Pada Muktamar ke-34 NU yang diselenggarakan pada tanggal 22-24 Desember 2021 di Lampung, KH. Yahya Cholil Staquf atau lebih akrab dikenal Gus Yahya terpilih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggantikan KH. Said Aqil Siraj yang telah menjabat selama dua periode (2010-2021) sebagai Ketua Umum PBNU.
Sebagaimana diketahui bahwa Gus Yahya dalam kampanyenya sebagai calon Ketua Umum, mengusung jargon “Menghidupkan Gus Dur”. Dan jargon ini berhasil menjadi salah satu faktor yang mengantarkan Gus Yahya terpilih menjadi Ketua Umum PBNU periode 2022-2027. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mampukah Gus Yahya “Menghidupkan Gus Dur” dalam NU khususnya dan Negara pada umumnya?
Memahami Pemikiran Gus Dur
Sosok seorang Gus Dur tidak hanya dikagumi dan diidolakan oleh warga Nahdliyyin semata, melainkan juga masyarakat Indonesia secara luas. Hal ini dikarenakan Gus Dur merupakan sosok yang sangat menginspirasi dan berjasa dengan pemikiran-pemikiran yang amat luar biasa. M Syafi’I Anwar dalam pengantar buku Islamku Islam Anda dan Islam Kita mengelompokkan pemikiran Gus Dur dalam paradigma pemikiran politik Islam yang subtantif-inklusif. Dimana paradigma ini setidaknya memiliki beberapa ciri-ciri sebagai berikut.
Pertama, adanya kepercayaan yang tinggi bahwa al-Qur’an sebagai kitab suci berisikan aspek-aspek etik dan pedoman moral untuk kehidupan manusia, tetapi tidak menyediakan detail-detail pembahasan terhadap obyek permasalahan kehidupan terutama pada persoalan sistem dan kenegaraan.
Kedua, meyakini bahwa missi utama Nabi Muhammad bukanlah untuk membangun kerajaan atau negara melainkan mendakwahkan nilai-nilai Islam dan kebajikan. Ketiga, Syari’at tidak dibatasi atau terikat oleh negara. Dan syari’at tidak berkaitan dengan pemerintahan atau sistem politik. Keempat, refleksi para pendukung paradigma-inklusif dalam bidang politik pada dasarnya adalah melakukan upaya yang signifikan terhadap pemikiran dan orientasi politik yang menekankan manifestasi substansial dari nilai-nilai Islam dalam aktivitas politik.
Hal itulah yang menyebabkan Gus Dur secara tegas menolak ide atau gagasan pendirian negara Islam, formalisasi Islam dan syari’atisasi Islam di Indonesia. Bagi Gus Dur tidak penting negara menganut sistem apa, asalkan keadilan, kesejahteraan dan kedamaian dapat tercipta maka itu telah sesuai dengan ajaran Islam. Dan sebaliknya, meski suatu negara menerapkan sistem/aturan Islam (negara Islam), namun apabila membiarkan dan melanggengkan peperangan, ketidakadilan dan kemiskinan, maka hal ini telah menyalahi ajaran Islam.
Pemikiran Gus Dur yang bersifat subtantif-inklusif juga terefleksikan dari berbagai karya tulisnya, misalnya dalam buku Tuhan Tidak Perlu Dibela, Islamku, Islam Anda dan Islam Kita, serta lain sebagainya. Gus Dur melihat banyak individu/kelompok yang lebih memperjuangkan hal-hal yang bersifat tidak subtantif dari ajaran Islam.
Misalnya, melakukan Islamisasi dengan cara-cara kekerasan dan pemaksaaan, pembelaan terhadap Tuhan dengan cara-cara yang dilarang oleh Tuhan itu sendiri. Padahal banyak manusia yang lebih membutuhkan pembelaan dan uluran tangan atas maraknya ketidakadilan, penindasan, diskriminasi, kelaparan dll. Al-Hujwiri mengatakan “Bila engkau menganggap Allah itu ada hanya karena engkau yang merumuskannya, hakikatnya engkau sudah menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau Dia menyulitkan kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya”.
Selain itu, dapat juga dilihat pada sikap Gus Dur dalam konflik Israel-Palestina. Dimana Gus Dur bergabung sekaligus pendiri dari Yayasan Shimon Peres (Sebuah Yayasan yang dibentuk di Tel Aviv, Israel yang bertujuan untuk menciptakan perdamaian dunia). Kemudian Gus Dur juga beberapa kali datang ke Israel. Selanjutnya Gus Dur juga setuju adanya hubungan interaktif antara Indonesia dan Israel. Namun tidak dalam bentuk hubungan diplomatik antara kedua negara, melainkan dalam bentuk hubungan dagang, militer dan lain sebagainya (M Ibrahim Hamdani, 2013).
Dalam konflik Israel-Palestina, Gus Dur menginginkan perdamaian yang mengedepankan win-win solution. Logika sederhana, ketika ingin mendamaikan dua pihak yang bertikai, maka langkah paling nyata yang harus dilakukan adalah dengan tidak memihak kepada salah satu pihak. Inilah kemungkinan yang dilakukan oleh Gus Dur, sehingga Gus Dur berusaha membangun komunikasi dan hubungan baik dengan Israel untuk kepentingan perdamaian.
Tantangan Dalam “Menghidupkan Gus Dur”
Banyak tokoh dan cendikiawan mengatakan bahwa pemikiran Gus Dur lebih maju dari zamannya, sehingga banyak orang tidak memahami maksud dan tujuan dari pemikiran-pemikiran Gus Dur. Hal ini nampaknya masih terjadi hingga saat ini. Meskipun zaman telah semakin maju, namun nampaknya masih banyak orang yang cenderung berpikiran klasik dengan cara pandang fanatik, kaku dan ekslusif.
Dalam konteks NU, tidak sedikit yang tidak setuju dengan ide dan gagasan Gus Dur, bahkan ada juga yang sampai menentangnya. Misalnya, ketika Gus Dur mencabut TAP MPR No 25 Tahun 1966 tentang pelarangan PKI, pembelaan Gus Dur terhadap Inul Daratista dan Ulil Abshar Abdalla, pembelaan Gus Dur terhadap warga Tionghoa dan lain sebagainya. Kesemua ini mendapatkan kritik dan penentangan dari berbagai kalangan termasuk dari kalangan tokoh dan warga NU itu sendiri.
Belum lagi terhadap keinginan dan sikap Gus Dur untuk membangun hubungan interaktif dengan Israel, datang memenuhi undangan Perdana Menteri Israel, dan bergabung dalam Yayasan Shimon Peres. Hal ini semakin mengobarkan api kebencian dan penolakan berbagai kalangan terhadap Gus Dur. Pada tahun 2018 lalu, Gus Yahya sempat mengikuti jejak Gus Dur datang ke Israel sebagai pembicara dalam forum American Jewish Committee (AJC), atas kedatangannya ke Israel itu, Gus Yahya dibanjiri kritik dan cacian dari berbagai kalangan termasuk dari warga Nahdliyyin.
Hal ini memperlihatkan bahwa pemikiran-pemikiran Gus Dur tidak sepenuhnya diterima atau mungkin belum dimengerti oleh warga Nahdliyyin khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Dengan demikian “Menghidupkan Gus Dur” dalam NU dan Negara bukan perkara yang mudah dan terbebas dari tantangan. Namun meski demikian, kita berharap Gus Yahya mampu mewujudkan jargon yang diusungnya itu.