Tak lama ini, salah satu Ulama sepuh Nusantara asal Kendal telah meninggal dunia. Beliau adalah KH. Dimyati Rois atau yang lebih akrab disapa Mbah Dim. Kewafatan beliau ini meninggalkan kesan yang begitu mendalam bagi para tokok-tokoh lainnnya. Karena yang begitu melekat dari beliau adalah pancaran keilmuannya yang tampak pada wajah teduhnya yang sederhana.
Ulama yang mengasuh pondok pesantren bernama Alfadlu wal Fadilah itu wafat pada jumat, 10 Juni 2022. Pada suatu kesempatan, penulis bisa berziarah ke makbarah Abah Dim dan sowan di kediaman keluarga pada hari ketujuh pasca kewafatannya. Suatu pengalaman yang begitu berharga waktu itu, karena saya dapat menziarahi makam Abah Dim dan bertemu secara langsung dengan kedua putra beliau, yakni Gus Zaman dan Gus Alamudin.
Waktu itu sangatlah banyak tamu. Namun Gus Alam dan Gus Zaman tetap bisa membersamai tamu-tamunya dengan baik. Karena waktu itu masih dalam suasana duka, Gus Alam tidak begitu banyak bercerita dan mengaku sangat terpukul dengan kewafatan Abahnya kala itu.
Kami yang datang berusaha untuk menghibur mesti semampunya. Dan tiba pada siang hari kami meminta undur diri untuk pulang.
Abah Dim dalam Kacamata Gus Usman
Mbah Dim adalah sosok yang kharismatik dengan ribuan murid yang telah berguru langsung kepadanya. perjuangan yang beliau lakukaan demi ilmu dan kemaslahatan umat tak dapat dipungkiri. Maka wajar bila tak sedikit orang yang datang untuk meminta pendapat, solusi dan nasehat-nasehat dari beliau.
Salah satu murid beliau yang bernama Usman Arrumy atau Gus Usman mengabadikan cerita Abah Dim dalam karya tulis. Dalam bukunya yang berjudul Anjangsana diceritakan bagaimana sosok Abah Dim, yakni Kiai khas kuno yang teduh itu. Usman Arrumy atau Gus Usman menuliskan ceritanya tentang kenangan sewaktu mondok dipondok pesantren yang diasuhan oleh Abah Dim.
Pada suatu waktu ia sowan ke Abah Dim. Pisowanannya itu semerta karena ia merasa kangen dengan Abah Dim. Tidak lebih. Oleh sebabnya ia mencoba mencari alasan untuk dapat sowan bertemu abah di ndalem.
Dalam ceritanya itu, Gus Usman mengaku bahwa ia sering keluar masuk ndalem sekalipun tidak ada kepentingan yang pasti. Alasannya cukup sederhana, yakni ingin melihat secara dekat dan salim dengan Abah Dim. Dalam cerita yang dituliskannya, ia merencanakan akan bertanya soal nasab sebagai bahan untuk pisowanannya nanti.
”Di depan ndalem, sudah ada enam tamu menunggu, tujuh termasuk saya. Dan saya menjadi satu-satunya santri yang ikut masuk ndalem. Lainnya, tamu dari luar. Tepat pukul 11.00 malam, Abah mempersilakan semua tamu masuk.” (halaman 77).
Lanjut cerita, salah satu diantara tamunya mengadu kepada Abah Dim bahwa kondisi perekonomiannya sedang buruk. Oleh Abah Dim, orang tersebut dituturi mengenai cerita orang-orang yang ditemui Abah Dim sebelumnya. Orang-orang tersebut jauh lebih buruk lagi kondisi perekonomiannya dibandingkan dengan orang yang datang tersebut. Abah Dim Dawuh bahwa ada seorang pengangkut batu yang mengangkut satu batu besar saja. Pengangkut batu tersebut berjalan selama tiga bulan untuk kemudian menjualnnya. Namun Gusti Allah tetap mencupi rezekinya.
