Sebagai sebuah kota, Solo terbilang unik. Kota itu adalah kota kelahiran Jokowi, presiden yang hari ini difitnah anti Islam dan pro komunis. Solo juga mendapat julukan Kandang Banteng sebab suara PDIP amat besar di sana. Pondok pesantren tua di tanah Jawa juga berada di Solo, yakni pesantren Jamsaren (berdiri tahun 1750 M).
Di sisi lain, ada pesantren Ngruki dengan Abu Bakar Ba’asyir sebagai sosok sentralnya. Solo juga menjadi pusat dari ormas MTA yang sempat mengundang pro kontra di masyarakat.
Solo direkam dengan baik dalam kenangan Stanley Harsha, mantan diplomat AS. Cerita Harsha bisa kita temukan pada buku Seperti Bulan dan Matahari (Kompas, 2015). Harsha mencatat: Solo sudah lama menjadi tempat yang mencerminkan kekacauan politik di Indonesia. Solo adalah kota tempat bertemunya gerakan kaum muslim moderat dan Muslim konservatif, kota dengan penduduknya yang terdiri dari bermacam-ragam etnis dan agama.
Harsha bahkan menyuguhkan data bahwa demo anti Amerika pertama pasca tragedi 9/11 bermula dari Solo, lalu merembet ke kota lain. Menurut Harsha, ketika ia menjabat sebagai Atase Pers di Kedubes AS di Jakarta, Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS) melakukan sweeping di jalan-jalan Solo, mencari orang Amerika. Itu terjadi setelah serangan Amerika ke Irak tahun 2003.
Tak aneh jika Harsha, dan “orang asing” pada umumnya, enggan datang ke Solo di tahun-tahun itu. Solo seolah sedang berada di titik terendah. Waktu terus berjalan hingga sampai di tahun 2007 dan Solo perlahan-lahan mulai berbenah dan berubah. Di tahun itu Harsha memutuskan datang ke Solo dan bertemu walikota Solo, Jokowi.
Tak bisa disembunyikan kekaguman Harsha kepada sosok Jokowi di tulisan berjudul “Solo” itu. Tak kurang-kurang pujian dialamatkan kepada laki-laki kerempeng yang dulu identik dengan blusukan itu. Harsha tak sungkan melabeli Jokowi sebagai “politisi pandai dan humanis pertama yang saya jumpai dalam rentang waktu 20 tahun berhubungan dengan Indonesia”.
Kisah Jokowi mengubah Solo tampaknya sudah menjadi kisah yang umum diketahui orang banyak. Mulai dari keberhasilan memindah pedagang kaki lima, menyulap pasar tradisional hingga membuat festival-festival kebudayaan yang menyedot wisatawan. Capaian-capaian itu yang membuat Cameron Hume (Duta Besar AS) yang awalnya ragu datang ke Solo karena jejak rekamnya “buruk” menjadi yakin untuk meyambangi Solo di 2009.
Tulisan ini tentu tidak ingin hanya membincang Jokowi dan menjadi naskah kampanye. Namun bahwa Solo berganti wajah di era Jokowi merupakan satu fakta tersendiri (meski ditolak lawan-lawan politiknya).
Nyatanya, Solo telah melintasi jalan sejarah yang panjang. Kota itu tak hanya melahirkan Jokowi, tapi juga Haji Misbach, Gesang, Samanhudi, Sapardi Djoko Damono, Rendra, Waldjinah, dan lain-lain.
Saya menghabiskan masa SMP dan SMA di Solo. Selepas studi S2 di Jakarta saya kembali ke Solo dan bekerja di sana. Sejauh ini kota ini sangat nyaman ditinggali. Meski kadang ada percikan-percikan yang mengkhawatirkan. Misalnya saja ketika sekelompok orang ingin menurunkan lampion-lampion di Pasar Gede Solo saat Imlek karena dianggap mengganggu “keimanan”. Atau ketika pemkot diminta membongkar mozaik di jalan depan balaikota karena didugai menyerupai salib.
Kemajemukan saya kira adalah kekuatan Solo. Keberagaman merupakan keniscayaan, tak bisa dihindarkan. Mestinya hal itu yang disadari oleh semua warga Solo.
Kisah masjid dan gereja yang berdempetan dan kehidupan warganya begitu harmonis dapat kita temukan di Solo. Juga cerita-cerita lain tentang toleransi dan persaudaraan. Semoga cerita baik tentang Solo tidak hanya dikenang dan dicatat Stanley Harsha, tapi oleh semua orang yang pernah mengunjungi Solo.