Sedang Membaca
4 Pemikiran Kiai Afifuddin Muhajir Soal Tata Negara dalam Islam
Abdullah Faiz
Penulis Kolom

Alumni Pondok Pesantren Salaf Apik Kaliwungu dan sekarang Kuliah di UIN Semarang.

4 Pemikiran Kiai Afifuddin Muhajir Soal Tata Negara dalam Islam

4 Pemikiran Kiai Afifuddin Muhajir Soal Tata Negara dalam Islam

“Saya akan sebutkan beberapa kiai maqoshidiyyun di pengurus harian MUI, pertama adalah Kiai Afifuddin Muhajir, seorang kiai alim dari Situbondo” Kata Gus Ulil Abshar Abdalla melalui kicauanya di Twitter.

Kiai Afifuddin Muhajir merupakan ulama yang sangat alim dalam segala bidang khususnya persoalan ushul fiqih. sepintas dari ungkapan di atas Gus Ulil mengkategorikan Kiai Afif sebagai maqoshidiyyun, artinya beliau adalah salah satu dari ulama yang menilai sesuatu secara substansialis dalam berfikir dengan kerangka teori maqoshid syari’ah atau lebih akrab disebut dengan ulama progresif.

Kenyataan ini sejalan dengan apresiasi Kiai Said Aqil Siroj. Beliau pernah mengatakan bahwa Kiai Afif merupakan kiai yang sangat alim ia mampu menyelesaikan studi perbandingan ushul fikih (Muqoronah usul fikih) hal ini merupakan anugrah yang luar biasa, soalnya di era sekarang jarang sekali bahkan cenderung sedikit ulama yang fokus menggeluti bidang usul fikih.

Dalam bukunya yang bejudul “Fiqh Tata Negara” Kiai Afif mencoba menerjemahkan ulang pemerintahan ideal dalam ketatanegaraan Islam. Pada dasarnya Islam sama sekali tidak menyebutkan corak pemerintahan yang detail (Tafsili). Melainkan hanya menjelaskan secara universal saja (Ijmali) misalnya Al-Quran hanya menyebutkan prinsip adil (Adalah), musyawarah (Syuro) dan sejahtera, namun tidak menerangkan sistem bagaimana yang harus diterapkan.

Pertama: Dialogisasi Agama dan Negara

Hubungan agama dan negara secara garis besar (dalil kulli) menyiratkan pesan penting tentang kelenturan Islam dalam mengapresiasi perkembangan masyarakat pada umumnya yang terus bergeser sepanjang sejarah. Oleh karena itu penggunaan nalar manusia menjadi sangat sentral dalam menerjemahkan teks-teks normatif dengan realitas kondisi masyarakat yang cenderung mengalami perubahan.

Baca juga:  KH. Agus Sunyoto, Sang Begawan Sejarah NU Berpulang

Kenyataan seperti ini menunjukan diskursus mengenai relasi agama dan negara menjadi sangat kaya dan akan lebih menarik diperbincangkan oleh banyak kalangan. Pergeseran budaya, tempat dan waktu menjadi rukun penting dalam skema pembahasan sistem ketatanegaraan.

Terlebih pada era sekarang ini ilmu ketatanegaraan Islam perlu ada penyesuaian kembali. Mengingat Al-Quran hanya menerangkan sistem negara dengan garis besarnya saja (dalil kulli) maka penalaran kita menjadi sesuatu yang sangat penting untuk menyaring kandunganya menjadi ramuan yang dapat disesuaikan dengan masyarakat sekarang.

Problemnya adalah menghubungkan agama dan negara yang dapat menghadirkan nilai-nilai keadilan, kemakmuran, kesejahteraan dan yang terakhir sesuai dengan tujuan utama diturunkanya agama yakni menebar kemaslahatan untuk penduduk bumi dan mencegah segala kerusakan. Tujuan akhir ini kerap kali kita kaitkan dengan yurispudensi Islam yang disebut Maqoshidu Syari’ah. Patut kita ketahui bahwa urusan politik dalam Islam masuk katogori fiqih muamalah atau persoalan hukum sosial.

Kedua: Kebijakan Negara Harus Memihak Kemaslahatan Rakyat

Meskipun secara garis besar Islam tidak menyebutkan secara detail sistem kenegaraan yang ideal namun secara tidak langsung mengusung nilai-nilai demokratis. Misalnya pemikiran Kiai Afif tentang kemaslahatan rakyat harus menjadi acuan kebijakan negara. Artinya pemerintah harus lebih serius dalam membuat kebijakan, idealnya bergantung dengan implementasi terhadap rakyat. Apabila pemangku jabatan sudah sesuai dengan kaidah ini maka sudah dianggap benar oleh syariat.

