Perjumpaanku dengan dua orang seniman kenamaan Indonesia, Mbah Nasirun dan Uda Jumaldi Alfi, memberikan semacam stimulus pemahaman baru terhadap dunia seni dan kaitannya dengan spiritualitas manusia. Dalam satu kajian-atau barangkali diskusi-yang diadakan oleh Masjid Jendral Sudirman pada Ramadhan 1445 H lalu, mereka mencoba mengulik pertautan seni, tradisi, dan spiritualitas dari kacamata praktisi seni dan kebudayaan itu sendiri.
Mbah Nasirun sendiri adalah seorang pelukis asal Cilacap, Jawa Tengah, yang dari pernyataannya sendiri dibesarkan oleh tradisi keislaman bercorak Nahdlatul Ulama. Di lain sisi, Uda Jumaldi Alfi juga merupakan pelukis yang lahir di Padang, Sumatera Barat. Ia dibesarkan dengan corak Keislaman Minangkabau yang terkenal dengan tradisi pendidikan surau dan hari ini aktif dalam organisasi Muhammadiyah.
Kedua orang seniman ini menjadi terkenal karena karya seni yang mereka hasilkan mengandung nilai-nilai spiritualitas yang mendalam.
Membaca Tanda-tanda
Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dimulai dengan satu kata perintah sederhana: Iqra’. Artinya bacalah! Akan tetapi, kelanjutan ayat tersebut tidak lantas menjelaskan secara eksplisit objek apa yang mestinya dibaca. Karenanya, arti Iqra’ dalam ayat ini pun mengundang banyak penafsiran.
Jika memahami arti kata ini secara luas, maka kita akan dapati bahwa perintah membaca tersebut bukan mengisyaratkan kegiatan membaca Alquran semata. Setidaknya, ada 3 hal yang Allah perintahkan untuk kita baca.
Pertama, adalah Alquran itu sendiri, sebagai kitab suci yang menjadi pedoman dan landasan hidup umat Islam. Kedua, adalah Rasulullah, atau apa yang kita sebut sebagai Sunah. Sebab, ia adalah ‘firman yang mendaging”, yakni perwujudan Al-Quran dalam bentuk manusia. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah, dikatakan “Akhlak Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah Al-Qur’an”. Ketiga, adalah alam raya dan segala hal yang menakjubkan di dalamnya.
Yang terakhir barangkali adalah yang paling dekat dengan kita. Pasalnya, manusia hidup dan lebur dalam satu sistem bernama alam raya itu. Namun, tanda-tanda keagungan Allah SWT yang terhampar di dalamnya sering kali luput dari perhatian manusia. Lebih-lebih, dalam kehidupan modern yang bercorak antroposentris, manusia tak lagi menempatkan perhatiannya pada ke-magis-an alam raya ini. Walhasil, tanda-tanda itu pun kian kabur.
Merenung dan Membaca Kitabullah
Mbah Nasirun dalam kajian tersebut bercerita tentang bagaimana sosok Affandi, sang maestro pelukis Indonesia, melakukan kegiatan melukis di tempat publik dan ditonton oleh banyak orang. Ia mengatakan Affandi sebagai sandaran kemanusian pada zamannya dan lalu mengutip perkataan Ajip Rosidi “Affandi barangkali adalah manusia yang membaca Kitabullah yang digelar di muka bumi/alam”.
Inilah yang paling menarik dari para seniman. Mereka memiliki semacam ruang jeda untuk merenung dan menghayati kehidupan: sebuah upaya untuk memahami tanda-tanda keagungan dan kebesaran-Nya dan lalu mencoba membahasakannya melalui suatu medium berupaya karya seni, baik dalam bentuk lukisan, syair, tarian, dan lain-lain.
Apa yang didapatkan dari ruang jeda dan perenungan ini tak lain adalah ilham. Sebuah makna yang diperoleh melalui perhubungan dengan Tuhan dengan membaca tanda-tanda-Nya. Mbah Nasirun bercerita tentang dialognya dengan Almarhum Pak fajar Sidik dan menyatakan bahwa pada suatu waktu, ide dan gagasan-atau barangkali informasi-akan tumpah ruah dan berseliweran, sedangkan ilham yang sifatnya sangat personal didapati hanya melalui perenungan.
Menyiarkan Kitabullah dengan Seni
Alquran dianugerahkan oleh Yang Maha Kuasa sebagai pedoman dan tuntunan hidup bagi manusia. Ia lalu dibahasakan secara purna oleh Rasulullah SAW sebagai rahmat bagi sekalian alam. Alquran begitu dalam dan luas. Di dalamnya terkandung banyak hal yang berkaitan dengan hukum, hikmah, kisah, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya.
Apa yang kemudian menjadikan Al-Quran begitu mudah diterima dan tersebar di seluruh dunia, di antaranya adalah sisi estetis dari Al-Quran itu sendiri. Alquran mengandung pesan-pesan luhur yang dibungkus dalam sebuah struktur bahasa dan sastra yang sangat indah. Orang-orang Arab di zaman Jahiliyyah yang memiliki kemahiran tingkat tinggi dalam dunia syair bahkan terpukau ketika pertama kali mendengarkan Al-Quran.
Karena itu, memandang Al-Quran Cuma sebagai kitab hukum yang dengannya memungkinkan seseorang untuk menyalah-nyalahkan orang lain, hanya akan mengurangi nilai-nilai luhur dan istimewa yang terkandung padanya. Pun, memandang Al-Quran sebagai kitab atau teks keagamaan belaka, juga pada akhirnya akan mempersempit keluasan kandungan Al-Quran. Ia perlu diselami dan lalu dibentangkan untuk membaca tanda-tanda keagungan Tuhan pada alam raya. Tentunya, dengan perenungan dan penghayatan.
Uda Jumaldi kemudian melanjutkan “di dalam kesenian, karena ada perbedaan warna, terjadi harmonisasi. Saya merasa beruntung kecemplung dalam dunia kesenian. Sehingga, dalam beragama pun, ketika saya melihat perbedaan-perbedaan, itu tidak menjadi masalah”.
Inilah kiranya yang hendak disampaikan seniman, khususnya para seniman Islam nusantara. Bagaimana mereka meracik syiar Islam dalam karyanya dengan cara yang santai dan dapat diterima oleh orang banyak. Bukan melalui cara menyalah-nyalahkan, marah-marah, atau bahkan dengan menyakiti orang lain.
Tanda-tanda keagungan Allah SWT terhampar di seluruh alam semesta. Al-Quran menjadi kitab pedoman hidup sekaligus tuntunan untuk membaca tanda-tanda tersebut. Tanda-tanda itu kemudian patut dibahasakan dan disampaikan dengan cara-cara yang damai sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal” (Ali Imran: 190).