Pop culture, atau budaya populer, merujuk pada keseluruhan tren, gagasan, gambaran, dan praktek-praktek yang dominan dan populer dalam masyarakat pada suatu waktu tertentu. Ini mencakup segala sesuatu yang populer, relevan, dan memiliki pengaruh yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, seperti musik, film, televisi, fasyen, teknologi, media sosial, dan lain sebagainya.
Keberadaan budaya populer sangat penting di era saat ini karena memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk identitas suatu komunitas, mencerminkan nilai-nilai, kebiasaan, dan preferensi masyarakat pada suatu periode waktu tertentu.
Dalam era modern ini, Islam tidak hanya menjadi aspek agama yang digaungkan dari masjid ke masjid semata, tetapi juga sebuah identitas yang disalurkan melalui berbagai wujud budaya populer atau massa, seperti musik, film, dan media sosial. Lantas, seberapa besar pengaruh Islam terhadap pop culture, ataupun sebaliknya?
Sebagai contoh, belakangan ini kita menyaksikan fenomena di dunia perfilman Indonesia yang seringkali menggunakan atribut Islam sebagai alat untuk menggaet atensi publik, terutama dalam film bergenre horor(-religi). Film-film seperti “Kiblat”, “Makmum”, “Munafik”, dan sejenisnya menjadi contoh nyata bagaimana elemen-elemen keislaman digunakan sebagai daya tarik untuk menarik penonton.
Film-film horor dengan latar belakang keislaman ini cenderung menggunakan nuansa mistis dan religius sebagai pusat cerita, sering kali menggunakan ayat-ayat Al-Quran, budaya dan tradisi keagamaan, serta cerita-cerita tentang jin dan roh halus Islam menjadi elemen-elemen yang dominan dalam plot cerita film-film ini.
Namun, di balik daya tarik komersialnya, fenomena ini juga menimbulkan beberapa pertanyaan etis.
Penggunaan atribut Islam dalam konteks horor dapat memunculkan kontroversi dan memicu perdebatan tentang batas-batas yang seharusnya dijaga dalam memperlakukan nilai-nilai keagamaan. Ada kekhawatiran bahwa penggunaan elemen-elemen keislaman dalam genre horor dapat merendahkan nilai-nilai agama dan memicu persepsi negatif terhadap Islam.
Selain itu, ada juga kekhawatiran bahwa penggunaan atribut Islam dalam film-film horor dapat mengaburkan pemahaman masyarakat tentang ajaran dan praktik keagamaan yang sebenarnya. Masyarakat yang terpengaruh oleh representasi negatif tentang Islam dalam film-film ini dapat mengalami kesulitan dalam membedakan antara realitas dan fiksi, serta dapat merasa terintimidasi atau takut terhadap ajaran Islam yang sebenarnya.
Ini adalah contoh kecil dari penggunaan atribut Islam untuk pop culture yang kurang pas. Dan hal ini sudah cukup lumrah di depan khalayak, karena menurut beberapa kajian, produk-produk yang terkait dengan Islam dan Muslim, terutama di konteks Eropa dan Amerika Utara, sering kali mencerminkan tema-tema Orientalis dan Islamophobia. Studi tentang produk-produk ini sering kali menyoroti citra negatif dan tema-tema dengan nuansa merendahkan yang terkait dengan Islam dan Muslim.
Tetapi, tidak selamanya budaya pop memberikan dampak yang buruk bagi Islam, atau hanya menjadikan Islam sebagai tunggangan semata. Salah satu contoh dari ranah musik adalah melalui karya-karya para penyanyi seperti Opick dan Maher Zain. Mereka telah vokal dalam menyuarakan Islam melalui lirik-lirik lagu-lagu mereka yang penuh dengan pesan kebaikan, perdamaian, dan kasih sayang. Lagu-lagu mereka telah meraih popularitas yang besar dan menjadi inspirasi bagi jutaan pendengar di seluruh dunia.
Adapun, contoh kontribusi positif budaya pop di ranah media sosial adalah dengan memainkan peran yang signifikan dalam memperkuat identitas keagamaan dan mempromosikan nilai-nilai Islam. Misalnya, melalui tagar seperti #HijabFashion di X ataupun Instagram, wanita Muslim dapat berbagi inspirasi fashion hijab mereka dan merayakan kecantikan dalam keragaman. Tagar seperti ini tidak hanya mempromosikan pemahaman yang lebih positif tentang hijab, tetapi juga memperkuat rasa percaya diri dan identitas keagamaan bagi pengguna media sosial.
Selain itu, kampanye-kampanye seperti #RamadanChallenge di Instagram juga telah menjadi trendsetter dalam mempromosikan semangat Ramadan dan nilai-nilai ibadah di tengah masyarakat digital. Melalui foto-foto, cerita-cerita, dan video-video, pengguna media sosial dapat berbagi pengalaman mereka selama bulan suci Ramadan dan membangun komunitas yang kuat yang merayakan nilai-nilai agama bersama-sama.
Secara garis besar, pop culture memiliki dua poin penting untuk komunitas Islam dan Muslim di era ini,
Yang pertama adalah, pengenalan Budaya Islam. Budaya pop dapat menjadi pintu masuk bagi “society” yang tidak akrab dengan Islam untuk belajar tentang budaya, tradisi, dan nilai-nilai Islam. Melalui musik, film, dan media lainnya, orang dapat mendapatkan wawasan yang lebih dalam tentang praktik keagamaan, sejarah, dan keragaman budaya Islam di seluruh dunia.
Yang kedua, Jembatan Antaragama. Budaya pop dapat menjadi jembatan antaragama yang memfasilitasi dialog dan pemahaman antara Muslim dan non-Muslim. Melalui pertukaran budaya, kolaborasi seni, interaksi dalam media sosial, dll, maka komunitas dari berbagai latar belakang dapat saling berbagi pengalaman, merayakan perbedaan, dan membangun hubungan yang saling menghormati.
Sebagai penutup, melalui musik, film, dan media sosial, Islam merayakan identitas keagamaan dengan cara yang dinamis dan beragam. Dalam memadukan nilai-nilai keagamaan dengan ekspresi budaya pop, umat Islam dapat menghargai warisan spiritual mereka sambil tetap berada di tengah-tengah arus perkembangan zaman. Dengan demikian, budaya pop Islam tidak hanya menjadi cerminan dari keberagaman budaya umat Muslim, tetapi juga sarana untuk memperkuat dan merayakan identitas keagamaan mereka di dunia yang terus berubah dan berkembang.