Ketika masih mondok di Tebuireng, Kiai Abdul Wahab Hasbullah sudah kesengsem berat kepada Kiai Bisri Syansuri. Yunior sekaligus lawan berdebat yang paling gigih dan paling kuat ilmunya.
Belakangan Kiai Wahab menawari Kiai Bisri naik haji.
“Aku ndak punya uang”, kata Kiai Bisri.
“Aku yang mbayari” jawab Kiai Wahab.
Mana mungkin Kiai Bisri nolak? Sudah barang tentu Kiai Bisri bersedia dengan suka-cita.
Tak disangka, ketika tiba waktunya berangkat dan Kiai Bisri sudah siap di pelabuhan, Kiai Wahab malah mengundurkan diri.
“Aku ndak jadi pergi”, ujar Kiai Wahab.
“Lho?” Kiai Bisri nampak kaget.
“Ya ndak apa-apa. Sampeyan tetap berangkat saja. Tapi aku titip adikku ini. Khodijah namanya”, tutur Kiai Wahab.
“Waduh, titip gimana?” tanya Kiai Bisri masih penuh kebingungan.
“Khodijah ini mau berangkat haji juga sekarang. Jadi aku titip, supaya sampeyan yang njagain” Kiai Wahab joba menjelaskan.
“Lho…lha… gimana sih…?” lagi-lagi Kiai Bisri masih belom percaya.
“Kok lha-lho lha-lho! Masak ga mau kutitip?”
“Wah… ya… tapi…” Mbah Bisri mencoba mengelak
“Tapi apa?”
“Ajnabi je…”
“Ya supaya jadi muhrim, sekarang sampeyan nikah dulu”
Maka terjadilah ijab-kabul di pelabuhan. Wallahua’alam bish-showab.
Kisah ini dinukil dari buku Ngopi di Pesantren: Renungan dan Kisah Inspiratis Kiai dan Santri karya Muhammad Thom Afandi, Kediri: ToTES Pubishing, 2015. Hlm. 82-83.