Bukan pekerjaan yang menyatukan kami. Bukan organisasi, proyek atau politik, tapi kesamaan cita-cita. Cak Monib saya kenal 15 tahun silam di Yayasan Paramadina. Sehari-hari mengelola perpustakaan dan mengatur diskusi rutin dengan mengundang sejumlah tokoh masyarakat maupun intelektual yang cukup diperhitungkan pada masanya.
Melalui kiprahnya itu, sebagai mahasiswa saya mengenal diskursus modernisme Islam, agama dan demokratisasi.
Dia tidak pernah marah bila saya atau mahasiswa UIN lainnya hadir sekadar menghabiskan kopi dan makanan kecil yang tersedia di nampan meja. Ruang diskusi segelintir orang sementara para peserta diskusi yang sebagian besar mahasiswa asyik kumpul di luar atau ke perpustakaan. Baginya “PMII dan HMI sama, yang membedakan hanya senior-seniornya,” selorohnya khas Madura.
Cak Monib tidak bisa sembunyikan, wafatnya Cak Nur membuat banyak orang merasa kehilangan. Termasuk dirinya. Bukan hanya gagasan, tapi juga pengaruh Paramadina yang kian merosot dari upaya mendinamisir gagasan Islam dan demokratisasi. Perpustakaan tidak jelas bagaimana nasibnya. Pusat studi bekerja masing-masing. Jurnal Paramadina serta penerbitannya bangkrut. Program Falsafah dan Agama kehilangan daya pikat.
Dan yang lebih menyedihkan, Paramadina sepenuhnya di bawah kekuasaan orang yang tidak dibesarkan dalam tradisi kritis ala gagasan Caknurian. Padahal semasa itu bila menyebut Paramadina selalu melekat nama Cak Nur. Cak Monib, santri Cak Nur merasakan langsung runtuhnya bangunan intelektual Caknurian di Paramadina.
Cak Monib alumni Gontor, sahabat Ahmad Fuadi, pengarang novel Negeri 5 Menara adalah salah satu dari empat tokoh inspirator yang hadir memainkan peranan penting dalam novel tersebut.
Rumah Pergerakan Gus Dur tempat terakhir kami bertemu. Menceritakan kekecewaan pada Anies Baswedan yang menggunakan agitasi agama demi kekuasaan. Saya bilang, aksi 212 adalah kolaborasi terbaik alumni Gontor. Dia menyanggah dengan menceritakan ketegangannya mengimbangi cara komunikasi Hidayat Nur Wahid di grup whatsapp alumni. Dia juga menceritakan berhubungan baik dengan Bahar bin Smith dalam upaya pendirian pesantrennya di Bogor.
Cak Monib bersyukur mendapat dukungan banyak pihak bisa selesaikan ruang kelas. “Saya orang pesantren dan akan membangun Indonesia dari pesantren. Pesantren yang setia pada tradisi keislaman dan keindonesiaan,” senyumnya berderai.
Cak Monib, selamat jalan.
Salam saya Cak, buat Cak Nur.
Lahu alfatihah…