Dalam rangka menyambut acara Haul Majemuk Masyayikh dan Keluarga Besar Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, Lembaga Pendidikan Tinggi Ma’had Aly Situbondo menyelenggarakan pengajian bersama KH Ahmad Bahauddin Nursalim, pada Jumat pagi (1/1/2021) di perpustakaan Ma’had Aly.
Acara yang bertajuk ‘Ngaji Bareng Gus Baha’ ini, berlangsung sekitar 70 menit. Pengajian itu cukup seru, apalagi dimoderatori oleh ustaz Abdul Wahid, atau yang akrab dengan Gus Wahid. Pada acara tersebut, pengajian berjalan sebagaimana biasa, pembahasannya kemana-mana. Namun, tak sedikit pun mengurangi kualitas kajiannya.
Dalam kesempatan itu, santri kesayangan kiai Maimun Zubair ini menjelaskan hubungan antara fikih dan ushul fiqh. Fikih sebagai produk hukum, bernaung kepada ushul fiqh. Walaupun demikian, mempelajari ushul fiqh tanpa menguasai hukum-hukum fikih yang sudah ada, bisa berdampak fatal. Karena dalam ushul fiqh terdapat banyak logika-logika hukum. Sehingga tak sedikit yang akan tergelincir.
“Fikih itu menginduk ke ushul fiqh, tapi ushul fiqh sendiri tanpa mengerti fikih, bisa jadi liar. Karena khayalnya lebih tinggi. Makanya banyak pengagum ushul fiqh jadi liberal, karena terlalu banyak khayal. Maka di pondok-pondok harus ada fikih dan ushul fiqh.” Jelas Rois Syuriah PBNU itu.
Imam asy-Syafi’i sendiri, pernah mengecam ulama-ulama liberal. Terbukti, di antara sepuluh sumber penggalian hukum Islam (mashadir al-ahkam), ia termasuk mujtahid yang menolak istihsan sebagai salah satu sumber hukum. Dalam kitab al-Bahrul Muhith (juz 7, hal. 364), imam Ibnu Hayyan mengutip kalam asy-Syafi’i yang berbunyi:
من إستحسن فقد شرّع
“Barang siapa yang ber-istihsan, maka ia telah membuat syariat.”
Pernyataan asy-Syafi’i inilah yang juga dikutip oleh Gus Baha saat pengajian di Ma’had Aly Situbondo, sebagai argumentasi dari pernyataannya yang tegas bahwa menggali hukum melalui istihsan, berarti berusaha membuat syariat tandingan. Dalam kesempatan itu, pengasuh Ponpes Tahfidzul Qur’an Lembaga Pembinaan Pendidikan dan Pengembangan Ilmu Al-Qur’an (LP3IA) ini, Memberikan sebuah contoh sederhana.
Ia mengatakan, “Misalnya, saya kiai yang suka tirakat, sehingga mewajibkan kepada santri untuk berpuasa setahun atau tidak makan nasi. Maka, itu bikin syariat tandingan. Karena mengharamkan sesuatu yang tidak haram atau mewajibkan sesuatu yang tidak wajib.” Terang kiai asal Rembang, Jawa Tengah ini.
Tampaknya, di penghujung acara, Gus Wahid sebagai moderator tidak sepakat dengan pemahaman Gus Baha tentang kalam asy-Syafi’i di atas. Menurutnya, kalam asy-Syafi’i itu, tidak hanya dapat dimaknakan sebagai kecaman terhadap pelaku istihsan (mustahsin). Melainkan,bisa juga sebagai pujian kepada si pelaku.
Sebagai referensi, Gus kelahiran Sumenep, Madura ini, mengutip pendapat asy-Syekh al-Akbar Ibnu al-‘Arabiy dalam kitab Fawatih ar-Rahamut Syarh Musallam al-Tsubut (juz dua, hal. 374). Berikut redaksi lengkapnya:
إنّ مقصود الشافعي من قوله هذا مدح المستحسن، وأراد أنّ من إستحسن فقد صار بمنزلة نبيّ ذي شريعة. وأتباع الشافعي لم يفهموا كلامه على وجهه هذا والله تعالى أعلم
“Maksud imam Syafi’i dalam kalamnya (Barang siapa yang ber-istihsan, maka dia telah membuat syariat), sejatinya adalah rangkaian pujian kepada pelaku Istihsan (mustahsin). Ia bermaksud bahwa orang yang ber-istihsan memiliki posisi yang sama dengan baginda nabi sang pembuat syariat, dan para mengikut asy-Syafi’i, tentu tidak mampu memahami kalam asy-Syafi’i di atas dengan benar. Untuk (kebenaran) perspektif ini, wallahu ta’ala a’lam.”
“Jadi, bahkan yang kita anggap bahwa asy-Syafi’i saat itu mengecam, ternyata masih ada silang pendapat, yaitu pendapat bahwa asy-Syafi’i sedang memuji atau madhul mustahsin. Artinya, poin-poin saya, kita harus akui bahwa ada perbedaan.” Pungkas dosen muda Ma’had Aly Situbondo itu.
Sebelum menjawab pertanyaan peserta, kiai kelahiran 1970 itu, terlebih dahulu menanggapi sanggahan Gus Wahid atas kutipannya tadi. Ia menjelaskan bahwa mayoritas ulama, terutama para murid imam Syafi’i, paham betul akan posisi asy-Syafi’i yang tidak sedang memuji. Terbukti, di semua kitab ushul fiqh, terdapat bahasan tentang penolakannya terhadap istihsan (ibthalul istihsan). Bahkan, Gus Baha sampai mewanti-wanti agar menjauhi fatwa Ibnu al-‘Arabiy tersebut.
“Ta’bir (redaksi kitab) itu ngawur sekali. Itu termasuk statement atau fatwa yang harus dihindari. Sampean bisa lihat di semua kitab ushul fiqh, itu masyhur disebut dengan ibthalul istihsan (menolak istihsan). Termasuk di kitab Syari’atullah al-Khalidah karya sayid Muhammad. Sekarang, berdasarkan keyakinan orang banyak bahwa imam Syafi’i menolak, akan bertentangan dengan keyakinan satu orang bahwa imam Syafi’i memuji. Jumhur ulama itu tahu kalau imam Syafi’i menolak istihsan. Jadi, jelaslah bahwa itu redaksi kecaman asy-Syafi’i, bukan pujian.” Tegas Gus Baha serius.