Sedang Membaca
Lebaran yang Selalu Kami Rindukan
Achmad Munjid
Penulis Kolom

Menyelesaikan pendidikan doktoral di Temple University, Amerika Serikat. Sekarang mengajar di UGM. Selain menekuni bidang kajian agama, juga menulis sastra.

Lebaran yang Selalu Kami Rindukan

  • Dalam kegembiraan yang begini nyaris sempurna, siapa yang tak terkenang akan orang-orang tercinta? Seperti apakah keadaan batin mereka? Apa yang bisa aku perbuat untuk benar-benar membahagiannya? Kenapa harus ada “ada” dan “tiada”? Bagaimanakah kesudahan cerita ini semua?

Setiap lebaran tiba, tak ada yang lebih bergembira dari kami, anak-anak kampung yang hidup terpencil jauh di pelosok desa. Sejak awal puasa, kami telah mulai menghitung hari dan bersiap menyongsongnya dengan seksama. Mengapa?

Sebab, itulah puncak segala waktu yang selalu kami tunggu-tunggu: baju dan mainan baru, peci beludru, uang saku dari segala penjuru, hidangan lezat di balik setiap pintu, benderang dian seribu dan rentengan petasan malam takbiran diantara suara bedug yang dipukul bertalu-talu.

Tak ada seorang pun dari kami yang mau ketinggalan lebaran. Itulah sebabnya, kami selalu ketakutan ketika diberitahu, bahwa tak ada hari raya bagi anak-anak yang tak mau berpuasa. Meski harus menahan lapar dan haus yang kadang menyengat luar biasa, kami berusaha merampungkan puasa sebulan lamanya.

Paling tidak, puasa setengah hari, atau puasa bedug, bagi anak-anak belia. Sedang untuk mereka yang berumur sembilan tahun atau lebih tua, tak ada perkecualian, dengan alasan apa saja. Anak-anak yang tak kuat puasa akan dianggap cengeng dan jadi bahan olok-olok di mana-mana.

Cobaan terasa lebih berat ketika puasa dan musim kemarau tiba secara bersamaan. Tentu kami selalu diberitahu, meski tak ada setan yang gentayangan hingga saat lebaran, muslihatnya terus menyelundup lewat peredaran darah dalam tubuh setiap orang. Juga lewat ketimun atau bengkowang segar di tengah sawah ketika kami berburu jangkrik di bawah terik, atau lewat jambu batu di pojok pekuburan saat kami berjalan sendirian, atau lewat belimbing, mangga atau buah apa saja yang tertangkap mata saat kami lunglai tak bertenaga.

Apa daya, kadang kami memang terjerat perangkap syaitan juga. Sehabis main bola dan tercekik dahaga luar biasa, siapa yang bisa tahan mencium harum buah nangka yang teronggok di ladang kosong tanpa dilihat siapa-siapa? Tapi setelah melahap satu dua biji sambil berdebar-debar, segera kami sadar dan dihajar rasa sesal yang tak hendak pudar. Ketika akhirnya ada yang curiga, apalagi menyelidik sambil bertanya karena harum buah nangka yang tak bisa dihapus begitu saja, kami hanya bisa menangis sekeras-kerasnya.

Selain malu karena dijadikan tertawaan semua teman sebaya, yang sangat kami takutkan adalah tak akan ada hari raya buat yang bolong puasanya. Kami baru tenang setelah ada yang meyakinkan bahwa kami tetap akan punya hari lebaran, asal kesalahan serupa tak akan diulang.

Sungguh tak terbayangkan jika ada di antara kami yang sampai tertinggal lebaran.

Itulah sebabnya, di antara kami anak-anak selalu saling menopang. Selepas Asar, kami lebih sering main bersama, entah dengan menerbangkan layang-layang, merakit petasan, atau mengumpulkan aneka buah-buahan di sekitar tanah pekarangan. Yang penting kami punya kesibukan menunggu saat berbuka sambil berusaha melupakan perut yang kian melilit dan keroncongan. Begitu suara bedug terdengar, segera kami berlarian tunggang-langgang dan bubar. Kolak pisang dan kolang-kaling segera kami tuang hingga tenggorokan yang sudah kering-kerontang kembali terasa segar. Begitu matahari terbenam, mata kami yang telah redup sejak berjam-jam pun kini berbinar-binar.

