Menjelang awal atau akhir bulan puasa, sebagian orang Islam di Indonesia suka ribut. Begitu terjadi perbedaan hasil perhitungan antara metode ru’yah (observasi empiris langsung) versus hilal (kalkulasi kalender), mereka segera gaduh memperselisihkan tanggal mana yang paling sah untuk menentukan khususnya Idul Fitri.
Dengan berbagai alasan, ini bisa dimaklumi. Bagaimanapun Idul Fitri adalah suatu hari raya penting Islam yang terkait dengan ibadah wajib, yakni puasa Ramadan.
Tapi orang-orang Islam Indonesia ini belakangan juga suka meributkan hari raya umat agama lain. Setiap sekitar Natal seperti sekarang, kita suka cekcok. Jelas soalnya bukan tanggal. Dengan sengit, sebagian muslim mengharamkan kita untuk mengucapkan “Selamat Natal” kepada teman atau tentangga yang Kristen. Muslim yang mengucapkannya dituduh membahayakan akidah Islam, kalau bukan telah mengorbankannya. Jadi, ini bukan perkara sepele, apalagi main-main.
Menarik untuk dicatat, banyak pendukung pengharaman “Selamat Natal” yang sering merujuk pada Fatwa MUI 1981 dan pendapat Buya Hamka soal ini sebagai pijakan. Anehnya, ketika diselidik, MUI sendiri ternyata tidak pernah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan ucapan Selamat Natal. Buya Hamka bahkan terang-terangan membolehkannya.
Sebagai bagian dari topik lebih luas, isu ini sebetulnya sudah berkali-kali dibahas dalam sejumlah riset yang lebih mendalam, antara lain seperti telah dilakukan oleh Atho’ Mudzhar (1996), Karel Steenbrink (2000) dan Mujiburrahman (2006). Tulisan kecil ini dibuat sebagai penegasan ulang saja, sekaligus klarifikasi. Mudah-mudahan ia bisa turut menjernihkan kembali “pesan berantai” yang entah dengan maksud apa isinya telah jauh terpelintir ketika sampai ke telinga kita.
* * *
Ketika menyampaikan program rutin “kuliyah shubuh” yang disiarkan Radio Republik Indonesia (RRI) pada tahun 1974, Buya Hamka mendapat pertanyaan dari seorang pendengar. “Apa sikap yang pantas kita tunjukkan sebagai muslim ketika diundang untuk menghadiri acara Natal dari teman atau tetangga yang beragama Kristen?” begitu kira-kira pertanyaannya. Karena keterbatasan waktu, Hamka kemudian memberikan jawaban tertulis berjudul “Toleransi Bukan Pengorbanan ‘Akidah” yang dimuat majalah Panji Masyarakat No. 142 tahun 1974.
Sembari menjelaskan perbedaan fundamental soal kedudukan Yesus—sebagai inkarnasi Tuhan dalam agama Kristen dan Isa a.s. sebagai seorang nabi dan manusia biasa dalam Islam—secara eksplisit Hamka menyatakan bahwa mengucapkan “Selamat Natal” sebagai ungkapan toleransi beragama adalah boleh-boleh saja. Tetapi orang Islam tidak dibenarkan berpartisipasi dalam ritual perayaan Natal.
Ilustrasinya, orang-orang Kristen juga sudah biasa menyampaikan ucapan “Selamat Idul Fitri” kepada kita, tapi mereka tentu tidak akan ikut sembahyang di masjid atau di lapangan terbuka yang kita selenggarakan. Ditambahkannya pula, jangankan berpartisipasi dalam perayaan ibadah Natal, sebagian ulama seperti Ibn Taimiyyah atau kelompok Persis di Indonesia bahkan juga melarang orang Islam merayakan Maulid yang merupakan hari lahir nabi kita sendiri. Ini semua dilakukan demi menjaga akidah.
Penjelasan Hamka itu tidak menimbulkan kontroversi apa pun. Dan memang tidak ada yang kontroversial di sana.
Sekitar lima tahun kemudian, Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dibentuk tahun 1975 oleh Orde Baru sebagai jembatan antara umat Islam dengan Pemerintah, mengeluarkan fatwa pada tanggal 7 Maret 1981 mengenai isu serupa. Ketua MUI-nya adalah Hamka yang hanya bersedia diangkat oleh Soeharto dengan satu syarat: “tidak akan menerima gaji dari Pemerintah” (demi memelihara independensi lembaganya).
Sebetulnya isi fatwa tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah disampaikan Hamka sebelumnya. Tapi kali ini dalilnya lebih lengkap dan argumennya lebih tegas. Fatwa ini sendiri dikeluarkan atas permintaan kantor Kementerian Agama untuk evaluasi internal sekaligus menanggapi keresahan sebagian muslim akibat kian maraknya perayaan Natal bersama di kantor-kantor dan sekolah-sekolah.
Kita tahu, tahun-tahun 1980-an adalah masa ketika rezim militer Soeharto sedang kuat-kuatnya mencengkeramkan kekuasaan sekaligus lebih mesra dengan kelompok Kristen dan abangan. Umat Islam dipaksa menerima kenyataan sebagai kelompok “mayoritas angka” yang tak punya peluang dan peran strategis signifikan. Dengan sokongan sekaligus kendali rejim itu, kelompok minoritas Kristen dan keturunan Cina bisa memainkan kekuasaan tertentu, yang membuat muslim kian merasa kecewa dan tersingkir. Terkait Natal bersama yang menjadi konteks fatwa MUI tadi, Panji Masyarakat melaporkan maraknya pengharusan oleh sekolah Kristen tertentu terhadap siswa muslim untuk terlibat dalam perayaan Natal, entah sebagai penyanyi koor atau pemeran tokoh dalam drama Natal dan lain-lain.