Abah Dim juga bercerita bahwa beliau didatangi oleh pemilik warung yang kondisi warungnya sedang sepi. Oleh Abah Dim orang tersebut diajak pergi ke warung makan Pekalongan. Orang tersebut diajak makan bersama Abah Dim dan setelahnya, ia mengucapkan terima kasih kepada Abah Dim dan pamit pulang. Abah Dim tak bicara apapun dan tidak menasehatinya dengan bagaimana harus bertindak, namun orang tersebut langsung berterima kasih kepada beliau.
Maka tamu yang mengadu pertama tadi bertanya apa maksud dari yang telah diceritakan Abah Dim barusan.
Bahwa maksud dari Abah Dim tersebut adalah membuka pemikiran seseorang bahwa usaha warung makan itu bukan hanya sekedar makanannya yang enak, melainkan juga mempunyai ciri khas. Tentu selain itu, juga harus memeperhatikan pelayanan. Dan seberapa pentingnnya nama warung.
Kemudian salah satu tamu yang lain juga bercurhat tentang motornya yang hilang. Tentu apa yang dilakukan orang tersebut berharap supaya Abah Dim menyanggupi untuk memberi tahu kemana montor kepunyannya itu pergi. Diluar dugaan, Abah Dim justru menasehati agar diadukan saja kepada pihak kepolisian, bukan malah dilaporkan kepada Kiai. Apa yang menjadi kebiijakan Abah Dim tersebut tentu membuat tamu yang bertanya itu kecewa dengan jawaban yang ia dapat.
Menurut Gus Usman Abah Dim adalah orang yang proposionis, yakni menempatkan persoalan sesuai dengan porsinya. Biarpun Abah Dim tahu dimana dan siapa yang telah mengambil montor tersebut, beliau tetap saja menjawab persoalan sesui prosedur –kriminalitas selayaknya dilaporkan kepada pihak yang berwajib bukan kepada Kiai.
Sebagai seorang santri, Gus Usman selalu taslim kepada kiainya, Abah Dim. Apapun yang diputuskan beliau adalah sesuai ketentuan yang seharusnya. Abah Dim memang sosok yang khasyaf, namun beliau mengindahkan posisisnya sebagai seorang Kiai. Yakni lumrahnya kiai adalah menyampaikan ajaran keagamaan, bukan malah sebagai media penyampai sesuatu yang diluar nalar. Seumpama Abah Dim menjawab pengaduan orang yang kehilangan motor tersebut, maka identitas Kiai tak selebihnya dengan dukun.
Pada tulisannya yang lain, Gus Usman juga menyorot tentang pesantren. Beliau menyampaikan saat-saat ia meminta orang tuanya mondok ketika usia dini, ketika ia mulai kenal dengan sistem pendidikan pesantren yang mengunggulkan karakter daripada materi, tentang takziran para pengurus bagi santri-santri yang tidur saat ada kelas, dan perihal lainnya tentang pesantren.
Kesemua tulisannya itu semata-mata untuk mengungkapkan rasa kangennnya terhadap orang-orang yang dicintainya (terlebih orang-orang yang begitu berharga dalam membentuk kehidupannya). Seperti di awal-awal tulisan, ia banyak menulis bagaimana proses ia bertemu dengan para seniman, budayawan, proses-proses ia mencipta puisi dan tak ketinggalan juga surat kangennya kepada Ibunya sewaktu masih kuliah di Mesir.
Dua surat yang dituliskan kepada ibunya itu, ia tulis dalam bentuk esai. Kedua tulisan itu perlu kiranya ditandai, karena kandungan didalamnya sungguh-sungguh memiliki pesan begitu mendalam. sangat mengharu birunya seorang anak yang merantau jauh dari ibunya, dalam dua lebaran tidak dapat bertemu karena tugas pendidikan sedang ditempuh.
Sedangkan tulisan-tulisan yang lain, buku Anjangsana membawa kita kepada untaian-untaian kerinduan yang berefek pada ratapan kita terhadap kehidupan ini. Dan ada salah satu cuplikan puisi Gus Usman yang bagus untuk kita renungkan bersama.
“Jangan kecewa
Tuhan menciptakan cela
Pada sesuatu yang sangat kita cintai
Agar kita tak terjerumus pada pembaerhalaan”