Sedang Membaca
Potret Perjuangan Ulama (1): Rihlah dan Lelah

Lahir di Birmingham, 31 Maret 2000. Sekarang sedang menempuh pendidikan Bahasa Arab dan Terjemah di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.

Potret Perjuangan Ulama (1): Rihlah dan Lelah

1 A Alif

Menurut bahasa, rihlah diartikan dengan pergi atau berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dengan sebuah niat dan tujuan. Rihlah –yang sudah menjadi bahasa Indonesia– telah menjadi “مقصد أساسي” atau salah satu metode utama para ulama dalam menuntut ilmu.

Hal ini sudah tertanam dalam diri para ulama terdahulu, karenanya, hampir jarang ditemukan ulama terdahulu yang melewatkan rihlah dalam proses menuntut ilmu kecuali terhalang lemahnya fisik, banyaknya penyakit, ataupun tanggungan-tanggungan atau uzur lain.

Tradisi untuk selalu bergerak, berkelana, mengembara, menjadi musafir demi ilmu adalah tradisi kuno. Mari kita langsung merujuk pada manusia pertama, yakni Nabi Adam AS. Ia diperintahkan untuk pergi dan memberikan salam kepada para malaikat kemudian menyimak jawaban mereka. Kisah Adam adalah isyarat bahwa usaha dan selalu bergerak dalam mencari ilmu adalah kewajiba, sekaligus juga menjadikan Nabi Adam AS sebagai orang pertama yang berusaha dalam menggali ilmu.

Bagi para ulama terdahulu, melakukan rihlah sudah seperti ritual wajib dalam menuntut ilmu. Tak ada pengecualian, setiap ulama dalam bidangnya melakukan rihlah dalam ranahnya masing-masing, mufasir, muhadits, fukaha, ahli bahasa, sejarawan, orang tua ataupun yang masih muda sekalipun berlomba-lomba untuk melakukan rihlah ilmiahnya masing-masing.

Rasa penasaran dan ingin tahu mereka mengalahkan jarak ratusan bahkan ribuan kilometer, karenanya kita sering menemukan pernyataan :

“طفت الشرق و الغرب مرات”

“Berkali-kali telah kujelajahi timur dan barat”

“ممن طوف البلدان و الآفاق، و دوخ الدنيا”

“Dia yang telah menjelajahi berbagai sudut negeri dan penjuru ufuk, dan telah menundukkan dunia.”

Baca juga:  Syekh Abdul Qadir al-Jailani Terlambat Menikah. Mau meniru?

ungkapan Arab klasik di atas menunjukkan totalitas mereka dalam mengejar ilmu.

Tidak hanya itu, totalitas merek dalam menjalani rihlah juga tidak main-main. Tak sedikit dari mereka yang melakukan rihlah di atas kedua kakinya sendiri, tanpa tunggangan maupun kawan. Sebut saja Imam Abu Hatim ar-Razi.

Ar-Razi bercerita, rihlah hadis pertamanya menghabiskan tujuh tahun itu ia lakukan dengan berjalan kaki.

“Kalau dihitung-hitung, aku telah berjalan di atas kedua kakiku untuk mencari hadis lebih dari seribu farsakh, dan aku mulai menghitung saat perjalananku kira-kira sudah lebih dari seribu farsakh, semua bermula dari Kufah ke Baghdad, kemudian dari Mekkah ke Madinah, Maroko ke Mesir, Mesir ke Ramla, Ramla ke Baytul Maqdis, dan seterusnya, semua itu kulakukan berulang-ulang dan dengan berjalan kaki,” tulis ar-Razi dalam karyanya yang berjudul Taqdimatul Jarhi wat Ta’dil.

Jika di selisik lebih lanjut, sebenarnya apa yang membuat para ulama bersemangat dalam melakukan rihlah. Imam Ibn Jama’ah memaparkan bahwa tujuan dari rihlah itu sendiri tak hanya sekedar mencari ilmu, tapi juga pemurnian diri dan pemfokusan agar tetap terpusat pada tujuan. Karenanya kita bisa menemukan banyak dari ulama yang memilih untuk menjauh dari keluarga dan keluar dari negerinya dalam proses pencarian ilmu, ia juga berkata bahwa sebuah pemikiran jika terbagi-bagi maka akan sulit untuk bisa menyingkap sebuah hakikat dan menyelam ke hal yang lebih dalam.

