Sedang Membaca
Indonesia dan Akhir dari Sejarah

Lahir di Birmingham, 31 Maret 2000. Sekarang sedang menempuh pendidikan Bahasa Arab dan Terjemah di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.

Indonesia dan Akhir dari Sejarah

Pernahkah kalian mendengar istilah “akhir dari sejarah”? Meski terdengar seperti ending dari sebuah cerita atau film, sebenarnya ini adalah ide yang sering dibahas oleh para ilmuwan dan filsuf terkenal. Konsep ini mengacu pada gagasan bahwa sejarah akan berakhir ketika perdamaian dan stabilitas dunia tercapai. Tapi, apakah kita benar-benar bisa sampai ke tahap itu?

Salah satu tokoh yang mengangkat ide ini adalah Francis Fukuyama. Pada tahun 1990-an, Fukuyama menulis tentang “akhir dari sejarah” setelah runtuhnya Uni Soviet. Menurutnya, kemenangan kapitalisme atas komunisme menandakan akhir dari konflik besar antara dua kekuatan dunia. Dengan Amerika Serikat sebagai pemenang, dia berpikir dunia akan memasuki era damai yang panjang, sebuah “pax Americana”.

Namun, kenyataannya, sejarah tidak pernah benar-benar berhenti. Sejarah adalah cerminan dari sifat manusia, yang sering kali dipenuhi oleh konflik dan perselisihan. Setiap kali kita berpikir kita telah mencapai perdamaian abadi, selalu ada konflik baru yang muncul.

Menariknya, jauh sebelum Fukuyama, ada Ibnu Khaldun, seorang ilmuwan dan filsuf Muslim abad ke-14, yang memiliki pandangan berbeda tentang sejarah. Dalam Muqaddimah-nya, Ibnu Khaldun menuturkan bahwa sejarah adalah proses siklus yang terus berulang. Dia menciptakan ilmu tentang peradaban dan masyarakat yang dikenal sebagai ‘Ilm al-‘Umran. Dan untuk menganalisis sejarah, Ibnu Khaldun menggunakan konsep ashabiyyah, yang bisa diartikan sebagai rasa solidaritas atau kesadaran sosial.

Menurut Muqaddimah Ibnu Khaldun, ashabiyyah (العصبية), adalah rasa cinta atau fanatisme terhadap keturunan, keluarga, dan golongan, yang merupakan sifat alami manusia dan menimbulkan sikap saling menolong. Istilah ini berasal dari bahasa Arab yang berarti semangat golongan atau kelompok dan dianggap sebagai faktor penggerak kekuasaan. Ashabiyyah berperan dalam solidaritas sosial dengan menyatukan kelompok dan menumbuhkan kekuatan dalam jiwa kelompoknya.

Singkatnya, ashabiyah merupakan jalinan sosial yang membuat bangsa bersatu padu. Kemudian, ashabiyyah memiliki dua peran dalam sosial yaitu menumbuhkan solidaritas sosial serta kekuatan dalam jiwa kelompoknya dan mempersatukan berbagai ashabiyah yang bertentangan sehingga menjadi suatu kelompok manusia yang besar dan bersatu, atau dalam kata lain, sebuah bangsa dan negara.

Baca juga:  Sejarah Aliansi Saudi-Wahabi (Bagian II): Pendudukan Mekkah dan Madinah

Menurut Ibnu Khaldun, kekuatan ashabiyyah menentukan naik turunnya kekuasaan suatu negara. Pada awalnya, kelompok masyarakat yang primitif memiliki ashabiyyah yang kuat. Mereka hidup dalam kondisi yang sulit, harus bertahan dari ancaman lingkungan, karenanya mereka memiliki ikatan yang kuat dengan sesama dan orang terdekat. Ketika masyarakat mulai berkembang dan beradab, ashabiyyah mulai melemah karena hubungan antar individu menjadi lebih longgar dan tidak lagi didasarkan pada ikatan darah.

Ibnu Khaldun percaya bahwa kekuatan suatu negara memiliki rentang hidup sekitar 120 tahun, terbagi dalam tiga atau empat generasi. Generasi pertama yang mendirikan negara memiliki semangat dan nilai-nilai yang kuat. Generasi kedua hanya mengikuti jejak pendahulunya. Generasi ketiga mulai melupakan nilai-nilai tersebut, dan generasi terakhir menyebabkan kehancuran negara tersebut. Namun, jika faktor-faktor yang menyebabkan kehancuran tidak muncul, negara tersebut bisa bertahan lebih lama.

Mencermati teori siklus Ibnu Khaldun atau “the cyclical theory“, kita bisa melihat korelasi dengan berbagai peradaban yang ada. Misalnya, Kekaisaran Romawi yang awalnya kuat karena ashabiyyah yang tinggi, tetapi seiring waktu melemah dan akhirnya runtuh. Begitu pula dengan Dinasti Abbasiyah dan berbagai kerajaan lainnya yang mengalami nasib serupa.

