Bagi orang Jawa atau orang yang bertempat tinggal di Jawa, biasanya akan mendengar istilah Suro-Ruwah-Mulud, dan seterusnya. Istilah tersebut digunakan oleh orang Jawa sebagai nama-nama bulan dalam kalender Jawa. Tidak jauh beda dengan nama bulan yang ada dalam kalender Hijriah, karena memang pada dasarnya kedua kalender tersebut mempunyai sejarah yang erat di Jawa.
Perlu diketahui terlebih dahulu, bahwa di Indonesia ada beberapa jenis sistem penanggalan yang berkembang hingga sekarang. Semuanya memiliki ciri khas dan keunggulan tersendiri. Nah, salah satunya adalah penanggalan Jawa yang usianya terbilang sudah cukup tua namun masih saja digunakan oleh masyarakatnya. Berbeda dengan yang lain, penanggalan Jawa mempunyai konsep yang lebih istimewa. Ia merupakan penanggalan dengan perpaduan antara budaya Islam dan Hindu-Budha Jawa yang perhitungannya didasarkan pada Bulan mengelilingi Matahari.
Untuk berbicara mengenai penanggalan Jawa, tidak bisa dilepaskan dengan rangkaian kisah berdirinya kerajaan Mataram di bawah kepemimpinan Sri Sultan Agung, karena ia lah yang menetapkan pemberlakuan Tahun Jawa untu pertama kalinya. Sistem penanggalan ini disepakati dan berlaku diseluruh wilayah Mataram, yaitu pulau Madura dan seluruh Jawa (kecuali Banten yang bukan kekuasaan Mataram).
Biografi Sri Sultan Agung
Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (1593-1645) lahir di Kutagede, Kesultanan Mataram pada tahun 1593. Ia merupakan raja ketiga yang menjabat sebagai raja di Mataram Islam pada tahun 1613-1645. Di bawah kepemimpinannya, Mataram Islam berkembang pesat menjadi kerajaan terbesar di Nusantara pada saat itu. Sultan Agung naik tahta di usianya yang ke 20 pada tahun 1613.
Sultan Agung bernama asli Raden Mas Jatmika atau dikenal juga dengan nama Raden Mas Rangsang. Sultan Agung merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyokrowati dan Ratu Mas Adi Dyah Banowati.
Raja terkenal sebagai seorang muslim yang saleh. Sebagai seorang raja yang taat dalam beragama, ia tekun menjalankan perintah agama dan beribadah. Sampai-sampai pada masanya para tawanan diwajibkan dikhitan dengan ancaman hukuman mati bila menolak
Sejarah Penanggalan Jawa
Pada awalnya, di pulau Jawa berlaku sistem penanggalan Hindu yang dikenal “saka”, yakni sistem yang berpedoman pada peredaran Matahari mengelilingi Bumi Pada tahun 1625 M, Sri Sultan Muhammad yang terkenal dengan nama Sultan Agung Anyokrokusumo berusaha
keras menyebarkan agama Islam di pulau Jawa di wilayah kerajaan Mataram dengan mengeluarkan dekrit untuk mengubah penanggalan Saka. Sejak saat itu kalender Jawa versi Mataram menggunakan sistem kalender kamariah atau lunar, namun tidak menggunakan angka dari tahun Hijriyah (saat itu tahun 1035 H). Angka tahun Saka tetap dipakai dan diteruskan. Hal ini dilakukan demi asas kesinambungan. Sehingga tahun saat itu yang adalah tahun 1547 Saka, diteruskan menjadi tahun 1547 Jawa.
Dekrit Sultan Agung tersebut berlaku di seluruh wilayah kerajaan Mataram II, yaitu seluruh pulau Jawa dan Madura kecuali Banten, Batavia dan Banyuwangi. Ketiga daerah terakhir ini tidak termasuk wilayah kekuasaan Sultan Agung. Selanjutnya, pada tahun 1633 M (1555 Saka atau 1043 Hijriyah), Sultan Agung Ngabdurahman Sayidin Panotogomo Molana Matarami (1613-1645) dari Mataram, menghapuskan kalender lunisolar Saka dari Pulau Jawa.
Namun menurut Prof. Dr. MC Riclefs, dalam artikelnya“Pengaruh Islam Terhadap Budaya Jawa Terutama pada Abad XIX”, upaya percampuran itu terjadi upaya percampuran itu terjadi pada tahun 1633 M. Riclefs mengisahkan bahwa pada tahun 1633 M, Sultan Agung beziarah ke makam Sunan Bayat di Tembayat. Disebutkan dalam Babad Nitik, Sultan Agung diterima oleh arwah Sunan Bayat. Sultan Agung yang masih berada di makam tersebut diperintahkan untuk mengganti kalender Saka yang notabene adalah kalender Hindu menjadi kalender Jawa. Kemudian kalender tersebut diubah sistemnya mengikuti aturan kamariah yang berisi bulan-bulan Islam. Maka sejak saat itu terciptalah kalender baru yang unik, yaitu kalender Jawa-Islam. Perubahan kalender di Jawa itu dimulai pada hari Jumat Legi, tanggal 1 Sura tahun Alip 1555 Saka bertepatan dengan tanggal 1 Muharram tahun 1043 H, atau tanggal 8 Juli 1633M
Adapun prombakan-perombakan yang dilakukan Sultan Agung teradap kalender sebelumnya adalah sebagaimana penjelasan berikut:
- Sistem kalender Saka yang awalnya merupakan sistem Surya diubah menjadi sistem Lunar seperti pada perhitungan kalender Hijriah.
- Pergantian tahun diawali di akhir tahun 1554 tahun Saka. Angka 1554 diteruskan dengan tahun Jawa Sultan Agung dimulai pada hari Jum’at Legi tanggal 1 Suro tahun Alip 1555, bertepatan pada tanggal 1 Muharram tahun 1043 Hijriah, dan 8 Juli 1633 M.
- Nama bulan dalam tahun Saka diganti menjadi nama bulan seperti pada kalender Hijriah. Untuk memudahkan pembacaan dan penyesuaiaan dengan lidah orang Jawa, beberapa nama bulan dalam tahun Hijriah, diganti dan disesuaikan dengan pengucapan lidah Jawa.
- Bulan-bulan gasal umurnya ditetapkan 30 hari, sedangkan bulan-bulan genap umurnya 29 hari (kecuali bulan Besar pada tahun panjang/wuntu ditambah satu hari menjadi genap 30 hari)
- Hari pasaran (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon) tetap dipertahankan
Dari keseluruhan penjelasan di atas ini merupakan salah satu bukti keberagaman umat manusia yang dapat dilihat dari perkembangan paradigma berfikir. Dari situ dapat diketahui bahwa pada dasarnya pengetahuan terkait perhitungan kalender memiliki banyak versi dan masih terus dipakai. Sistem penanggalan Jawa Islam merupakan salah satu khazanah keilmuan yang sangat menarik untuk dikaji, ternyata merupakan hasil akulturasi antara penanggalan saka dan hijriyah yang pertama kali digagas oleh Sultan Agung yang bergelar Senapati Ing Alaga Sayiddin Panatagama Kalifatullah.