Kisah lain datang dari kitab Fathul Mugits, Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya, “Apakah seorang pencari ilmu diharuskan rihlah dalam proses belajarnya?”

Baca juga:  Sabilus Salikin (126): Tarekat Ahmadiyah

Imam Ahmad menjawab, “Iya, tentu saja.” Sang imam menyadari bahwa esensi dari rihlah itu sendiri lebih dari sekedar persoalan ilmu.

Abi Ishaq al-Ghazzi seorang penyair yang diklaim telah menapaki banyak negeri hingga melipat bumi pernah bersyair:

“Berdiam diri hanya akan menyembunyikanmu dari dunia luar, bukankah mutiara tak ada harganya jika masih berada di dalam kerang.”

Waktu yang dihabiskan para ulama terdahulu untuk melakukan rihlah pun tidaklah singkat, mungkin dua tahun, sepuluh tahun, dan rata-rata dari mereka sampai dua puluh tahun atau bahkan empat puluh lima tahun seperti yang dilakukan oleh Imam Abi Abdillah bin Mandah, seorang ulama yang dikatakan telah berguru ke 1700 syekh. Ia, yang lahir tahun 310 H, memulai perjalanannya disaat berumur 20 tahun dan baru kembali ke tempat asalnya ketika berumur 65 tahun.

Saat pulang, Imam Abi Abdillah bin Mandah membawa 40 muatan berat yang berisi buku-buku. Sebagai sanjungan, orang mengatakan bahwa Imam Abi Abdillah bin Mandah telah mengumpulkan apa yang belum orang lain miliki, dan telah mendengar apa yang belum pernah orang lain dengar. Imam Abi Abdillah bin Mandah wafat tahun 395 H.

Sebagai penutup, marilah kita renungi bersama salah satu kisah rihlah yang tidak pernah terpikir sebelumnya, dan di gadang-gadang hanyalah sebuah mitos belaka, padahal keabsahannya sudah sangat jelas, karena kisahnya telah tercantum di banyak kitab besar.

Baca juga:  Kisah Syekh Nawawi Al-Bantani Dideportasi dari Haramain

Ialah Imam Abu Sa’d as-Sam’ani, dilahirkan pada tanggal 21 Sya’ban tahun 506 Hijriah di kota Merv. Sedari kecil beliau sudah diajak bepergian oleh ayahnya, salah satunya beliau dibawa ke kota Naysabur, kota hadis dan muhadditsun, padahal saat itu umurnya baru beranjak tiga tahun. Ia selalu dibawa ayahnya ke tempat-tempat belajar dengan para syekh. Karenanya, Imam Abu Sa’d kecil sudah menguasai banyak ilmu dan juga memiliki banyak ijazah hadis dari para pembesar hadis pada masa itu. Maka tak ayal lagi, Imam Abu Sa’d kelak akan menjadi orang besar, karena semenjak kecil telah ditempa dan dipoles sedemikian rupa.

Adapun saat beranjak dewasa, ia dikenal memiliki banyak syekh (guru) dari berbagai bidang ilmu dan banyak tempat, karena memang sudah menjadi kebiasaannya untuk berpindah-pindah tempat demi mendapatkan totalitas dalam sebuah bidang ilmu.

Jika dikalkulasikan, Imam Abu Sa’d as-Sam’ani menghabiskan sekitar 20 tahun dalam rihlahnya, adapun rihlahnya tersebut dibagi menjadi tiga bagian atau fase, yang di tiap perjalanannya tersebut menyimpan ribuan kisah menarik yang mungkin akan dibahas pada kesempatan lainnya. Tetapi secara garis umum, saking banyak kota yang dikunjunginya, ia mengarang sebuah kitab bernama “معجم البلدان” yang mana di dalamnya tercatat kota mana saja yang telah ia tapaki.

Ibnu Najar pernah berkata, “Kalau tidak salah, ia (Imam Abu Sa’d) telah belajar dari 7000 syekh, dan sampai saat ini tidak ada yang bisa menandinginya.”

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top