Baca juga:  Laut dalam Literatur Islam Nusantara

Selepas Magrib, kami pun berlarian di sekitar masjid dengan perut kenyang. Biar punya waktu lebih lapang, biasanya kami memilih langgar dengan imam tarawih yang bacaan suratnya tidak panjang-panjang. Maka, ketika para remaja dan orang-orang dewasa tekun mengaji sehabis Tarawih di serambi masjid bersama Pak Kiai, kami sudah bergerombol dan asyik bermain sendiri-sendiri. Sepanjang bulan Ramadan, kami bebas bermain di mana saja sepanjang malam, bahkan sampai di tanah pekuburan. Tak ada lagi yang perlu kami takutkan. Bukankah semua setan dan segala macam hantu kini terbelenggu dan tak lagi bisa mengganggu?

Kami hanya pulang ke rumah sebentar setelah puas dan letih bermain. Setiap anak dan remaja lelaki di kampung kami menjadikan serambi masjid sebagai rumah kedua. Dari rumah masing-masing kami kembali ke sana berbekal rantang nasi dan sayur untuk nanti makan sahur.

Selepas tengah malam, ketika sebagian anak-anak lain menabuh bedug untuk menemani mereka yang mulai sibuk di dapur, kadang diantara kami ada yang sengaja pergi ke sawah untuk berburu belut. Terutama di saat paceklik ketika menu terbaik kami cuma segumpal nasi yang ditempeli oseng pohon talas atau sambal terong, daging belut yang ramai-ramai kami bakar sungguh sedap tak tergambar.

Pada malam yang lain, kami berburu lebah muda atau belalang untuk lauk bersama. Sungguh beruntung, selain mengaji, di bulan puasa kami punya kesempatan lebih leluasa untuk berkumpul di masjid dan bertualang.

Begitu memasuki tanggal-tanggal likuran, yakni 10 hari terakhir, kehidupan di kampung kami kian terasa berdegup kencang. Suara petasan bertambah riuh selepas senja. Karib kerabat dan sanak keluarga saling berkunjung untuk bersilaturahmi dan berbagi sedekah ala kadarnya. Yang lebih muda menyempatkan diri untuk mengunjungi saudara yang lebih tua. Urusan pekerjaan, di sawah atau di pasar, seperti serentak mereka tinggalkan untuk sementara.

Masjid, surau-surau, rumah-rumah dan jalan-jalan ditata dan dibersihkan. Yang rusak diperbaiki, cat yang mengelupas diperbaharui. Makam-makam pun ramai dikunjungi para peziarah yang datang pergi silih berganti.

Baca juga:  Gus Baha dan Pentingnya Husnuzzan kepada Ulama

Jika lebaran dan musim panen jatuh berdekatan, di masjid, selepas tarawih dan terutama sehabis khataman Alquran, segera tersaji macam-macam makanan: tumpeng, ambeng, ingkung ayam jago, nasi kuning, nasi mogana, kue lapis, apem, nasi ketan, gethuk mawur, nagasari, dadar gulung, dan segala sajian yang memperlihatkan betapa kegembiraan tak bisa kami hayati sendirian.

Semua orang, besar- kecil, laki-laki perempuan duduk melingkar, mengharap berkah dari doa-doa yang dipanjatkan. Pada hari-hari berikutnya, suara para perempuan yang sibuk membuat aneka penganan dan kue lebaran terdengar sampai jauh hingga larut malam. Semua seperti berderap, dalam riang, dalam dendang, menghapus letih yang menindih sebagian besar hidup kami sepanjang tahun.

Menjelang sore, para remaja terlihat ceria hilir mudik di atas sepeda. Mereka yang sekian lama bekerja di kota dan tak pernah terlihat batang hidungnya, kini tampak berseliweran dalam dandanan necis aneka warna. Orang-orang tua dan saudara yang sekian lama saling tak bersua dengan sanak dan keluarga mereka, kini lepas dalam canda dan tawa. Seolah segala masalah dan kesulitan telah terurai, segala yang kusut kini dirapikan.

Di masjid dan langgar-langgar, orang tak henti membaca Alquran dan mendirikan “salat malam”.

