai dunia magic. Dalam hal ini praktiknya seorang kiai bisa membantu menyembuhkan masyarakat yang sakit dengan memberikan air doa yang dipercaya dapat menyembuhkan penyakit yang didera.
Apabila dilihat secara sosiologis kiai tradisional ini lebih dipandang dibandingkan kiai-kiai lainya. Secara kharisma lebih menarik hati masyarakat karena melihatnya dengan penuh keluwesan, kejujuran, ketawadhuan dan doa-doanya diyakini lebih didengar oleh Allah swt (Sabdo Pandito/Manjur).
Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Max Weber bahwa kiai sebagai domination-legal, tradition and charismatic, legal authority. Seorang kiai bisa dipercaya karena memiliki otoritas dalam memutuskan aturan terutama dalam fatwa keseharian dan hukum fiqih. Ketradisionalannya melekat dalam diri kiai karena sikap, kejujuran, ketawadhuan dan keteladanannya. Sehingga terlihat kharismatik dan memikat pandangan masyarakat.(Gusmian 2018)
Kiai tradisional yang memiliki keahlian mistis tersebut, terkadang masyarakat menyebutnya dengan Kiai Ndukun, karena keahlianya. Dukun sebenarnya bukan sebutan untuk hal negatif, karena dukun dalam budaya orang Jawa adalah orang yang memiliki keahlian tertentu.
Meminjam kajiannya Clifford Geertz, ada beberapa dukun yang berkembang di masyarakat Jawa misalnya dukun bayi seorang yang membantu persalinan, dukun sunat adalah seorang yang memiliki keahlian mengkhitan anak laki-laki, dukun temanten atau seorang yang ahli dalam upacara perkawinan, dukun pijat atau orang yang pintar memijat. Jadi istilah dukun memang sering digunakan di masyarakat Jawa untuk menyebut keahlian seseorang. Begitupun seorang kiai yang memiliki keahlian dibidang mistis atau magic ia kerap dipanggil kiai dukun. (Clifford Geertz 1960).
Namun apabila mekanisme mistis ini dilihat secara keagamaan, maka akan ada kesulitan untuk membedakan ilmu magic yang keluar dari keistiqomahan seorang kiai sama seorang dukun murni yang memiliki keajaiban dengan bantuan Jin. Untuk lebih memudahkan kita harus memakai kajian yang diolah oleh Clifford Geertz yang meneliti spiritualitas Jawa pada tahun 1960-an. (Clifford Geertz 1960) Ia menyebutkan istilah dukun dapat kita lihat dari dua tipologi antara abangan dan santri karena dunia dukun bisa melintara keduanya dan yang bercampur dengan salah-satunya.
Dukun yang secara umum dalam praktiknya menggunakan kembang dan kemenyan lebih cenderung masuk dalam klasifikasi dukun abadangan. Sementara, dukun yang menggunakan mekanisme keagamaan seperti mengutip doa-doa dari Al-Quran dan disertai kembang dan kemenyan cenderung digolongkan sebagai dukun santri.
Dukun santri dan priyayi lebih menekankan berpuasa bertahun-tahun, khalwat dan meditasi di tempat yang sepi untuk beribadah secara khusyuk dan melakukan dzikir, wirid. Ia memiliki keyakinan segala sesuatu itu adalah kekuasaan Allah swt, dalam praktiknya ia menggunakan wirid yang dilanggengkan dan menggunakan potongan-potongan ayat yang ditafsirkan secara mistis kemudian bisa ditulis atau dibacakan pada air putih (suwuk).
Dukun santri lebih cenderung meyakini bahwa sejatinya yang menyembuh dan yang mewujudkan adalah Allah swt dan media atau alat untuk menuju hal tersebut adalah doa-doa wirid yang disarikan dari Al-Quran. Pemahaman ini diyakini sebagai ilmu pengetahuan yang didasarkan dalam Al-Quran. Sementara dukun abangan cenderung kearah spesifik menggunakan mantra-mantra, jimat, tumbuh-tumbuhan, ramuan, obat dan semacamnya.
Spesifikasi ini hanya memisahkan latar belakang dan prosesnya dalam menangani masalah-masalah sosial di masyarakat. Secara tidak langsung dukun santri dan abangan menjadi rival namun dalam praktiknya terkadang keduanya saling menukar teknik pengobatannya. Akhirnya kebenaran soal ilmu ini didasarkan kepada keyakinan sang pelaku, apabila ia muslim bisa dipastikan praktik dukun ini hanya sebagai media untuk dimudahkan oleh Allah swt. dengan berkembangnya zaman unsur keagamaan dan lokal saling melengkapi dan saling berasimilasi dan berakulturasi sehingga membentuk entitas baru. Misalnya sebutan orang pintar, kiai ahli ilmu hikmah dan kiai tabib. Wallahhu a’lam.