Setiap ideologi akan terus hidup selama ada orang yang rajin merawatnya, meskipun ideology itu akan usang dengan berkembangnya zaman namun tetap saja menjadi ide yang luar biasa. Berangkat dari sebuah buku yang ditulis oleh dua insan cendekiawan yang mumpuni dalam bidangnya masing-masing berhasil meramu karya yang enak untuk dinikmati. Ulil Abshar Abdalla dan Haidar Bagir bukanlah insan yang sama prihal ideologi namun memiliki kesamaan dalam hal keluar dari “kepongahan”, entah itu soal agama atau sains.
Dalam buku Sains Religius, Agama Saintifik ini keduanya mencoba mengajak kita untuk mendialogkan antara sains dan agama yang kerap dibenturkan satu sama lain. Saya sangat senang sekali buku ini hadir ditengah dunia mengalami kelumpuhan oleh virus covid-19. Oleh karena itu pandangan para saintis dan agamawan harus bijak dalam menyikapi tantangan covid ini. Meskipun dialogisasi antara sains dan agama ini berhasil namun masih saja ada kelompok yang menyikapi covid ini dengan sudut pandang agama saja, ataupun sebaliknya.
Bab pertama dalam buku ini Pak Haidar Bagir mengapresiasi kinerja sains yang selalu membuktikan kebenaran melalui data empiris dan pragmatis. Namun dengan berkembangnya pengetahuan yang dibuktikan kebenaranya oleh saintis justru membuat mereka pongah. Sedetail apapun data dan pembuktian sains akan tetapi alam manusia lebih luas dibanding alam empiris. Menurutnya tidak cukup menjelaskan kebenaran hanya sampai alam epmiris namun perlu juga pengetahuan di luar alam tersebut.
Ada kesamaan dengam tulisan Mas Ulil di bagian akhir tentang pemikiran Dawkins seorang biolog yang menolak agama. Bebrapa buku Dawkins terbebas dari referensi filsafat agama, ada baiknya meskipun ia menolak agama namun membaca dimensi filsafat agama kemudian membongkar kesalahanya melalui forum itu. di bab ini Pak Haidar Bagir mengungkapkan repotnya untuk membentengi faham yang terlalu pongah dengan sains sehingga menganggap orang yang beragama itu belum dewasa karena memikirkan bentuk tuhan yang tidak dapat dibuktikan dengan nilai empiris.
Disisi lain kita juga berada ditengah lingkungan para agamawan yang menang sendiri dan mengkafir sesatkan penganut sains dan filsafat. Oleh karena itu para cendekiawan sangat menyesalkan apabila pada sains mengalami eksrtimis, meskipun ekstrimis agama sudah lumrah. hlm (32-35)
Sekarang atau dulu, menurut Mas Ulil kebanyakan orang beragama tidak ramah kritik misalnya terjadi kasus perbedaan antar madzhab atau sekte, di sana orang yang berbeda akan dikafirkan, diadili bahkan dihukumi halal darahnya. Jelas sekali ini adalah prilaku sebagaian penganut agama yang sangat seksi untuk bahan ejekan dari pemuja sains. Karena seorang saintis akan sangat gembira apabila penemuan mereka mendapatkan kritik dan koreksi dari sesama koleganya, dan mereka akan mengakui salah manakala ada pembuktian yang memang menunjukan kesalahanya. hlm (111)
Mas Ulil menjelaskan alasan perbedaan dalam sains tidak menimbulkan konflik dan perang karena sains sama sekali tidak menyentuh ranah yang membuat manusia emosi. Sains hanyalah kegiatan serebral yang tidak dapat membangkitkan emosi. Berbeda dengan agama yang menyangkut soal ideologi dan kenyakinan. Pernah dalan suatu kesempatan para saintis ingin menghapuskan agama dari muka bumi karena sumber dari konflik beberapa pembuktian ini bisa digambarkan dengan konflik Syia’ah Sunni di Timur Tengah dan Islam Kristen yang berkembang di dunia Barat.