“Kegembiraan hidup yang hakiki ada di akhirat nanti. Dalam bergembira di dunia, kita tak boleh melupakan keluarga, kerabat dan tetangga, baik yang masih hidup maupun yang sudah di alam baka. Sedekah dan silaturahim menyatukan kita dengan yang masih ada. Ziarah dan doa-doa menghubungkan kita dengan yang sudah tiada. Kegembiraan, juga kesedihan, hendaknya menjadi jalan agar kita makin dekat dengan Yang Maha Kuasa,” begitu kiai kami kerap mengingatkan siapa saja. Dengan begitu, kegembiraan yang kian penuh dan seperti hendak pecah pun kembali tertata indah di bibir setiap pintu hati dan rumah-rumah.

Bersamaan dengan surutnya matahari terakhir bulan Ramadan, kegembiraan kami yang kian melimpah pun akhirnya membuncah. Dalam lantunan takbir, diselingi suara petasan, diiringi bunyi irama bedug yang terus didendangkan, dalam pekik sorak anak-anak, dalam hilir mudik para pemuda dan doa-doa orang tua-tua, juga segenap kesibukan para wanita, lebaran kini benar-benar tiba. Meski kami tunggu sebulan lamanya, kehadirannya selalu terasa seperti tak terduga. Ia begitu mempesona dan kami semua dibuat terpana.

Di kampung kami yang tak pernah ada kejadian penting kecuali kelahiran dan kematian, inilah waktu ketika langit dan bumi terasa begitu erat berpagutan. Dalam seruan takbir yang merayap perlahan dari balik kerongkongan, sambil menyusuri gelap buat mengantar zakat Fitrah, sambil memasak, sambil menidurkan si kecil, atau duduk termangu menatapi lidah api yang dipermainkan angin, perlahan-lahan kami menyusun kembali cerita yang membuat mata kami sendiri tak terasa telah berkaca-kaca. Dalam gelora takbir yang terus mengalir, air mata kami pun deras membanjir seperti tanpa akhir.

Baca juga:  Lima Kelebihan Pesantren

Dalam kegembiraan yang begini nyaris sempurna, siapa yang tak terkenang akan orang-orang tercinta? Seperti apakah keadaan batin mereka? Apa yang bisa aku perbuat untuk benar-benar membahagiannya? Kenapa harus ada “ada” dan “tiada”? Bagaimanakah kesudahan cerita ini semua?

Antara gembira dan sedih, antara suka dan duka, antara yang jauh dan yang dekat, di manakah kini batasnya?

Sungguh beruntung mereka yang bisa bersanding dengan segenap keluarga dalam keadaan yang bagaimana saja. Bagaimana dengan anak-anak yatim yang tak sempat mengenal wajah ayahnya? Bagaimana dengan adik dan kakak yang tak bisa lagi saling bisa berucap sebelum sempat memenuhi janjinya? Bagaimana dengan perasaan orang tua yang untuk kesekian kali ditinggalkan anak-anaknya di usia senja? Bagaimana dengan janda dan duda yang tak tahu harus berbagi gembira dan sedih ini dengan siapa? Bagaimana dengan ia yang sebatang kara di tengah keriuhan dan kegembiraan segenap lingkungannya?

Inilah saat di kampung kami, ketika orang-orang dalam sendiri, dalam doa, membiarkan kesadaran seperti larut dalam deraian air mata. Setelah sepanjang tahun bergumul untuk menaklukkan kenyataan, inilah saat bagi kami untuk legawa, ‘menerima’ dan hadir di tengah sesama ‘apa adanya’. Apa yang ingin dikatakan orang tua yang hanya bisa tersedu mengusap rambut anak yang setelah sekian tahun baru kembali ke pangkuannya? Apa yang dirasakan suami-istri yang hanya bisa sesenggukan dalam pelukan yang seperti tak hendak saling melepaskan? Apa yang ingin diungkapkan oleh saudara atau tetangga yang sekian lama tak saling bertegur sapa kembali ketika kembali mengulurkan tangan untuk bersalaman dan mengurai penyesalan?

Inilah saat ketika apa yang telah lewat dan masa depan yang belum terlihat saling melumat dan orang-orang sadar betapa hidup memang tak lebih seperti orang lewat.

Inilah kerinduan yang terus menarik-narik sulur paling lembut dalam setiap batin kami untuk mengalaminya sekali lagi, kemana pun kami pergi. Inilah lebaran yang selalu kami nanti-nanti.

Selamat merayakan lebaran. Segala khilaf dan kesalahan mohon dimaafkan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top