Namun, jika kita mengeksplorasi lebih lanjut, mungkin kita bisa memikirkan apakah ada cara untuk memecahkan siklus ini? Apakah mungkin dengan kemajuan teknologi, pendidikan yang lebih baik, dan globalisasi yang semakin menguat, kita bisa menciptakan dunia di mana siklus kehancuran dapat dihentikan? Misalnya, perkembangan kecerdasan buatan (AI) dan teknologi informasi dapat menciptakan sistem pemerintahan yang lebih transparan dan efisien, mengurangi korupsi dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Baca juga:  Riwayat Kota-kota Mati

Seiring berjalan waktu, muncul sebuah teori baru yang menggabungkan pemikiran Fukuyama dan Ibnu Khaldun, yaitu “siklus sejarah yang menuju akhir” di mana kita memahami bahwa sejarah bergerak dalam siklus, tetapi setiap siklus membawa kita lebih dekat ke perdamaian dan stabilitas yang lebih besar, meskipun tidak pernah benar-benar mencapai “akhir”. Dengan cara ini, kita bisa tetap realistis tentang sifat konflik manusia, tetapi juga optimis tentang kemungkinan kemajuan dan perbaikan yang terus-menerus.

Situasi politik di Indonesia saat ini menarik untuk dianalisis menggunakan teori siklus Ibn Khaldun. Menurut Ibnu Khaldun, setiap peradaban mengalami siklus kehidupan yang dimulai dengan masa kejayaan dan diakhiri dengan kemunduran. Asabiyya, atau solidaritas kelompok, adalah faktor utama yang menentukan kekuatan dan keberlanjutan suatu negara atau kekuasaan. Melihat perjalanan Indonesia, kita bisa melihat bagaimana siklus ini berlaku.

Reformasi tahun 1998 adalah tonggak penting dalam sejarah politik Indonesia, menandai akhir dari rezim Orde Baru yang otoriter dan membawa harapan untuk era baru yang lebih demokratis. Pada masa ini, asabiyya sangat kuat. Rakyat Indonesia bersatu melawan ketidakadilan dan korupsi, menunjukkan semangat yang besar untuk perubahan. Era ini mirip dengan fase awal dalam siklus Ibnu Khaldun, di mana solidaritas dan semangat kolektif berada pada puncaknya, memungkinkan terjadinya perubahan besar.

Seiring berjalannya waktu, kita mulai melihat penurunan dalam ashabiyyah. Generasi yang lahir setelah reformasi mungkin tidak merasakan langsung perjuangan melawan rezim Orde Baru dan mulai melupakan nilai-nilai yang diperjuangkan sebelumnya. Korupsi, yang dulu menjadi alasan utama perjuangan reformasi, kembali merajalela. Ini mengingatkan kita pada fase kedua dalam siklus Ibn Khaldun, di mana generasi berikutnya hanya mengikuti jejak pendahulunya tanpa semangat yang sama.

Saat ini, Indonesia menghadapi berbagai tantangan seperti ketidakadilan sosial, konflik politik, dan ketidakpuasan publik terhadap pemerintah. Ketidakmampuan untuk mengatasi masalah-masalah ini bisa jadi indikasi kita sedang memasuki fase ketiga dalam siklus Ibnu Khaldun, di mana generasi penerus mulai melupakan sepenuhnya nilai-nilai perjuangan pendahulunya. Ashabiyyah yang lemah membuat negara rentan terhadap ketidakstabilan dan kemunduran.

Baca juga:  Kisah Kecerdikan Umar bin Khattab dan Amr bin Ash dalam Menangani Wabah Pes

Namun, penting untuk diingat bahwa teori Ibnu Khaldun juga memberikan harapan. Ketika suatu peradaban mencapai titik terendah, selalu ada potensi bagi munculnya siklus baru. Kita bisa melihat tanda-tanda kebangkitan baru melalui gerakan-gerakan sosial yang menuntut transparansi, keadilan, dan perubahan. Generasi muda yang lebih sadar dan kritis terhadap situasi politik bisa menjadi agen perubahan yang membawa Indonesia ke fase kejayaan baru.

Dengan menggunakan pendekatan Ibnu Khaldun, kita bisa memahami bahwa situasi politik di Indonesia saat ini adalah bagian dari siklus sejarah yang alami. Perjuangan untuk demokrasi dan keadilan adalah proses yang berkelanjutan. Tantangan-tantangan yang dihadapi saat ini bisa menjadi pendorong untuk membangkitkan kembali asabiyya dan memulai siklus baru yang lebih baik. Semangat kolektif dan solidaritas sosial harus terus diperkuat agar Indonesia bisa melewati masa-masa sulit ini dan mencapai kemajuan yang berkelanjutan.

Sebagai penutup, di era modern seperti ini, penting bagi kita untuk tetap kritis dan realistis dalam memandang dunia. Belajar dari sejarah adalah cara yang efektif untuk memahami dinamika sosial dan politik, serta menghadapi tantangan masa depan dengan lebih bijak. Mengutip salah satu ungkapan Arab

“من ليس له ماضي ليس له حاضر ولا مستقبل”

Siapa yang tidak memahami atau menghargai masa lalu, tidak memiliki masa depan.

Presiden pertama Indonesia, Bung Karno, juga menekankan pentingnya belajar dari sejarah melalui istilah “JAS MERAH” (Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah). Pesan ini menggarisbawahi bahwa pengetahuan dan pemahaman tentang sejarah adalah fondasi yang diperlukan untuk merancang masa depan yang lebih baik. Semua kalangan, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
3
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top