Namun disisi lain saintis juga harus menghapuskan ideologi-ideologi kemasyarakatan yang lain misalnya nasionalisme, komunisme, sekuler dan sosialisme karena golongan ini juga dapat menimbulkan konflik yang besar. Pada dasarnya konflik adalah fakta dalam kehidupan manusia hal ini dapat dihindari dengan ilmu dan kepiawaian setiap golongan oleh karena itu ada disiplin ilmu tentang resolusi konflik. hlm (115)
Pada tema selanjutnya Ulil Absar Abdalla melebarkan pembahasan soal agama yang tidak ramah kritik dan diakhir tulisanya sempat menjelaskan kepongahan para saintis. Dalam kesempatan ini Mas Ulil menggunakan aliran Quthbisme sebagai alat narasi untuk menjelaskan beberapa fakta ketidak ramahan (sebagian aliran) agama terhadap kritik. Sebagian dari kita mungkin sudah menganal aliran Qutbisme, mereka adalah golongan penganut Sayyid Qutb ideolog Ikhwanul Muslimin di Mesir.
Kemudian ideologi dari aliran ini terlarang karena menghasut masyarakat untuk melawan negara karena dianggap thagut dan kafir. Mirip seperti kelompok Hizbut Tahrir yang ada di Indonesia. Ada beberapa poin yang dapat disimpulkan salah satunya adalah kepongahan yang muncul dari aliran tersebut, merasa membawa kebenaran mutlak sehingga merasa paling saleh sendiri dan selain dari mereka adalah berada di lorongan kesalah,sesat dan halal darahnya. hlm (117)
Ada kesamaan antara kelompok Qutbhisme dan pendukung saintis modern kemiripan tersebut adalah kepongahan. Istilah Saintisme disini adalah para pendukung sains modern artinya sains ilmu-ilmu kealaman yang menjadi pijakan orang-orang sebagai pengetahuan yang sempurna. Berawal dari pandangan sains ini dapat menimbulkan pongah dan rasa paling sempurna sehingga banyak yang menganggap sains modern adalah ilmu yang paling sukses menjelaskan kehidupan. Jelas pandangan ini agak mirip dengan aliran Quthbisme yang selalu merasa berada di ketinggian dalam mengatasi permasalahan manusia. hlm (199)
Dalam bab ini Mas Ulil menceritakan pengalaman pribadinya mulai di umur 19 tahun sudah ngefans dengan pemikiran Sayyid Qutb melalui karyanya yang elegan dan nyaman dibaca yaitu Mua’alim fi al-Thariq, ia merasa mabuk agama dan mengganggap selain mereka adalah jahiliyyah. Selang beberapa tahun ia kembali ke jalan pemikiran Islam yang progresif melalui Gus Dur dan Cak Nur namun selanjutnya ia berkenalan dengan karya-karya literatur di bidang sains seperti bukunya Richard Dawkins, Stephen Hawking dkk.
Buku ini sangat menginspirasi sekali terutama bagi mahasiswa, santri dan pelajar islam yang progresif tentunya. Pertama karena Haidar Bagir dan Ulil Abshar Abdalla adalah orang yang telah mengarungi pengalaman perdebatan sains dan agama. Meskipun kedua penulis ini memiliki fokus yang berbeda misal Haidar Bagir lebih ke Islam Cinta dan Tasawuf Falsafi dan Ulil Abshar Abdalla mendalami pemikiran Al-Ghazali dan Islam Tradisional, tetapi gagasan mereka dapat bertemu dalam buku ini.
Kedua penulis pandai mengajak pembaca untuk eksplor pemikiran-pemikiran para tokoh yang bersangkutan beserta karya-karyanya yang fenomenal. Namun sayangnya buku ini dicetak dengan halaman yang terbatas sehingga terlihat sangat tipis.
Penulis: Haidar Bagir dan Ulil Abshar Abdalla
Penerbit: Mizan Pustaka
Tebal :181 halaman