Pemikiran ini tentunya bermuara pada sebuah kaidah yang sangat populer di kalangan umat Islam. Dalam perkembanganya Kiai Afif memadukan pendapat Al-Mawardi soal pemimpin tidak boleh mengangkat imam sholat yang fasiq dengan kasus yang relevan sekarang ini. misalnya pemimpin atau presiden tidak boleh mengangkat mentri, staf, hakim dan pejabat lainya  yang diketahui selalu berbuat fasiq.

Baca juga:  Ulama Banjar (7): Habib Hamid bin Abbas Bahasyim

Tidak kalah penting dengan kasus diatas, dalam penetapan kebijakan harus mempertimbangkan rakyatnya misalnya kebijakan pemberian subsidi buat rakyat miskin. Kita tahu bahwa hak asasi paling tinggi adalah hak untuk hidup, oleh karena itu kiranya penting bagi negara untuk hadir dalam mensejahterakan rakyatnya melalui kebijakanya.

Ketiga: Pancasila Bukan Syari’ah Namun Silanya Bernilai Syari’ah

Pada masa pemerintahan Al-Khulafa’ Al-Rasyidin Islam sangat menjunjung tinggi Syuro atau permusyawaratan, artinya sejak dahulu keempat khalifah menerapkan konsep demokrasi. Namun semuanya terabaikan setelah para pemimpin Islam membentuk dinasti dan mamlakah (kerajaan). Pasca jatuhnya kerajaan Islam terakhir di Turki. Para ulama dan ahli mulai merumuskan kembali sistem tatanegara dalam Islam. Dinamika seperti ini menuntut para negarawan yang berada di negara yang mayoritas Islam kembali menyuarakan semangat perubahan.

Misalnya di Indonesia, setelah sekian lama dijajah oleh negara asing pada akhirnya bisa merumuskan sistem pemerintahan yang ideal untuk masyarakat yang plural. Dalam bukunya Kiai Afif menyebutkan bahwa Pancasila adalah dasar negara yang moderat. Meskipun banyak yang menentang Pancasila dengan alibi non-islami atau tidak syar’i. Beliau berargumen bahwa Pancasila memang bukan syari’at akan tetapi sila demi sila didalamnya tidak bertentangan dengan syari’at.

Penyusunan pancasila adalah sebaik-baiknya racikan dari ide dan pemikiran yang menjunjung demokrasi dan memberikan solusi untuk rakyat yang majemuk. Hal ini sejalan dengan konsep garis besar pemerintahan dalam Islam. Tentunya ramuan pancasila ini sangat kreatif mengambil jalan tengah dari dua pilihan ekstime yaitu sistem sekuler dan negara agama.

Baca juga:  Jejak Nuruddin Ar-Raniri dalam Kitab Tarīqat al-'Ilm

Keempat: Islam dan Sistem Demokrasi

Pasca Nabi saw wafat para sahabat merumuskan siapa yang akan menjadi pemimpin umat Islam masa itu. Sebagian sahabat dari kaum ansor mengajukan beberapa nama delegasinya begitupun dari pihak kaum muhajirin. Pengangkatan Abu Bakar melewati proses panjang permusyawarahan yang pelik. Kemudian pada era Umar pun demikian, sebelum Abu Bakar wafat beliau sempat menyebutkan beberapa nama untuk menggantikan posisinya.

Sepintas praktik pengangkatan pemimpin masa pembesar sahabat terkesan sangat demokratis karena didahului dengan pencalonan dan dilanjutkan dengan pemilihan. Kenyataan ini tentunya sangat jauh dari prinsip politik dinasti. Disamping itu para ulama kontemporer mengatakan prosesi pengangkatan era khulafa’ rosyidin sangat dinamis, karena secara praktis para calon sebelum dikenalkan kepada umat terlebih dahulu dimatangkan oleh sahabat-sahabat tertentu atau ahlul halli wal aqdi yakni para ulama, ahli, dan tokoh masyarakat. Apabila pristiwa istikhlaf atau penunjukan Abu Bakar dinilai sebagai pengangkatan maka akan menyalahi konsep syuro yang telah ditetapkan dalam Al-Quran.

Meskipun Islam secara umum tidak menentukan sistem pemerintahan demokrasi. Namun secara tidak langsung nilai-nilai demokrasi mencerminkan prinsip Islam. Pada intinya yang paling penting adalah negara dan pemerintahan didirikan dengan nafas ketuhanan. Sebab kehadiran negara dalam pandangan Islam bukanlah tujuan atau ghoyah melainkan sarana untuk mencapai tujuan atau akrab disebut dengan washilah. Posisi negara menjadi instumen untuk suksesi mengamalkan syariat secara perinci, maka dapat diterima oleh akal apabila teks wahyu disampaikan secara tersurat.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top