Sedang Membaca
Potret Perjuangan Ulama (6): Kisah Para Imam “Menghabiskan” Hartanya

Lahir di Birmingham, 31 Maret 2000. Sekarang sedang menempuh pendidikan Bahasa Arab dan Terjemah di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.

Potret Perjuangan Ulama (6): Kisah Para Imam “Menghabiskan” Hartanya

1 A Aliepp

Syekh Abdul Fatah Abu Ghuddah memaparkan dalam kitabnya Shofahat Min Shobril ‘Ulama tentang perjuangan para ulama dalam menghabiskan hartanya. Ia berkata bahwa bisa saja harta adalah cobaan terberat bagi para ulama dalam menuntut ilmu. Karena kita tahu sendiri, setiap orang pasti terpaut erat dengan harta, dan ini adalah fitrah bagi manusia, bahkan sampai dikatakan bahwa al-malu saqiqur ruh (المال شقيق الروح), “harta itu saudara kandungnya jiwa”.

Perihal ini pun termaktub dalam Al-Qur’an , dalam surah al-‘Adiyat ayat 8: “و إنه لحب الخير لشديد”

“Dan sesungguhnya dia sangat mencintai harta.”

Karenanya bagi siapa saja yang bisa mengendalikan dan menyalurkan hartanya dengan tepat, maka dipercaya juga bisa mengendalikan dirinya dan hawa nafsunya.

Di dalam kitab “Tahzibul Kamal” tertera kisah Hisyam bin ‘Ammar as-Sulami ad-Dimasyqi, seorang muhaddits Damaskus. Pada suatu waktu, ayahnya memutuskan untuk menjual rumahnya seharga 20 dinar untuk membiayai Hisyam bin ‘Ammar pergi haji sekaligus berguru kepada Imam Malik.

Singkat cerita, ia berangkat ke Mekkah dan datang ke rumah Imam malik. Saat itu Imam Malik sedang duduk bak seorang raja di atas singgasananya, para anak kecil berdiri mengelilinginya dan yang dewasa antri untuk bisa bertanya kepada Imam Malik, dan Hisyam bin ‘Ammar mendapat antrian paling terakhir.

Baca juga:  Rami Malek, Mesir, dan Umm Kultsum

Setelah tiba gilirannya, ia bersemangat karena telah menyiapkan beberapa pertanyaan, “Wahai Imam Malik, apa pendapatmu terkait masalah ini dan itu?”

Imam Malik menganggap itu adalah pertanyaan anak kecil. Yang ia lakukan bukannya menjawab, melainkan membawanya layaknya murid-murid kecil lainnya dan memukul ringan Hisyam dengan tongkat sebanyak 17 kali. Hisyam pun mulai menangis, Imam Malik terkejut dan bertanya, “Apakah pukulan ringan seperti ini membuatmu menangis?”

Hisyam menggelengkan kepalanya dan bercerita sembari menangis, “Sesungguhnya ayahku telah menjual rumahnya, padahal ia tahu bahwa itu satu-satunya harta yang ia miliki. Tujuannya tidak lain untuk membiyaiku bertemu dan mengambil ilmu darimu. Tapi sekarang yang kudapat hanya pukulan darimu.”

Mendengar hal itu, Imam Malik langsung membacakan 17 hadis dan menyuruhnya untuk mencatat hadis tersebut. Kemudian ia juga menjawab seluruh pertanyaan yang Hisyam tanyakan kepadanya. Setelah selesai, Hisyam berkata, “Pukullah aku kembali agar aku bisa menerima kebih banyak hadits.”

Imam Malik pun tersenyum kecil dan menyuruhnya pergi.

Kisah lainnya, di dalam kitab “Siyar a’lamin Nubala” seorang ulama Mesir bernama Abu Abdullah Abdurrahman bin Qosim al-‘Utaqi pernah berkata, “Aku telah pergi keluar untuk melakukan rihlah ke Hijaz lebih dari dua belas kali, dan pada setiap rihlahnya, aku menginfakkan seribu dinar.”

Baca juga:  Ahmad Tohari dan Wasilah Semut

Selajutnya, Syekh Ali bin Ashim yang mendapatkan gelar Musnidul ‘iraq pernah mengisahkan bahwa ia diberi uang oleh ayahnya sebesar seratus ribu dirham. Ia dilarang datang dan menampakkan wajahnya kecuali telah hafal seratus ribu hadits. Yahya bin Ja’far menambahkan, bahwa Ali bin Ashim berhasil mengumpulkan tiga puluh ribu hadis kemudian wafat.

Dalam menginfakkan hartanya, para ulama tidak pernah perhitungan, bahkan mereka sampai lupa dengan dirinya sendiri, seperti yang dilakukan oleh al-Jauzaqi dalam kitab “Tadzkiratul Huffadz”. Ia berkata, “Aku telah menyumbangkan hartaku untuk keperluan hadis sebanyak seratus ribu dirham, dan aku tidak mengambil keuntungan sepeser pun, walaupun satu dirham.”

Kisah senada juga dialami oleh Abu Ja’far al-Madini Muhammad bin Mahdi bin Rustum yang tertuang dalam kitab “Dzikru Akhbar Asbahan”. Diceritakan bahwa sejak 40 tahun, tak ada orang yang lebih kuat perkataannya dibanding Ibnu Rustum, ia terkenal memiliki banyak harta tapi tidak pernah menikmatinya walaupun hanya sedikit, bahkan dikatakan, selama 40 tahun ia tidak memiliki kasur. Dia mengisi siang dan malamnya dengan salat dan belajar. Harta yang dia miliki tidak digunakan kecuali diinfakkan demi kepentingan ilmu dan umat. Konon, hartanya jika dihitung-hitung, totalnya adalah tiga ratus ribu dirham. Milyunier beliau, tidak sembarangan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top