Ancaman akidah yang disebut dalam fatwa tadi, karenanya, bisa dibaca sebagai retorika tawar-menawar umat Islam di depan pemerintah dan kelompok minoritas Kristen yang posisinya jauh lebih baik secara ekonomi dan politik.
Tapi fatwa ini tidak pernah sekalipun menyebut soal haramnya mengucapkan “Selamat Natal” oleh orang Islam. Yang diharamkan adalah partisipasi orang Islam pada acara Natal dalam konteks di atas. Teks fatwa itu kemudian dikirim ke kantor-kantor wilayah MUI daerah dan dimuat dalam Buletin Majelis Ulama Nomor 3 April 1981. Meski buletin itu cuma dicetak 300 eksemplar, tak pelak, fatwa ini segera beredar cukup luas, terutama setelah diliput media. Dari sinilah kontroversi berawal.
Alamsjah Ratuprawinegara sebagai Menteri Agama (Menag) yang sedang gencar mempromosikan “Tri Kerukunan” (kerukunan intern umat beragama, kerukunan antarumat beragama, kerukunan antara umat beragama dengan Pemerintah), merasa terpojok dan jengkel. Pertama, ia tidak mengharapkan fatwa untuk kepentingan terbatas itu tersebar luas. Kedua, program “Tri Kerukunan” yang tengah dipromosikannya terancam gagal. Dalam suatu pertemuan antara pihak MUI dengan Menag, sebagai reaksi keras terhadap fatwa itu, Alamsjah sempat menyatakan akan mundur.
Akibatnya, MUI segera menerbitkan surat keputusan (SK) yang ditandatangani Hamka dan sekretarisnya. Seperti dimuat harian Pelita, SK itu menyatakan bahwa fatwa kontroversial itu dicabut peredarannya—meski dalam kesempatan lain Hamka tetap menyatakan validitas isi fatwa itu sendiri. Akibat ketidaknyamanan yang ditimbulkan fatwa itu, Hamka menyatakan bahwa dirinyalah yang bertanggung jawab untuk mundur, bukan Menag.
Hamka akhirnya benar-benar mundur sebagai ketua MUI pada tanggal 19 Mei 1981. Dalam sejarah MUI sampai sekarang, hanya beliaulah satu-satunya ketua MUI yang mengundurkan diri, tak pernah menerima gaji, sekaligus pernah mengeluarkan fatwa berseberangan dengan posisi pemerintah.
Tempo memuat berita ini dalam edisi “Buya, Fatwa dan Kerukunan Beragama” tanggal 30 Mei 1981. Gus Dur menulis kolom dalam edisi itu, berjudul “Fatwa Natal, Ujung dan Pangkal” yang, bisa kita duga, isinya mengkritik keras fatwa tadi.
Tapi, sekali lagi, baik Hamka maupun MUI tak pernah menyebut haramnya ucapan “Selamat Natal”. Majalah Panji Masyarakat yang diasuh Hamka pada nomor 325 edisi Juni 1981 bahkan memuat tulisan Samudi Abdullah yang menyarankan agar orang Islam yang mendapat undangan acara Natal untuk “datang, duduk dengan tenang dan menyantap makanan ketika dihidangkan,” sebab yang diharamkan adalah partisipasi dalam ritual dan bukan kehadiran dalam acara Natal.
Lalu dari mana datangnya klaim haramnya ucapan “Selamat Natal”? Entah.
Meminjam istilah Mujiburrahman, feeling threatened boleh jadi adalah salah satu penjelasannya. Perasaan terancam, baik di kalangan umat Islam maupun Kristen, juga umat beragama lain, memang telah lama merupakan atmosfer yang terus menyelimuti hubungan antar umat beragama di Indonesia.
Meski sejak 1990-an dengan berdirinya ICMI posisi Islam sudah berbalik, ternyata psikologi itu terus dipelihara di kalangan muslim. Dalam bayang-bayang rasa terancam, ketika jadi pecundang, orang Islam selalu takut tidak kebagian. Ketika jadi pemenang seperti sekarang, kita takut kehilangan. Itulah kenapa bahkan hanya mengucapkan “Selamat Natal” sebagai ungkapan tata-krama pergaulan sosial pun sebagian muslim tidak bisa, karena takut ‘kehilangan’. Kalau dulu ‘perlindungan akidah’ dipakai sebagai retorika untuk menaikkan daya tawar, sekarang retorika yang sama digunakan untuk mempertahankan privilese sebagai kelompok mayoritas yang sesungguhnya.
Tapi perasaan terancam yang terus dipelihara, apalagi digunakan sebagai alat permainan politik demikian, tentu sangat berbahaya. Serangkaian praktik diskriminasi, bahkan persekusi yang kian memburuk dan terus memakan banyak korban belakangan ini—entah itu kaum Ahmadi di Cikeusik, Syiah di Sampang, Gereja Yasmin di Bogor dan lain-lain— adalah konsekuensi dari dibiarkannya manipulasi atas perasaan terancam di kalangan mayoritas Muslim.
Pemelintiran haramnya partisipasi muslim dalam aspek ritual Natal seperti pernah dikemukakan oleh Buya Hamka tahun 1974 dan fatwa MUI tahun 1981 menjadi haram mengucapkan “Selamat Natal” adalah cerminan dari kian menggumpalnya perasaan terancam sebagian orang Islam sekaligus kehendak intoleran sebagai golongan mayoritas yang harus dicegah. Mayoritas atau bukan, tidak ada seorang pun yang boleh sembarangan memanipulasi kenyataan demi kepentingan sempit kelompoknya.
Jika tidak, keadaan bisa terus memburuk dan menggiring bangsa ini menuju liang kubur bersama.